Rabu, 03 Desember 2014

Labirin , Negeriku



Labirin , Negeriku
Gadis itu terhuyung, kemudian tersungkur di atas tumpukan sampah yang susah payah dikumpulkannya. Noda darah merembes dari perut kirinya, membaur dengan keringat yang membentuk drops di sekujur tubuh. Detik demi detik tak terhitung jumlahnya berpacu dengan desau napas satu dua yang kian menipis. Kemudian senja bergulir perlahan menggapai kegelapan yang segera dicumbu pelita rembulan. Gemerlap hingar bingar metropolitan tak membayang dalam jiwanya, memburu kausa yang menyayat nadi. Dalam sungkurnya, mata rembulan yang

Ifa



Ifa
Melayangkan pandang sepanjang hari menatap birunya langit yang berpadu dengan lentera senja dengan siluet kerlingan tubuh Muria di depan mata adalah hal yang sangat menyenangkan. Segala lelah penatku terbang terbawa embusan angin senja yang kuartikan sebagai tanda kasihMu padaku.
Entah bagaimana hingga aku mendapatkan getaran-getaran memabukkan seperti ini di dalam hatiku. Terkadang pula menyelinap dalam sunyi, menempati dua bilik dan dua serambi jantung untuk ikut terbawa bersama aliran daraku.

Cocoon



Cocoon
“Leona, lihat! Jika kau tau, kepompong ini mustahil menetas di cuaca sebeku ini.”
“Aku tau, George. Tapi akan lebih tepat jika kau menyebutnya berevolusi, bukan menetas.”
“Apa pun itu. Aku ingin tahu dari mana makhluk kecil ini datang. Bukankah musim dingin belum berakhir?”
“Mungkin dia salah satu yang mati di musim semi sebelumnya.”
Lilin menyala lembut di depan perapian yang kehilangan bara. Dingin pun mengecup sepasang tangan mungil yang terlepas dari balutan woll tebal. Leona menggigil. Embun di mata bulatnya seolah membeku, bersetubuh dengan kebekuan salju milik Februari.