Minggu, 23 Januari 2011

Eria Flvascen

Eria Flvascen
(by: rifa)
Dia Eria, gadis kecil yang mempunyai senyum termanis yang pernah aku lihat. Dia yang selalu mengajakku berbicara saat aku duduk termangu seorang diri di tempat ini. Dia yang selalu datang untuk menghiburku saat aku merasakan kesepian. Matanya selalu mengingatkanku pada adikku, Vanda. Andai sekarang Vanda masih ada, mungkin ia dan Eria akan menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Eria dan Vanda mempunyai banyak kesamaan. Dari cara mereka berbicara, cara mereka tersenyum, cara mereka menghiburku, juga dari cara mereka menyapaku. Bukan menyapa tepatnya, tapi memanggil namaku dengan nada tinggi dari kejauhan dan itu cukup untuk mengundang tawaku.
Dua tahun lalu, saat Vanda berusia 9 tahun, dia pergi bersama Ayah dan Ibu ke sebuah pesta pernikahan teman satu kantor Ayah. Aku tidak ikut, karena saat itu usiaku telah menginjak 16 tahun. Sudah tak lagi pantas mengekor kemana Ayah dan Ibu pergi. Saat perjalanan pulang, hal buruk yang selama ini tak pernah terbayang olehku terjadi. Hal yang buruk..amat buruk dan amat fatal terjadi. Mobil yang Ayah kendarai ditabrak oleh sebuah bus pariwisata yang dikendarai seorang supir yang sedang mabuk. Dan saat hal itu terjadi, itu menjadi akhir dari kisah hidup Ayah, Ibu, juga adik kesayanganku, Vanda. Bahkan saat itu aku sempat berpikir kalau aku juga harus berakhir. Dua hari sebelum Vanda pergi, ia menitipkan dan memintaku untuk merawat sebuah bibit Anggrek yang didapatnya dari kunjungan ke sebuah taman wisata.
Semua yang ayah ajarkan padaku terasa seperti besi panas yang harus kugenggam erat. Tapi sebagai seorang anak lelaki aku tak sanggup. Bahkan mungkin sebutan lelaki tak pantas kusandang. Saat itu aku sendiri tak sanggup menghetikan dua aliran sungai yang mengalir deras di pipiku. Aku tak sanggup menjadi seorang lelaki tegar seperti yang selalu ayah ajarkan. Bahkan aku terlalu lemah untuk menjadi seorang lelaki.
Hari itu belum sekalipun aku melihat Vanda dan senyumannya. Hari itu pula, saat aku melihatnya, sendi-sendinya telah kaku. Ia terbaring di antara jasat Ayah dan Ibu. Saat itu keputus asaan menguasaiku. Setelah acara pemakaman dan tertinggal aku sendiri di rumah, ku ambil apa saja yang berada di kotak obat di ruang keluarga dan menelan semuanya tanpa pikir pajang. Aku sangat berharap kalau saat itu tuhan mengambilku dan menyatukanku kembali dengan keluargaku.
Tapi sayangnya tidak. Penderitaan itu masih membekas hingga kini dan sampai kapanpun. Efek berbagai macam obat yang tertelan olehku berhasil melumpuhkan sendi-sendiku. Hingga sekarang, aku hanya terduduk di kursi roda tanpa daya. Yang aku lakukan setiap harinya hanyalah melamun dan memandang bunga Anggrek Vanda yang sedang bermekaran di taman depan rumahku.
Sekarang aku hanyalah seorang lelaki 18 tahun yang lumpuh..cacat dan tak berdaya. Untuk mengambil makanan saja tak sanggup. Tante Rose yang bekerja untuk memenuhi dan melayani semua kebutuhanku selepas kedua orang tuaku pergi, dan aku menjadi seperti ini. Tante Rose adalah seorang janda yang yang harus bekerja keras untuk menghidupiku, satu-satunya keponakan kesayangannya yang masih tersisa. Suaminya telah meninggal 3 tahun lalu. Aku beruntung. Masih ada yang peduli dengan lelaki bodoh sepertiku.
***
Setahun lalu, sebuah keluarga kecil yang hanya terdiri dari seorang ibu dan seorang anak gadis datang dan menjadi tetangga baruku. Mereka sangat ramah terhadapku. Eria Flvascen nama gadis manis itu. Setiap sore hari, Eria selalu datang untuk menemaniku bercanda ria di halaman rumahku yang dipenuhi dengan berbagai tanaman Anggrek.
Untuk sore ini Eria menemuiku dan membahas apa saja yang dapat di bahas, bertanya apa saja yang dapat di tanyakan, dan tertawa bersama selagi masih dapat tertawa.
“kakak… nama tanaman Anggrek itu bagus yaa..”, Eria menunjuk sebuah tanaman Anggrek yang di bawahnya tertulis nama ‘Anggrek Vanda’ yang menempel di tempat khusus, berbeda dari Anggrek-Anggrek yang lain. Anggrek Vanda itu sedang mekar memamerkan keindahan dan pesonanya. “kenapa tempat Anggrek Vanda ini beda sama yang lain kak..?”
“itu Anggrek dari Vanda, adik kakak yang…”, tak ku lanjutkan perkataanku.
“kak..”
“yaa..?”
“Anggrek Vanda itu cantik yaa… warnanya merah jambu.. aku suka itu.. baunya juga harum..”, Eria tersenyum.
“iyaa… dia sedang mekar..lihatlah.. Vanda sedang tersenyum padamu..”, kataku. Dari Anggrek Vanda itu, aku dapat merasakan senyuman Vanda yang selalu ku rindukan. Senyuman Eria sama persis dengan senyuman Vanda dahulu. Eria benar-benar selalu mengingatkanku dengan Vanda. Saat aku merindukan Vanda, aku selalu duduk persis di depan tanaman Anggrek Vanda dan menunggunya kuncup, hingga mekar.
“senyumnya sangat manis..”, kata Eria, kemudian kembali tersenyum untukku.
“benar.. senyumannya sangat manis.. semanis senyuman gadis kecil di yang sedang tersenyum di depanku sekarang..”, kata-kataku membuat senyum Eria makin mengembang. Aku sangat senang melihatnya tersenyum. Eria Flvascen adalah sosok yang dapat menggantikan Vanda sebagai adikku. Aku menyayangi Eria sama seperti aku menyayangi Vanda.
“terima kasih kak… Eria punya hadiah untuk kakak.. untuk menambah koleksi bunga anggerk kakak.. sebentar ya, Eria ambil dulu di rumah..kakak tunggu saja di sini..”, Eria berlari kecil menuju halaman rumahnya yang hanya beberapa puluh meter dari taman Anggrekku untuk mengambil sebuah bibit Anggrek untukku.
“ini Anggrek untuk kakak.. kata penjualnya ini namanya Anggrek Eria Mawar.. bagus deh kalau berbunga.. kakak rawat ini yaa.. tunggu sampai berbunga..”, sekali lagi Eria tersenyum. Senyumannya makin membuatku merindukan Vanda.
“iya.. terima kasih ya Eria.. bunga ini memiliki nama yang indah sepertimu.. Eria Flvascen..”, kataku.
“bukan kak.. ini namanya Anggrek Eria Mawar..”, sanggah Eria.
“Eria Flvascen itu nama ilmiah dari Anggrek Eria Mawar. Ibumu belum pernah memberi tahumu tentang itu…?”
“Ibu..? mungin Ibu lupa memberi tahuku tentang itu.. hehehe..”
“kamu tau gak..? kamu itu cantik.. secantik Anggrek ini saat mekar kelak..”
“Eria..? Cantik..? makasih ya kak.. kakak udah sering buat Eria senyum..”
“heyy.. bukannya kebalik..? kamu yang selalu bikin kakak senyum.. kamu yang bikin kakak lupa kalau hidup kakak pernah buruk.. kamu juga yang bikin kakak sadar kalau ternyata hidup seperti ini tak selamanya menyedihkan.. Eria Flvascen mirip seperti Vanda,adik kakak dulu.. namanya juga sama.. sama-sama di ambil dari nama bunga Anggrek..”
“ooh..terus sekarang adik kakak kemana..?”
“Vanda udah pergi ke surga.. tapi dia selalu mekar dan senyum buat hibur kakak di sini..”
“maaf kak.. bukan maksud Eria...”
“ssst.. gak papa kok.. kamu kan udah kakak anggap adik kakak sendiri, jadi kamu boleh tau apa aja yang pengen kamu tau tentang kakak... udah sore nih.. kamu pulang gih.. besok ke sini lagi, kakak ada hadiah buat kamu..”, pintaku.
“oke kak..!!”, jawab Eria.
Sebenarnya saat itu aku hanya tak ingin Eria melihatku menangis. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku ingin menangis saat menatap mata Eria. Aku merasakan ada sesuatu yang janggal saat menatap dalam mata Eria. Tapi aku tak tau apa itu.
Setelah Eria pulang kembali ke rumahnya, ku minta tante Rose untuk menyandingkan bibit Anggrek Eria Mawar pemberian Eria di samping Anggrek Vanda yang sedang mekar.
***
Malam ini ku siapkan sebuah kado sederhana yang akan ku berikan pada Eria. Aku ingin membalas kebaikan Eria yang selalu berhasil mengundang tawaku dan mengapus kesedihanku. Ku rangkai tangkai-tangkai Anggrek dari tamanku untuknya. Tak lupa, sekotak coklat kesukaanya. Memang besok bukanlah hari valentine. Tapi tak ada salahnya jika aku ingin membahagiakan seorang adik kecil dengan rangkaian Anggrek dan sekotak coklat. Memang sederhana, tapi hanya ini yang bisa ku berikan.
***
Pagi ini udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Aku telah duduk di atas kursi roda seperti biasa di antara Anggrek-Anggrek yang bermekaran. Sepertinya hari ini akan menyenangkan. Ku lihat Eria dengan pakaian dinas anak SD .Dia tersenyum dan menyapaku.
“heyy.. selamat pagi kakak.. Eria berangkat sekolah dulu yaa.. sampai ketemu nanti sore..”
“oke Eria.. kakak tunggu nanti sore.. hati-hati yaa.. yang rajin belajarnya..”
Dikayuhnya sepedanya dengan penuh semangat. Lagit biru dan gumpalan awan berarak menemani gadis Anggrek ke sekolah. Yakin, hari ini akan menjadi hari yang indah. Untuk mengisi waktu saat menanti sore menjelang dan Eria menemuiku, seperti biasa, yang kulakukan hanyalah duduk dan diam di atas kursi roda. Beberapa orang mungkin iri denganku yang hidup makmur walau hanya duduk dan diam. Tapi mereka salah. Aku tak bahagia di sini. Ku sesali semua yang telah ku lakukan 2 tahun lalu. Yaa.. tapi penyesalanku kini tak akan kembali merubah bubur menjadi nasi. Begitulah.. manusia hanya bisa menyesal di belakang.
Seorang pria datang menghampiriku. Motornya di parkirkan di luar pagar. Ia terlihat panik dan tergesa-gesa. ‘Sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada Tante Rose saat bekerja..’, pikirku.
“maaf.. apa benar ini rumah Ibu Michelia..?”, tanya lelaki tersebut.
“ooh.. bukan.. Rumah Ibu Michelia yang nomor 36. Rumah cat hijau di sebelah..”, jawabku ramah.
“oh.. terima kasih informasinya..”
“iya sama-sama..”
Lelaki itu berbalik dan dengan terburu-buru menuju ke rumah Ibu Michelia, Ibu dari Eria. Awalnya kupikir lelaki itu adalah suami atau saudara dari Ibu Michelia. Tapi tak lama setelah lelaki itu masuk ke rumah, Ibu Michelia keluar dan pergi bersama lelaki itu dengan raut cemas. Dan aku hanya bisa menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi dan berharap semua tetap dan akan baik-baik saja.
***
Ku pikir ini sudah cukup sore. Seharusnya sekarang Eria sudah berada di sini menemuiku.
Sebuah mobil ambulance melintas di depan rumahku. Mobil itu terlihat berhenti di halaman rumah Eria. Para tetangga mulai berkumpul di sana. Apa yang terjadi..? apa yang terjadi pada Eria..? aku harus ke sana. Bersama kursi rodaku, aku berusaha berjalan ke rumah Eria. Terlihat Ibu Michelia menangis pilu di depan sesosok tubuh mungil yang terbujur dan tertutup kain putih di ruang tamu.
“Itu bukan Eria kan..?itu bukan Eria.. pasti itu bukan Eria..!!”, teriakku dari muka pintu. Itu berhasil membuat para tetangga menujukan pandangan mereka ke arahku.
“itu Eria.. dia Eria..!!”, jawab Ibu Michelia lirih. Itu adalah satu kata paling lirih yang sanggup memukul keras hatiku. Eria telah berjanji padaku untuk menemuiku sore ini dan mengambil hadiah yang telah kujanjikan. Tapi sekarang yang terjadi adalah aku yang menemuinya. Aku menemuinya dalam keadaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sendi-sendinya telah kaku. Darahnya telah membeku. Sekujur tubuhnya melepuh.. Dia terlalu berani sebagai seorang gadis kecil. Mengorbankan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan seorang sahabat yang terjebak dalam api saat sebuah kebakaran terjadi di sekolahnya siang tadi.
Dan sekali lagi, setangkai Anggrek gugur. Setangkai Anggrek pergi meninggalkanku dan sebuah cempaka putih untuk selamanya. Dan kejadian yang sama seperti dua tahun lalu terulang. Semuanya sama. Sebelum mereka pergi, sebuah bibit Anggrek dititipkannya padaku agar aku tetap bisa melihat senyum mereka saat Anggrek Vanda dan Anggrek Eria Flvascen mekar. Cara yang indah untuk berpamitan denganku. Tapi, seindah apapun cara mereka, tetap saja itu sangat menyakitkanku.
‘Eria..kau terlahir sebagai pahlawan dan pembawa kebahagiaan di dunia meskipun hidupmu singkat. Selamat jalan Eria.. sampaikan salamku pada Vanda di surga. Sampaikan salam rinduku padanya.’
#END#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar