Rabu, 20 April 2011

Rinai [oleh Rifa]

Rinai
[oleh Rifa]
Rinai. Aku menyebutnya Rinai. Entah sejak kapan dia terlihat nyata di hidupku. Sebelumnya aku tak pernah sadar akan kedatangannya. Jangan tanyakan mengapa, karena aku tak sekalipun ingat pertama kali dia menyapaku. oh.. atau mungkin saja aku yang pertama kali menyapanya. Seorang gadis bergaun putih, dengan tangan kanannya yang tak pernah sekalipun melepaskan setangkai mawar putih yang tak pernah layu. Senyumnya mengembang segar, sesegar mawar di tangannya yang selalu terlihat baru saja tersentuh embun.

Selasa, 22 Maret 2011

melodi senja :)


Melodi Senja
(by: rifa)
Namaku Melodi. Tapi kebanyakan orang memanggilku dengan sebutan Senja. Aku suka dengan sebutan itu, kerena aku suka dengan merah senja di musim kemarau. Aku suka saat melihat pantulan separuh badan bintang siang yang hendak kembali ke peraduannya tercermin di tengah danau. Warna merah senja selalu saja terlihat indah di mataku. Senyuman senja selalu saja berhasil menghadirkan senyumku. Senja. Hanya itu yang selalu ku nantikan pada setiap putaran waktu.

Minggu, 23 Januari 2011

Eria Flvascen

Eria Flvascen
(by: rifa)
Dia Eria, gadis kecil yang mempunyai senyum termanis yang pernah aku lihat. Dia yang selalu mengajakku berbicara saat aku duduk termangu seorang diri di tempat ini. Dia yang selalu datang untuk menghiburku saat aku merasakan kesepian. Matanya selalu mengingatkanku pada adikku, Vanda. Andai sekarang Vanda masih ada, mungkin ia dan Eria akan menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Eria dan Vanda mempunyai banyak kesamaan. Dari cara mereka berbicara, cara mereka tersenyum, cara mereka menghiburku, juga dari cara mereka menyapaku. Bukan menyapa tepatnya, tapi memanggil namaku dengan nada tinggi dari kejauhan dan itu cukup untuk mengundang tawaku.
Dua tahun lalu, saat Vanda berusia 9 tahun, dia pergi bersama Ayah dan Ibu ke sebuah pesta pernikahan teman satu kantor Ayah. Aku tidak ikut, karena saat itu usiaku telah menginjak 16 tahun. Sudah tak lagi pantas mengekor kemana Ayah dan Ibu pergi. Saat perjalanan pulang, hal buruk yang selama ini tak pernah terbayang olehku terjadi. Hal yang buruk..amat buruk dan amat fatal terjadi. Mobil yang Ayah kendarai ditabrak oleh sebuah bus pariwisata yang dikendarai seorang supir yang sedang mabuk. Dan saat hal itu terjadi, itu menjadi akhir dari kisah hidup Ayah, Ibu, juga adik kesayanganku, Vanda. Bahkan saat itu aku sempat berpikir kalau aku juga harus berakhir. Dua hari sebelum Vanda pergi, ia menitipkan dan memintaku untuk merawat sebuah bibit Anggrek yang didapatnya dari kunjungan ke sebuah taman wisata.
Semua yang ayah ajarkan padaku terasa seperti besi panas yang harus kugenggam erat. Tapi sebagai seorang anak lelaki aku tak sanggup. Bahkan mungkin sebutan lelaki tak pantas kusandang. Saat itu aku sendiri tak sanggup menghetikan dua aliran sungai yang mengalir deras di pipiku. Aku tak sanggup menjadi seorang lelaki tegar seperti yang selalu ayah ajarkan. Bahkan aku terlalu lemah untuk menjadi seorang lelaki.
Hari itu belum sekalipun aku melihat Vanda dan senyumannya. Hari itu pula, saat aku melihatnya, sendi-sendinya telah kaku. Ia terbaring di antara jasat Ayah dan Ibu. Saat itu keputus asaan menguasaiku. Setelah acara pemakaman dan tertinggal aku sendiri di rumah, ku ambil apa saja yang berada di kotak obat di ruang keluarga dan menelan semuanya tanpa pikir pajang. Aku sangat berharap kalau saat itu tuhan mengambilku dan menyatukanku kembali dengan keluargaku.
Tapi sayangnya tidak. Penderitaan itu masih membekas hingga kini dan sampai kapanpun. Efek berbagai macam obat yang tertelan olehku berhasil melumpuhkan sendi-sendiku. Hingga sekarang, aku hanya terduduk di kursi roda tanpa daya. Yang aku lakukan setiap harinya hanyalah melamun dan memandang bunga Anggrek Vanda yang sedang bermekaran di taman depan rumahku.
Sekarang aku hanyalah seorang lelaki 18 tahun yang lumpuh..cacat dan tak berdaya. Untuk mengambil makanan saja tak sanggup. Tante Rose yang bekerja untuk memenuhi dan melayani semua kebutuhanku selepas kedua orang tuaku pergi, dan aku menjadi seperti ini. Tante Rose adalah seorang janda yang yang harus bekerja keras untuk menghidupiku, satu-satunya keponakan kesayangannya yang masih tersisa. Suaminya telah meninggal 3 tahun lalu. Aku beruntung. Masih ada yang peduli dengan lelaki bodoh sepertiku.
***
Setahun lalu, sebuah keluarga kecil yang hanya terdiri dari seorang ibu dan seorang anak gadis datang dan menjadi tetangga baruku. Mereka sangat ramah terhadapku. Eria Flvascen nama gadis manis itu. Setiap sore hari, Eria selalu datang untuk menemaniku bercanda ria di halaman rumahku yang dipenuhi dengan berbagai tanaman Anggrek.
Untuk sore ini Eria menemuiku dan membahas apa saja yang dapat di bahas, bertanya apa saja yang dapat di tanyakan, dan tertawa bersama selagi masih dapat tertawa.
“kakak… nama tanaman Anggrek itu bagus yaa..”, Eria menunjuk sebuah tanaman Anggrek yang di bawahnya tertulis nama ‘Anggrek Vanda’ yang menempel di tempat khusus, berbeda dari Anggrek-Anggrek yang lain. Anggrek Vanda itu sedang mekar memamerkan keindahan dan pesonanya. “kenapa tempat Anggrek Vanda ini beda sama yang lain kak..?”
“itu Anggrek dari Vanda, adik kakak yang…”, tak ku lanjutkan perkataanku.
“kak..”
“yaa..?”
“Anggrek Vanda itu cantik yaa… warnanya merah jambu.. aku suka itu.. baunya juga harum..”, Eria tersenyum.
“iyaa… dia sedang mekar..lihatlah.. Vanda sedang tersenyum padamu..”, kataku. Dari Anggrek Vanda itu, aku dapat merasakan senyuman Vanda yang selalu ku rindukan. Senyuman Eria sama persis dengan senyuman Vanda dahulu. Eria benar-benar selalu mengingatkanku dengan Vanda. Saat aku merindukan Vanda, aku selalu duduk persis di depan tanaman Anggrek Vanda dan menunggunya kuncup, hingga mekar.
“senyumnya sangat manis..”, kata Eria, kemudian kembali tersenyum untukku.
“benar.. senyumannya sangat manis.. semanis senyuman gadis kecil di yang sedang tersenyum di depanku sekarang..”, kata-kataku membuat senyum Eria makin mengembang. Aku sangat senang melihatnya tersenyum. Eria Flvascen adalah sosok yang dapat menggantikan Vanda sebagai adikku. Aku menyayangi Eria sama seperti aku menyayangi Vanda.
“terima kasih kak… Eria punya hadiah untuk kakak.. untuk menambah koleksi bunga anggerk kakak.. sebentar ya, Eria ambil dulu di rumah..kakak tunggu saja di sini..”, Eria berlari kecil menuju halaman rumahnya yang hanya beberapa puluh meter dari taman Anggrekku untuk mengambil sebuah bibit Anggrek untukku.
“ini Anggrek untuk kakak.. kata penjualnya ini namanya Anggrek Eria Mawar.. bagus deh kalau berbunga.. kakak rawat ini yaa.. tunggu sampai berbunga..”, sekali lagi Eria tersenyum. Senyumannya makin membuatku merindukan Vanda.
“iya.. terima kasih ya Eria.. bunga ini memiliki nama yang indah sepertimu.. Eria Flvascen..”, kataku.
“bukan kak.. ini namanya Anggrek Eria Mawar..”, sanggah Eria.
“Eria Flvascen itu nama ilmiah dari Anggrek Eria Mawar. Ibumu belum pernah memberi tahumu tentang itu…?”
“Ibu..? mungin Ibu lupa memberi tahuku tentang itu.. hehehe..”
“kamu tau gak..? kamu itu cantik.. secantik Anggrek ini saat mekar kelak..”
“Eria..? Cantik..? makasih ya kak.. kakak udah sering buat Eria senyum..”
“heyy.. bukannya kebalik..? kamu yang selalu bikin kakak senyum.. kamu yang bikin kakak lupa kalau hidup kakak pernah buruk.. kamu juga yang bikin kakak sadar kalau ternyata hidup seperti ini tak selamanya menyedihkan.. Eria Flvascen mirip seperti Vanda,adik kakak dulu.. namanya juga sama.. sama-sama di ambil dari nama bunga Anggrek..”
“ooh..terus sekarang adik kakak kemana..?”
“Vanda udah pergi ke surga.. tapi dia selalu mekar dan senyum buat hibur kakak di sini..”
“maaf kak.. bukan maksud Eria...”
“ssst.. gak papa kok.. kamu kan udah kakak anggap adik kakak sendiri, jadi kamu boleh tau apa aja yang pengen kamu tau tentang kakak... udah sore nih.. kamu pulang gih.. besok ke sini lagi, kakak ada hadiah buat kamu..”, pintaku.
“oke kak..!!”, jawab Eria.
Sebenarnya saat itu aku hanya tak ingin Eria melihatku menangis. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku ingin menangis saat menatap mata Eria. Aku merasakan ada sesuatu yang janggal saat menatap dalam mata Eria. Tapi aku tak tau apa itu.
Setelah Eria pulang kembali ke rumahnya, ku minta tante Rose untuk menyandingkan bibit Anggrek Eria Mawar pemberian Eria di samping Anggrek Vanda yang sedang mekar.
***
Malam ini ku siapkan sebuah kado sederhana yang akan ku berikan pada Eria. Aku ingin membalas kebaikan Eria yang selalu berhasil mengundang tawaku dan mengapus kesedihanku. Ku rangkai tangkai-tangkai Anggrek dari tamanku untuknya. Tak lupa, sekotak coklat kesukaanya. Memang besok bukanlah hari valentine. Tapi tak ada salahnya jika aku ingin membahagiakan seorang adik kecil dengan rangkaian Anggrek dan sekotak coklat. Memang sederhana, tapi hanya ini yang bisa ku berikan.
***
Pagi ini udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Aku telah duduk di atas kursi roda seperti biasa di antara Anggrek-Anggrek yang bermekaran. Sepertinya hari ini akan menyenangkan. Ku lihat Eria dengan pakaian dinas anak SD .Dia tersenyum dan menyapaku.
“heyy.. selamat pagi kakak.. Eria berangkat sekolah dulu yaa.. sampai ketemu nanti sore..”
“oke Eria.. kakak tunggu nanti sore.. hati-hati yaa.. yang rajin belajarnya..”
Dikayuhnya sepedanya dengan penuh semangat. Lagit biru dan gumpalan awan berarak menemani gadis Anggrek ke sekolah. Yakin, hari ini akan menjadi hari yang indah. Untuk mengisi waktu saat menanti sore menjelang dan Eria menemuiku, seperti biasa, yang kulakukan hanyalah duduk dan diam di atas kursi roda. Beberapa orang mungkin iri denganku yang hidup makmur walau hanya duduk dan diam. Tapi mereka salah. Aku tak bahagia di sini. Ku sesali semua yang telah ku lakukan 2 tahun lalu. Yaa.. tapi penyesalanku kini tak akan kembali merubah bubur menjadi nasi. Begitulah.. manusia hanya bisa menyesal di belakang.
Seorang pria datang menghampiriku. Motornya di parkirkan di luar pagar. Ia terlihat panik dan tergesa-gesa. ‘Sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada Tante Rose saat bekerja..’, pikirku.
“maaf.. apa benar ini rumah Ibu Michelia..?”, tanya lelaki tersebut.
“ooh.. bukan.. Rumah Ibu Michelia yang nomor 36. Rumah cat hijau di sebelah..”, jawabku ramah.
“oh.. terima kasih informasinya..”
“iya sama-sama..”
Lelaki itu berbalik dan dengan terburu-buru menuju ke rumah Ibu Michelia, Ibu dari Eria. Awalnya kupikir lelaki itu adalah suami atau saudara dari Ibu Michelia. Tapi tak lama setelah lelaki itu masuk ke rumah, Ibu Michelia keluar dan pergi bersama lelaki itu dengan raut cemas. Dan aku hanya bisa menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi dan berharap semua tetap dan akan baik-baik saja.
***
Ku pikir ini sudah cukup sore. Seharusnya sekarang Eria sudah berada di sini menemuiku.
Sebuah mobil ambulance melintas di depan rumahku. Mobil itu terlihat berhenti di halaman rumah Eria. Para tetangga mulai berkumpul di sana. Apa yang terjadi..? apa yang terjadi pada Eria..? aku harus ke sana. Bersama kursi rodaku, aku berusaha berjalan ke rumah Eria. Terlihat Ibu Michelia menangis pilu di depan sesosok tubuh mungil yang terbujur dan tertutup kain putih di ruang tamu.
“Itu bukan Eria kan..?itu bukan Eria.. pasti itu bukan Eria..!!”, teriakku dari muka pintu. Itu berhasil membuat para tetangga menujukan pandangan mereka ke arahku.
“itu Eria.. dia Eria..!!”, jawab Ibu Michelia lirih. Itu adalah satu kata paling lirih yang sanggup memukul keras hatiku. Eria telah berjanji padaku untuk menemuiku sore ini dan mengambil hadiah yang telah kujanjikan. Tapi sekarang yang terjadi adalah aku yang menemuinya. Aku menemuinya dalam keadaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sendi-sendinya telah kaku. Darahnya telah membeku. Sekujur tubuhnya melepuh.. Dia terlalu berani sebagai seorang gadis kecil. Mengorbankan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan seorang sahabat yang terjebak dalam api saat sebuah kebakaran terjadi di sekolahnya siang tadi.
Dan sekali lagi, setangkai Anggrek gugur. Setangkai Anggrek pergi meninggalkanku dan sebuah cempaka putih untuk selamanya. Dan kejadian yang sama seperti dua tahun lalu terulang. Semuanya sama. Sebelum mereka pergi, sebuah bibit Anggrek dititipkannya padaku agar aku tetap bisa melihat senyum mereka saat Anggrek Vanda dan Anggrek Eria Flvascen mekar. Cara yang indah untuk berpamitan denganku. Tapi, seindah apapun cara mereka, tetap saja itu sangat menyakitkanku.
‘Eria..kau terlahir sebagai pahlawan dan pembawa kebahagiaan di dunia meskipun hidupmu singkat. Selamat jalan Eria.. sampaikan salamku pada Vanda di surga. Sampaikan salam rinduku padanya.’
#END#

Jumat, 14 Januari 2011

fukai..By yusuf21

suasana kota tokyo dingin sekali,aku masih terduduk dgn pangkuan senja,satu bayangan di mana seseorang yg pernah bersamaku,dan kini org itu telah pergi..tepat 1 tahun,tempatku bersama fukai saling tertawa ,cinta dan ksih syg yg ku yakin tak akan pernah kandas,aku selalu ingat dgn tempat ini,krn seorang lelaki ,yg pernah ku cintai,pernah bersamaku,dan tempat ini adalah tempat bersejarah bagi kami,jembatan...dimana kami berdua duduk,memandang senja,dan sungai di bawahnya yg bercahaya terkena sinar matahari yg ingin tidur mnuju peraduan..di sini lah tempat kami berdua dulu///
***
"hey gadis cantik,kemarilah,bersenang2 lah dengan kami,ayoo,hahaha"
"iya,ayo cepat kemari,ayolah,lagipula kau sendirian begini,padahal hari sudah malam,dasar pelacur kau,"
"ya,padahal kau masih muda,"hahahahah"
"hahahahaha.kemarilah"
lelaki2 mabuk dan berniat jahat itu smkin mndekatiku,dan salah satunya hampir mmelukku,tiba2....
SRUAAKKKKKKKKKKKKK!!!!!!!!!!!
darah segar mnyiram sekelilingku,dan muncratannya mengenai wajahku juga,aku melihat tubuh lelaki hidug belang yg sedang mabuk itu,sudah khilangan kepalanya,dan berlumuran darah sangat banyak,tak lama ku lihat pemandangan yg sama terhadap lelaki2 pemabuk yg lainnya,mereka meninggal satu persatu dengan tubuh berlumuran darah...seketika aku gemetaran dan tak bergerak,tubuhku kaku,keringat dinginku mngucur deras tak menentu,..

"kau baik2 saja?"terdengar suara itu memecah kdinginan malam,dan ketidakmampuanku bergerak,ku lihat sosok disana,mendekat kearah sorot lampu jalan,..dia manusia,dengan bola mata merah,namun mnunjukkan senyumnya yg indah,siapa dia...
"syukurlah jika kau baik2 saja ,yamanaka..."
"siapa ..kk.aau?suaraku masih gemetaran,
"aku fukatsu himika,kau bisa panggil aku fukai,kalau kau mau,skrg kita jadi teman,,tangannya mnjabat tgnku,dan dia tersenyum laagi,sangat indah,soeor matanya masih merah,sangat mnakutkan jika saja dia tak slalu tersenyum,wajahnya yg tampan kulihat dengan jelas
"kenapa..kau?bagaimana bisa kau mmbunuh mereka?"tanyaku heran
"haha,kau tak perlu tau itu,"dia tertawa ramah sekali,kemudian 
"baiklah,aku adalah monster,aku bisa membunuh orang..dengan hanya mnaruh kebencian trhadapnya,hanya melihatnya,dan syaraf mereka akan menegang,pusat pernafasanya akan mrasa tertahan,lehernya akan tercekik,juga mereka akan merasakan sakit yg luar biasa,jika mataku,,,menatap mereka yg ku benci dgn tatapan kbencianku..darah mereka akan keluar ,padahal mereka tidak ku cabik dan kulukai,aku bisa mnghabiskan darah mereka,aku bisa mmbunuh kapanpun aku mau...yamanaka"
tubuhku menggigil,lagi2 aku takut,rasa apa ini?
"aku tidak percaya,,bagaimana bisa juga kau mngethaui namaku,mngkn saja kau mmbunuh mereka dgn senjata tajam yg tidak aku tau,atau mungkin......"
wushhhhhhh.....
dia mnghilang,tapi tnggu dulu,di pipiku darah segar mngalir,pipiku terluka,seperti ada yg merobeknya,kenapa..kenapa aku juga tidak bisa bergerak??
"berfikirlah sebelum kau mngatakan sesuatu,gadis bodoh..
APA!!!suara itu tepat di belakang tubuhku,aa.kapan dia berpindah,aku samasekali tidak mnyadarinya.siapa dia,mengapa dia bisa...
"aku akan mnjadi Tuhan untuk diriku sediri,untuk mnciptakan,,,keadilan dan perdamaian yg blum pernah trwujud sbelumnya,untuk mmbayar dendam dan mlenyapkan keganasan mereka untuk mnindas...bukan apa yg mnjadikanku seorang yg tak berakal,tapi aku yakin kau bisa mngerti,bagaimana,,jika kau terlahir tanpa tau keluargamu!!!"
hawa dingin mnyergapku,malam sudah terlalu larut,aku msh terdiam,tak kusadari bahwa dia mnghilang dr pengklihatanku..bnar2 hilang,lenyap bersama 1 kdipan mataku....
(bersambung)

Danau Kita by Yusuf21

Pagi ini kumulai hari pertamaku masuk di sekolah baruku dengan bangun kesiangan. Kutuju Satria lawasku yang ada di garasi rumah dengan pikiran setengah sadar dan mata seperempat melek. Dengan jaket kulit hitam oleh-oleh ayahku dari Australia saat dinas di luar negeri walau aku sedikit tak suka dengan barang itu, helm merah abu-abu takachi yang menutupi kepalaku, dan dengan efek slow motion dari imajinasiku layaknya sang pahlawan yang sedang bertemu musuh bebuyutanya di film-film cow boy. Ditambah alunan lagu rock penuh distrosi di ear phone iPodku, kupacu kuda besi putihku, terus, dan terus, melewati hiruk-pikuknya jalanan Bekasi yang sedari pagi sudah dipenuhi kereta besi yang berjalan seakan- akan seperti kura- kura.Akhirnya aku sampai di depan sekolah baruku, kuparkirkan motorku bersama yang lainnya. Lalu kulanjutkan berjalan menuju sebuah alamat di kertas yang kupegang, sebelas IPS 7. Kelas yang sedikit asing untukku karena di sekolah yang lama aku masuk dalam jurusan IPA. Hari senin telah sukses kulewati dengan mulus sebagai siswa baru. Tak ada yang mengerjaiku, dan tak ada masalah apapun. Kulanjutkan langkahku menuju tempat parkir. Kuhidupkan mesin motorku dan kutancap gas lalu pulang. Di jalan sepertinya ada yang tak beres, ada motor yang dari tadi membuntutiku. Karena panik aku menambah laju motorku. Tapi motor tadi tetap mengikutiku dan sampai akhirnya menghentikan aku. Dia turun dari motornya dan melepas helmnya. Sambil mendekatiku dia berkata padaku, “Thomas, sini dulu lo!” Suara itu terasa tak asing di kupingku. Benar saja suara yang memanggil namaku tadi adalah suara Arisma Yuniarto alias Hendra, entah bagamana bisa dipanggil demikian. Dia adalah orang yang pertama kali kukenal saat di Bekasi. Walaupun baru kenal tapi aku sudah merasa “eneg” dengannya karena dia selalu saja UUD (Ujung Ujungnya Duit). Tapi dia tetap yang tergokil deh.“. . .”“Nih, flashdisc lo ketinggalan di lab.” “Untung yang nemuin gue kalo klepto gimana?”“Wah, thanks ya bro, lo baik dech.” Lalu aku berencana pergi tapi Hendra menahanku“Eits, gue emang dah baik dari dulu terbukti dari omongan Nyokap gue tapi fulusnya nggak minta baik- baikan!” jawab Hendra“Masa lo tega ma prend sendiri.” Protesku“Lha apa mau gue buang aja ni flashdisc? ” Jawab Hendra“Nih, gocap doang. Kalo kurang ngrampok aja sana!” Lalu aku mengeluarkan uang yang sudah menyembul dikantongku“Gitu dong, udah sana lanjutin lagi. selamat berjalan saja.”“muka lo yang jalan!”Tanpa pikir panjang aku langsung tancap gas menuju ke rumah. Tapi, insiden kecil terjadi. Karena aku melamun diperjalanan aku menyerempet dan membuat dia tersungkur ditanah. Kulihat itu cukup membuat si pengendara vario itu terguling di tanah. Tapi, sebagai laki- laki aku harus tegas. Aku langsung berdiri dan memarahi si pengendara vario itu walupun terbukti aku yang bersalah.“Sialan lo, kalau nyetir tu liat- liat. Punya mata nggak sih? ” bentakku.“Maaf ya saya tidak hati- hati. Nanti yang rusak saya ganti deh.” Jawab si pengendara sambil membuka helmnyaBetapa terkejutnya aku bahwa yang menabrakku adalah seorang wanita yang cantik. Dan yang sangat aku herankan lagi meskipun aku yang jelas- jelas menabraknya, dia tidak marah- marah malah justru dia yang minta maaf.“Ga apa- apa sih aku juga yang salah. Kamu ga ada yang terluka kan?” Tanyaku sambil salah tingkah“Tidak kok,maaf aku buru- buru sekali jadi, kalau ada apa- apa aku...” Belum selesai dia berbicara aku segera menyela perkataannya.“Ya, nggak apa- apa kok” jawabkuLalu dengan cepat si pengendara vario biru itu pun langsung pergi. Baru kali ini aku bisa salah tingkah seperti ini apalagi didepan cewek. Dan baru pertama kalinya juga aku bisa aneh begini.Ah, aku cukup dibuat terpana olehnya. Setelah cukup lama aku menyadari kenapa aku tadi tidak bertanya namanya dan nomor telephonenya.Keesokan harinya aku sedikit terlambat bangun karena, semalam aku begadang dengan alasan yang sangat konyol yaitu selalu terbayang cewek yang kemarin berserempeten denganku. Dan aku bertekat untuk mencari informasi tentang cewek itu. Dan usut punya usut ternyata si cewek itu adalah teman dekat dari Hendra.“Wah, kenapa mesti Hendra sih. Pasti ntar ujung- ujungnya duit lagi.” BatinkuTapi itu tak menyurutkan tekadku untuk mendekatinya atau istilahnya PeDeKaTe.Langkah pertama aku dekati terus hendra dan mengorek informasi lebih dalam tentang dia yang diketahui namanya Ega. Langkah pertama terbukti berhasil dan kulanjutkan ke langkah yang kedua dengan kutanya terus Hendra tentang kebiasan Ega di rumah dan sifat- sifatnya tetapi aku tetap menjaga image agar tak terlihat seperti orang yang Fanatis. Sampai pada akhirnya perjuanganku membuahkan hasil. Aku berkenalan bercakap- cakap dengannya melalui Facebook  dan setelah cukup lama kutembak Ega pada pertengahan mid semester tepatnya pada tanggal 12 maret 2008.Betapa senangnya aku tapi, walaupun begitu jarang aku bertemu dengan Ega untuk sekedar berbincang atau Ngedate walaupun secara status aku sudah resmi jadi pacarnya. Kalaupun berbincang itu juga dengan teman- temannya atau sekedar chating di facebook. Karena alasan tersebut aku berinisiatif untuk mengajaknya ketempat yang sangat indah untuk menunjukkan betapa aku mencintai Ega. Tempat tersebut adalah danau yang tak jauh dari sekolahku.Disana kami bisa bercengkrama seperti pasangan pada umumnya tapi tetap normal dan tidak berlebihan. Aku sangat senang melihat senyum bibir manis Ega yang seolah mengunci hati ini untuk tetap singgah di hatinya.Hingga 1 tahun berlalu aku masih bersama Ega dan hubungan kami masih bersama dengan Ega.Hubungan kamipun masihg terbilang harmonis dan kami bagaikan sudah terikat sangat erat dan tak  dapat dipisahkan. Tapi, semua itu segera berubah ketika hari jumat 12 juni 2009.Ega mengajakku ketempat dimana kami berdua selalu bertemu. Hal ini sedikit aneh karena hari itu kami masih dalam keadaan tes semester. Tapi, karena sudah cinta apapun pasti dilakukan. Kami berboncengan menggunakan satria lawasku karena Ega tak membawa sepeda motornya.Setelah sampai di danau Ega langsung melepas tasnya dan memelukku dan menagis  seperti tak pernah bertemu selama bertahun- tahun. Aku menjadi heran dengan sifatnya. Aneh sekali.“  Ga, lo kenapa? Kok nangis, apa aku punya salah?” Tanyaku“Tidak apa- apa, aku Cuma ingin bersama kamu aja.”“…” Aku hanya terdiam melihat sifat Ega“Thomas, aku senang bisa bersama dengan kamu. Aku minta maaf ya aku belum bisa menjadi yang kamu inginkan?”“kok lo bicara begitu sih?” tanyaku dengan nada bingung“Kamu, jangan tinggalin aku ya. Aku ga tahu jika aku tanpa kamu?” kata Ega“lo ga percaya sama gue? Apa kamu perlu bukti.”“…” Ega hanya terdiam“Ga, kenapa kamu ini? Kok aneh banget?” TanyakuDiapun hanya menangis dan memelukku dengan sangat erat sampai- sampai degup jantungnya bisa kurasa. Aku semakin heran dengan sikap Ega yang sangat aneh tersebut. Tanpa pikir panjang aku memegang kedua pipi Ega, menghapus peluhnya dan langsung mencium bibirnya tapi tidak begitu lama aku melepasnya.“ Ega, itu salah satu bukti yang bisa aku berikan untukmu.” KatakuTak kusangka Ega malah semakin terisak- isak. Aku tak kuasa menahan emosiku akhirnya ku luapkan semua dengan menanyakan dengan sedikit keras.“Ga, udah deh kamu bilang aja aku bete kalo terus begini.” Kataku dengan nadasedikit keras“Maaf, aku mungkin sedikit khawatir ma kamu.”“Ya udah udah jam 13.30 kamu harus les kan. Ayo gue anterin.”“…”Walaupun tak ada jawaban dasri ega aku langsung menariknya dan kuantar ke Lembaga belajar tempat Ega les. Seperti biasa dia kutinggalkan dan lebih suka pulang naik bus.Setelah kejadian di danau itu perasaanku menjadi sangat tidak enak. Selama perjalanan aku hampir jatuh ke jurang karena memikirkan hal tadi. Tapi, aku masih berusaha konsentrasi dalam mengemudi.Keesokan harinya Ega tak masuk sekolah, kupikir karena sakit tapi, tidak ada surat izin dari keluarganya. Sampai kuketahui setelah pulang sekolah bahwa didepan rumahnya tertancap bendera kuning berukuran 30 x 30 cm. Aku bertanya siapa yang meninggal dunia. Ternyata Egalah yang meniggal dunia karena tertabrak bus ketika akan menyeberang saat pulang les. Aku segera berlari ke dalam rumah tetapi tak kutemui jenazah Ega. Maka kukejar ke pemakaman. Tapi terlambat jenazah Ega sudah terlanjur di makamkan.Entah apa yang kupikirkan sehingga aku langsung menuju ke Danau tempat dimana kami biasa  bertemu. Dengan segenap emosi kumaki- maki Tuhan yang telah memisahkan kami. Aku menjadi gila, menjadi bingung. Kulihat birunya danau didepanku sangat indah hingga terbesit keinginan untuk menyusul Ega yang telah terpisah ruang dan waktu denganku.Kulangkahkan kakiku mendekati danau dan menuju ke tengah danau.“Ega aku cinta padamu selamanya dan kita tak bisa dipisahkan. Danau ini adalah saksi dan danau ini adalah danau kita.” Itulah kata- kata terakhirku sebelum aku benar benar ….

cahaya pilihan by yusuf21

Ku pkir kau tk ada,tp kau ttp ada
kupikir kau lnyap tpi kau msh ada di sini..
Apkh kau hrus pergi?aku sungguh tak tau akan itu :D
apakh kau msh harus ada di sini?
aku tk mncoba mngrti sdikitpun
apa aku brhayal tntang langit ttap gelap tanpamu dan aku takut...
Aku hny tidak bisa mlhtmu,di gantikan prnak-pernik pagi ..
apa kau msh ada disana brsama bulan menerangi bumi yg lelah?
Apa kau msih brsemi brsama bunga2 di pdang rumput?
Apa kau brmaksud mnghilang disini
Dari tmpt dimana smwnya brmula dan akhirnya mgkn berakhir?
Tapi apakah trlau brharga untuk dilepas sinarmu yg bgtu kecil,tapi brmakna bagiku!!! :D
haha,bgtu kcil,tp mnganggu..
Jgn pergi kemana2...
ttp disini untuk menerangiku
smpai umurku brlalu di tiup dan di hempaskan
oleh waktu...

langit berduka (renungan)

Hampir tiap fajar langit tersedu
Menangis pilu jatuhkan peluh
Langit tengah tangisi saudara tuanya, Bumi
Sadarkah manusia ?
Heyy..
Tangisan langit karena kita
Iya "kita"
Kita yang tak pandai jaga saudara tuanya
Kita terlalu serakah sobat
Makan hutan kayu
Untuk sekedar lembaran kertas dan hutan beton
Tidakkah kalian sadar ?
Bumi kita makin tua
Bumi kita makin miskin
Bumi kita makin lemah
Bumi kita tengah sekarat
Hentikan keserakahan !
Kembalikan paru-paru bumi seperti semula
Biarkan hijau daratan
Tapi mungkinkah ?
Haha...
Pimpinan makin serakah
Tak mau dan tak pernah mau tau dan peduli

Bumi akan lenyap saat titik lemahnya tercapai
Dan "kita" membantu mempercepatnya
Jangan kaget bila suatu saat bumi meronta
Langit mengamuk
Lautan mengoyak daratan
Topan berdansa
Gunung meludah
Seonggokpun manusia tak pernah berdaya
Kecuali yang Tuhan hendaki
Renungkan ini sobat






.salam senyum
RIFA

Minggu, 09 Januari 2011

Waktuku Telah Habis (by rifa)


Di pagi buta yang sedingin ini, aku telah duduk di tepi kolam ikan kecil di sebuah taman. Hari masih gelap, hanya ada lampu taman kecil yang berada di tengah kolam yang membantuku melihat tarian indah ikan-ikan itu. Aku membawa sepotong roti sebagai menu sarapan ikan-ikan tersebut. Senyumku mengembang ketika melihat polah lucu mereka ketika berebut secuil demi secuil roti yang terlempar ringan dari tanganku. Aku senang dapat melihat mereka dapat berkumpul bersama saudara-saudara mereka, berkejaran, bermain dan menari dalam keriangan yang tak pernah padam. Namun, tak jarang pula aku menangis karena mereka. Yaa.. ikan-ikan itu tak seharusnya berada di wadah kecil seperti itu. Mereka terpenjara. Tempat mereka bukan di situ. Tempat mereka adalah di sebuah danau yang luas dengan air yang dingin dan jernih di tengah desa di lereng gunung, dengan penduduk yang ramah. Mereka pasti akan lebih bahagia di sana.
Hujan mulai turun. Aku tetap tak beranjak dari bangku kecil ini. Lamunku tetap saja menguasai, hingga aku tak sadar butiran-butiran air yang dingin menyentuh rambutku, pakaianku, kulitku, hingga ujung kakiku. Ikan-ikan itu melihat dengan pandangan iba ke arahku. Mereka seolah mengerti dengan keadaanku. Aku menangis di tengah lebatnya hujan. Tapi tak akan ada yang tahu jika saat ini aku sedang menangis. Sentuhan hujan dengan cekatan menghapus air mataku, tapi bukan tangisku. Mungkin juga langit tau kesedihanku hingga ia menangis untukku. Ayolah.. jangan ikut sedih. Aku baik-baik saja. Aku adalah gadis yang kuat.. percayalah padaku. Aku berjanji untuk tak akan pernah menyerah dengan semua ini dan meninggalkan semua orang yang mencintaiku dan yang aku cintai. Hal seperti ini selalu ku lakukan tiap fajar sejak satu bulan lalu, setelah pernyataan aneh dari seseorang berjas putih yang tak pernah ku duga sebelumnya. Sejak saat itu, aku selalu berharap dapat melihat saat sang bintang siang menyapa pagiku sebelum aku benar-benar buta, atau mungkin hanya tinggal nama.
Rintik hujan tak lagi mengenai tubuhku yang telah terlanjur basah. Tapi di depan mataku, di antara bias lampu taman, aku masih dapat melihat butiran air langit turun dan terjun ke rumah ikan. Seseorang melindungiku dengan payungnya dari belakang. Aku masih bertahan dengan pandangan mata kosong yang ku tujukan pada lampu taman yang berbinar. Orang itu menyampirkan jaket kulitnya pada tubuhku. Hangat..seketika itu yang kurasa. Ia menjatuhkan payungnya dan memelukku. Makin hangat rasanya. Hujanpun mulai reda saat ia mulai memelukku. Sejenak mataku terpejam. Mungkinkah yang memelukku sekarang adalah serorang peri yang tuhan berikan padaku untuk menjagaku..? haha..itu hanyalah bualan seorang anak kecil dalam mimpinya. Aku sadar hal semacam itu tak nyata dan tak akan pernah nyata. Hey..ingatlah..sekarang aku bukan lagi seorang anak kecil. Tanggal dua puluh, bulan tiga 2011 usiaku akan genap enam belas tahun.
“Dhea..”,suara itu membuat mataku terbuka kembali. Itu suara Joe, kekasihku yang hampir dua tahun meninggalkanku. Aku masih mengenali suaranya. Kami sering berbicara melalui telefon saat aku merindukannya, ataupun sebaliknya. Tak pernah dia tau keadaanku yang sebenarnya. Aku hanya membicarakan tentang keceriaan dan kebahagiaan. Bukan penderitaan, kesakitan, kesedihan, bahkan tangisan.
“Joe.. itu Joe..?”. aku mulai tersenyum. Ia melepaskan pelukannya dan memposisikan dirinya tepat di depanku. Ia berlutut dan memandangku. Kami saling bertatap mata, hingga larut dalam kerinduan yang selama ini tak pernah dapat terobati. Ciuman rindu yang menghanyutkanpun tak terelakkan. Saat-saat seperti ini yang selalu kunantikan. Memadu kasih dengan seorang kekasih selalu kurindukan dan kuharapkan keberadaannya. Sesuatu yang hangat mulai berjalan melalui pipiku hingga akhirnya terjatuh di pangkuanku. Aku menangis karena bahagia, hingga tak kurasakan rasa sakit di kepalaku yang mulai menyiksaku. Joe melepaskan bibir hangatnya dari bibirku. Kemudian kembali ia menatap mataku dalam. Aku dapat melihat kecemasan terpancar dari matanya.
“apa yang kau cemaskan Joe..?”, tanyaku seraya tersenyum padanya. Ia mengusap bagian atas dari bibirku dengan ibu jarinya.
“ini yang aku cemaskan sayang.. kau kenapa..?”, ia menunjukkan cairan kental berwarna merah pekat di ujung jarinya padaku. Aku hanya tersenyum.
“ohh.. kau tak perlu khawatir. Itu hanya saus tomat yang mungkin tercecer tadi malam saat aku makan pizza ayam yang lezat..xixixi..”, memang, aku merasa saat ini aku menjadi orang munafik yang sanggup membohongi diri sendiri.
“bohong.. kau sakit..”, Joe menebak. Dan mungkin itu adalah tebakan yang beruntung. Ohh..mungkin saja bukan. Pasti ia tau bahwa aku sakit. Tapi tetap ku sembunyikan kesakitanku darinya.
“Selamat ulang tahun Joe..”
“tak usah mengalihkan pembicaraan sayang. Aku kekasihmu. Salahkah bila aku ingin tau apa yang kau rasakan sekarang..? aku juga ingin merasakannya agar kau tak merasa sendiri mengembannya. Aku akan tetap mencintaimu apapun yang terjadi. Percayalah.. yang keluar dari mulutku ini tulus..bukan bualan dari lelaki brengsek yang bisanya hanya mengucapkannya di mulut,bukan dengan hati.. Dan aku akan membuktikannya untukmu.”
“Selamat ulang tahun Joe.. hari ini, 5 Januari 2011 usiamu genap 16 tahun. Maaf.. aku tak bisa memberikanmu sebuah hadiah ulang tahun untukmu hari ini..”, aku menyesal.
“sssttt.. heyy..bicara apa kamu..?” ujung telunjuknya menyentuh bibirku. Kurasa ia tak ingin mendengarku mengatakan hal seperti itu.” Dhea,  bertemu denganmu sejak pagi buta adalah kado terindah untukku. Dhea.. aku sangat mencintaimu.”, kecupan ringan mendarat di keningku.
Perlahan awan mendung mulai terpecah, terbawa angin, kemudian menghilang. Langit mulai terlihat bersih. Warna jingga temaram mulai menampakkan wajahnya dengan sapaan senyum hangatnya dari ufuk timur. Joe duduk di sampingku sambil memegang erat jemariku seolah tak ingin aku pergi meninggalkannya. Ku sandarkan kepalaku di bahunya. Pagi ini Joe berhasil menutupi rasa sakitku dengan kehadirannya yang tak terduga.
“Dhea..”
“yaa Joe..?”
“ku antarkan kau pulang ya.. pakaianmu basah.. aku tak ingin terjadi hal buruk apapun padamu..”, Joe selalu memperhatikan keadaanku.
“baiklah..”
***
“tok..tok..tok..”, Joe mengetuk pintu rumahku. Tak menunggu lama, ayahku keluar membukakan pintu dengan membawa sebilah pisau di tangan kirinya.
“Dhea.. nak Joe..? kapan datang..?”, tanya ayah.
“jam empat pagi tadi om.. saya langsung menghampiri  Dhea di taman..”
“ayo.. mari masuk. Maaf nak Joe, ini om lagi masak di dapur. Tunggu sebentar ya biar Dhea ganti baju dan masakan om matang. Nanti kita sarapan bareng..”, kata ayahku.
“Baik om..”, balas Joe.
Di kamar, aku mulai menulis sepucuk surat di atas kertas putih dengan tinta merah. Beberapa tetes darah tercecer di atas surat saat aku menulisnya dengan tangan bergetar. Mungkin ini adalah surat terakhir dariku untuk Joe. Aku menulis salam perpisahan untuk Joe dan memasukkannya ke dalam amplop merah muda bergambar teddy bear kesukaanku, kemudian meletakkannya di atas ranjangku. Aku harap ayah menemukannya dan memberikannya pada Joe. Setelah itu, kembali aku merasakan sakit kepala yang amat dahsyat. Aku memuntahkan semua isi lambungku ke lantai. Setetes demi setetes darah segar menetes mengenai muntahanku. Darah itu keluar dari rongga hidungku. Sakit ini tak bisa ku tahan lagi, hingga semua terasa gelap gulita. Aku pingsan..? entahlah.. Atau bahkan aku mati..? haha.. apapun itu aku siap.
Saat mataku mulai terbuka, aku tak lagi dapat melihat apapun dengan jelas. Penglihatanku makin menghilang. Tadinya kufikir mataku akan tetap berfungsi meskipun semua terlihat buram. Tapi ini..? aku nyaris buta. Semua terlihat hitam dan gelap. Tapi aku masih dapat merasakan sesuatu yang bergerak di sekitarku.
“Dhea..”, itu suara ayahku.
“Ayah.. kenapa lampunya dimatikan ayah..? di sini gelap.. Dhea gak bisa lihat ayah.. Dhea takut gelap..”, aku merengek dan menangis.
“semua baik-baik saja nak.. kamu tak usah takut.. Oh iya.. Joe ingin berbicara padamu..”, kata Ayah.
“Joe..? Joe..? Suruh dia pergi ayah.. Suruh dia pergi..”, aku membentak ayah. Setelah itu telingaku terasa berdengung hingga aku tak lagi bisa mendengarkan suara apapun dan sekeras apapun, bahkan suara yang keluar dari mulutku sendir tak dapat ku dengari. Sejak saat itu aku mulai menjadi pemarah dan pendiam. Aku hanya bisa terbaring lemah di atas ranjang entah dimana. Apakan aku berada di kamarku, ataupun di rumah sakit. Entahlah..
Hidupku terasa mati. Kanker Otak ini benar-benar menghancurkan hidupku. Semua bagian tubuhku tak dapat ku fungsikan. Secepat inilah Kanker Otak melumpuhkanku, merenggut masa remajaku, menghilangkan harapan akan masa depanku. Aku seperti mayat hidup di sini. Mataku terbuka, tapi aku tak melihat. Telingaku terbuka, tapi aku tak mendengar. Aku punya hidung, tapi tak dapat mencium segarnya bau rumput di pagi hari. Mulutku terbuka, tapi tak dapat mengucap sepatah katapun. Aku punya kulit, tapi telah mati rasa.
Tuhan…!!! Kenapa tak kau akhiri saja hariku..? kenapa tak kau lenyapkan saja aku..? kenapa kau biarkan aku hidup bagaikan sebongkah bangkai yang bernafas..? ohh.. Ayolah Tuhan..!! bunuh aku.. ambil nyawaku sekarang.. bila perlu kau boleh mengoyak jasatku sesukamu Tuhan.
***
Aku melihat setitik cahaya terang di ujung sana. Aku berlari dan terus berlari mengejar cahaya tersebut. Namun semakin ku kejar, cahaya terang itu terasa semakin menjauh dariku. Aku berhenti. Aku kelelahan. Tapi sekarang cahaya itu yang menghampiriku, mengejarku, kemudian menelanku. Aku melihat dunia yang asing..Sangat asing di mataku.hanya ada warna putih, hijau, dan biru disana. Aku melihat dua bidadari bergaun putih tersenyum padaku. Salah satunya sangat mirip denganku. Mereka tampak sangat cantik, anggun. Itu ibuku dan saudara kembarku. Aku menemukan mereka di sini. Jadi.. tuhan telah mengabulkan do’aku..? aku pindah dunia. Aku meninggalkan semua orang yang mencintaiku. Sekarang mereka pasti sedang menangis tersedu meratapi jasatku.
“Dhea..Dhea.. akhirnya kamu datang juga.. kamu sudah besar yaa..”, suara bidarari itu terdengar lembut dan menggema.
“ibu..? kau ibuku..? apakah sekarang aku sudah mati..?”, tanyaku.
“kamu tidak mati nak.. hanya jiwamu yang di pisahkan Tuhan dari jasatmu..”,ia tersenyum. Aku mengerti apa yang dimaksud. Itu artinya memang aku telah mati, tapi ia mengatakannya dengan lebih halus.
“Ibu..bisakah akau melihat orang-orang yang aku tinggalkan di bumi untuk terakhir kalinya..?”
“tentu..sekarang pejamkan matamu..”
Seketika aku telah berada di sebuah pemakaman. Aku melihat gundukan tanah yang masih basah. Hanya seseorang berpakaian hitam yang tersisa disana. Itu Joe. Ia terlihat amat terpukul. Ia terduduk di tepi makam sambil menangis. Tangannya memegang sesuatu.. matanya memandang sesuatu. Aku mendekatinya. Ternyata ia sedang membaca surat perpisahan dariku.
“dear my love,
Joe..
Dear.. maafkan aku ya.. Aku tak pernah sekalipun bermaksud menjanjikan kebohongan padamu. Aku hanya tak ingin membuat hatimu resah karena keadaanku yang semakin memburuk. Aku ingin jujur padamu. Sejak dua bulan lalu aku sering mengalami sakit kepala yang berlebihan, muntah, hingga mimisan yang terus-menerus. Keadaan itu terus berlanjut. Lama kelamaan fungsi dari panca inderaku semakin berkurang dan melemah. Aku jadi mudah marah dan tersinggung, sendi-sendiku melemah hingga aku lumpuh. Satu bulan setelah gejala-gejala itu aku baru membawanya ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan. Ternyata, hasil dari rangkaian tes yang ku jalani menyatakan bahwa aku positif terkena Kanker Otak stadium akhir. Saat itu dokter memfonis bahwa sisa hidupku tak lebih dari sepuluh hari. Aku harus segera menjalani operasi untuk mengangkat sel-sel kanker yang sangat ganas di otakku. Setelah itu aku di haruskan untuk menjalani kemotherapy untuk benar-benar memastikan sel-sel kanker itu benar-benar lenyap. Aku menolak mentah-mentah apa yang dokter sarankan. Aku tak ingin bagian tubuhku cacat terkena pisau operasi. Aku juga tak ingin kehilangan rambutku hingga botak. Aku tak ingin kulitku mengering dan mengelupas karena obat keras yang di suntikkan ke kulitku. Berbeda dengan yang dokter prediksikan, kenyataannya, aku masih bertahan hingga hampir tiga puluh lima hari. Tuhan berbaik hati padaku. Ia memberiku bonus oksigen untuk ku hirup selama 25 hari dan membiarkanku mengucapkan “Selamat Ulang Tahun” padamu untuk yang terakhir kali sebelum aku pergi…
Dear.. maaf ya.. mungkin ini adalah kado ulang tahun terpahit untukmu, dariku. Mungkin besok saat kamu membaca surat ini, aku sudah menyatu dengan tanah…
Dear.. kamu memang cinta terakhirku, tapi aku sangat berharap bahwa kamu tak akan menjadikanku cinta terakhirmu. Kau layak mendapatkan kebahagiaanmu dengan perempuan pilihanmu selain aku. Aku mencintaimu sampai kapanpun…
Selamat tinggal sayangku.. waktuku untuk bermain-main di dunia telah habis.. waktuku telah habis… lupakan aku dan semua kesedihan tentangku. Hilangkan aku dari kepalamu. Anggaplah senyumanku sebagai mimpi yang tak pernah nyata sebelumnya. Anggaplah kata-kata yang terlontar dari mulutku sebagai bisikan indah dari malaikat yang selalu ada di sampingmu. Hapus namaku “Dhea” agar kau tak lagi menangisiku…
Sudahlah sayang.. aku pergi.. kau cinta terakhirku Joe..
Salam cinta dan perpisahan
Dhea. ”
#END#

Jumat, 07 Januari 2011

A Dream of the Dreamers (Cerpen)


A Dream of the Dreamers
“nggi…Anggi…!!”, seorang ibu memAnggil anaknya.
“iya bu… sebentar..Anggi ganti baju dulu”, sahut Anggi.
Setelah mengganti seragam sekolahnya dengan seragam dinasnya, Anggi segera mengambil sebuah karung goni yang terselip di dinding dari anyaman bambu gubuknya yang hanya ia tinggali bersama ibunya. Ya.. sepulang sekolah Anggi selalu membantu ibunya memulung berkeliling kota mencari barang-barang bekas yang dapat di jual kembali untuk menyambung hidup mereka di hari berikutnya.
Siang ini mentari terasa sangat terik. Itu tak menyurutkan niat anak kelas 5 SD itu untuk turut serta membantu ibunya. Panas memang. Anggi tak sama seperti kebanyakan anak perempuan lain yang ‘takut hitam’. Anggi telah kebal dengan ejekan teman-temannya yang kebanyakan berasal dari keluarga kaya yang menyebutnya ‘Anggi si arang’. Kulit Anggi memang hitam. Tapi itu tak menutupi paras ayunya yang semakin lengkap  dengan lesung pipit di pipi kirinya yang semakin membuatnya terlihat manis saat tersenyum. Anggi bersekolah di sebuah sekolah dasar swasta tempat anak-anak orang kaya bersekolah yang pastinya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. (“tapi Anggi kan…?”). Anggi bisa bersekolah di tempat itu berkat bantuan seorang dermawan yang bersedia menanggung semua biaya sekolah dan perlengkapan sekolah Anggi karena melihat potensi dan semangat Anggi untuk bersekolah. Tapi dermawan tersebut hanya membiayai sekolah Anggi sampai kelas 2 SD, karena saat naik ke kelas 3 Anggi mendapat beasiswa sebagai siswa berprestasi di sekolahnya. Prestasinya mampu bertahan hingga sekarang.
“Bu.. udah yuk.. karung Anggi udah penuh nih..”, kata Anggi seraya menyeka keringatnya yang mengalir di pelipisnya.
“hmm.. ya udah.. Anggi istirahat dulu di sana.. Di bawah pohon itu.. ibu masih bawa karung kosong kok.. biar ibu lanjut..”, kata ibu, sambil menunjuk ke arah pohon beringin besar yang terlihat teduh dan sejuk.
“tapi bu…”, Anggi menyela.
“udah deh nak.. kamu istirahat aja.. ibu gak papa kok..”
“ya udah deh bu.. ibu kalau capek istirahat yaa…”
Anggipun berjalan menuju pohon beringin itu. Ia duduk di akar pohon dan bersandar di batang pohon tersebut. Angin sepoi menyapu kulit wajah Anggi yang basah karena berkeringat, juga rambut lurus sebahu Anggi yang terurai hingga berterbangan menutupi sebagian wajahnya. Di ambilnya rambut yang menutupi wajahnya, kemudian diselipkan ke belakang telinganya dengan ujung jarinya. Ia mengambil nafas panjang sambil memejamkan mata, lalu menghembuskannya seraya tersenyum dan berkata “Alangkah indahya dunia ini. Aku beruntung memiliki segalanya..”. walaupun bisa di bilang masih kecil, Anggi sudah bisa berpikir bijaksana. Manja tak ada dalam kamus hidupnya. Sejak kecil ia telah hidup prihatin bersama Ibunya. Angin sepoi terus saja membelainya. Rasa kantuk mulai menghampirinya. Tak di sadari, perlahan matanya mulai terpejam.
***
“Sekarang saya akan bacakan peringkat prestasi kelulusan anak-anak kelas 6 yang telah mengikuti ujian akhir nasional..yang di pAnggil di harap segera menempatkan diri di panggung utama.. peringkat kedua di raih oleh Yogi Indra Suherman siswa dari kelas 6 III, putera dari bapak Ali Suherman, M.Pd. peringkat ketiga di raih oleh Clara Nurmala Cahyani dari kelas 6 IV, puteri dari bapak Dr. Hj. Sonny Cahyono. Yang mendapat peringkat pertama tahun ini adalah…………Nidha Anggi Utami dari kelas 6 II, putera dari Alm. Bapak Joko Sunyoto. Bapak kepala sekolah diharapkan untuk bersedia memberikan penghargaan sekaligus kenang-kenangan kepada para siswa berprestasi.”
“prok..prok..prok..”,suara tepuk tangan penonton riuh saat melihat kepala sekolah memberikan penghargaan dan kenang-kenangan kepada para siswa berprestasi.
Ibu Anggi menangis di atas panggung karena terharu atas apa yang telah di raih Anggi, anak semata wayangnya. Anggipun bangga. Ia telah benar-benar tak mensia-siakan kesempatan yang selalu terbuka lebar untuknya. Segudang prestasi telah Anggi raih. Selepas lulus dari sekolah Dasar, lagi-lagi Anggi mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya. Ia merasa sangat beruntung. Tuhan sangat menyayanginya dan selalu memberikan jalan baginya, sehingga banyak orang di sekitarnya yang menyayanginya dan peduli dengannya.
Sejak lama Anggi selalu bermimpi saat dewasa kelak ia ingin menjadi seorang pengacara yang selalu membela yang lemah. Ia sering membaca dari koran yang ia temukan, bahwa banyak orang kaya yang menindas orang miskin terutama pada masalah hukum. Anggi merasa miris. Kenapa sampai sekarang pemerintah belum mampu menegakkan keadilan..? banyak aparat yang gila harta dan tak peduli dengan hak asasi manusia. Namun tak sedikit juga yang benar-benar adil dan jujur. Namun Anggi hanya ingin meluruskan kawat lurus yang bengkok di tengahnya agar dapat lurus sempurna. Tapi, cara sesungguhnya tak semudah meluruskan seuntai kawat kecil. Itu perlu perjuangan yang tak mudah. Bagi para orang kaya, hukum bisa di beli. Dan bagi orang miskin, mereka tak berdaya dalam menghadapi hukum. Mereka bahkan di pandang sebelah mata oleh aparat penegak hukum itu sendiri. Seperti yang pernah Anggi baca, seorang pencuri kapas di penjara selama 1 th 6 bulan. Sedangkan para tikus berdasi di biarkan melenggang bebas,keluar masuk sel dengan bebas, bahkan sempat berlibur. Tak adil memang. Tapi itulah cermin hukum yang ada di Negara ini. Negara yang menyebut dirinya sebagai Negara hukum. Anggi telah bertekat, ia benar-benar ingin menjadi seorang pengacara yang hanya membela yang tertindas.
Masa-masa SMP ia lewati layaknya anak usia remaja lainnya. Bedanya, Anggi masih saja memulung bersama ibunya sepulang sekolah, dan mengantarkan koran saat berangkat ke sekolah dengan sepeda bekas pemberian seseorang yang tinggal di perumahan elite di dekat tempat tinggalnya. Ia mempunyai seorang sahabat, Angga namanya. Kehidupan Angga berbeda 180 derajat di banding Anggi. Angga adalah seorang anak orang kaya yang selalu terpenuhi segala kebutuhannya. Namun demikian tak lantas membuat Angga menjadi seorang yang sombong dan manja. Menurut Angga, dia bukan orang kaya. Tapi orang tuanyalah yang mempunnyai harta. Bukan dia. Angga tak pernah menmbanggakan ataupun menyombongkan harta orang tuanya. Itulah sebabnya, Anggi tak canggung bersahabat dengan Angga. Anggi dan Angga adalah sepasang sahabat yang mempunyai prinsip dan tujuan hidup yang sama, yaitu menegakkan keadilan di Negara ini. Memang jarang ada anak SMP yang memikirkan hal seperti itu.
3 tahun bersekolah di SMP yang sama dan menjadi sahabat yang baik dan tak terpisahkan. Saat pengumuman kelulusan lagi-lagi Anggi menjadi juara umum. Menakjubkan. Sedangkan Angga, sahabatnya mendapatkan juara 3. Mereka memang benar-benar sahabat yang kompak dalam hal apapun. Termasuk dalam urusan prestasi. Namun setelah lulus, mereka harus berpisah karena Angga harus menuruti keinginan orang tuanya untuk bersekolah di sebuah sekolah swasta yang di pilihkan orang tuanya. Sedangkan Anggi, ia tetap melanjutkan sekolah di sekolah negeri yang tak memerlukan biaya untuknya karena beasiswa dari pemerintah telah menanti. Namun sebelum mereka berpisah, mereka telah mengikrarkan sebuah janji bahwa mereka akan sama-sama menegakkan keadilan di Negara ini. Cita-cita yang mulia memang.
Anggi melewati masa-masa SMA masih dengan bekerja keras. Kini ibunya mulai sakit-sakitan. Anggipun kini menjadi tulang punggung keluarganya. Ia tak lagi memulung. Tapi, kini ia menjadi seorang guru les di salah satu tempat bimbel ternama di kotanya. Honornya lumayan, cukup untuk ia dan ibunya makan sehari-hari. Namun untuk biaya berobat ibunya, ia tak mempunyai jalan lain selain berhutang kesana-kemari kepada para tetangga yang juga bukan orang yang berada. Berat memang. Apapun rela dilakukannya demi ibunya. Apapun masalah yang menimpanya, sosok Anggi selalu saja tegar dan bisa menyelesaikannya. Mungkin itu karena ia telah terbiasa hidup prihatin sejak kecil. Saat duduk di kelas 3 SMA, tepatnya 1 minggu sebelum ujian nasional  Anggi mengalami sebuah masalah. Seseorang ingin membeli tanah yang ditnggali Anggi, ibunya, dan para tetangga yang lain dengan harga yang murah dan dengan cara pemaksaan melalui terror-teror yang cukup meresahkan. Seseorang meletakkan kepala tikus yang telah di banting hancur dan juga sepucuk surat yang berisi ancaman di dalam kresek hitam di masing-masing pintu rumah. Orangitu adalah orang suruhan Pak Yudha, orang yang bukan berasal dari kota ini. Beberapa gentar dan takut hingga berencana untuk merelakan tanahnya di beli dengan harga murah dan terusir entah kemana. Tak ada yang tau tujuan orang itu memaksa membeli tanah-tanah warga tersebut.
Anggi tak terima dengan perlakuan orang tak bertanggung jawab tersebut. Ia iba kepada ibunya yang sedang sakit-sakitan, dimana lagi mereka harus tinggal apabila terusir dari sini.  Ia tak gentar dengan ancaman orang yang merupakan suruhan dari Pak Yudha yang hendak mengambil alih tanah ini. Anggi menanggapinya dengan senyum yang sangat getir dirasa apabila sang pemaksa melihatnya.
“haah..dipikir Anggi takut sama ancaman kayak gitu..!! liat saja.. gak bakal ada seorangpun yang terusir dari sini.. negaraku Negara hukum.. negarku menjamin sebuah keadilan untuk rakyatnya..”, kata Anggi optimis.
Tak mau mengulur waktu, Anggipun mencoba berbicara para ketua RT tempatnnya tinggalnya untuk mengumpulkan warganya di balai warga siang ini juga untuk menyusun sebuah rencana bersama.
***
“nah.. sekarang semua warga telah berkumpul.. saya ingin bertanya, apakah di antara kalian ada yang telah menanda tangani surat penjualan tanah itu…?”, tanya Anggi. Semua warga saling menoleh satu sama lain. Sepertinya tak ada di antara mereka yang telah menanda tanganinya.
“tidak ada..?”, masih tak ada jawaban. Anggi mengambil keksimpulan bahwa belum seorangpun yang menanda tanganinya. “bagus.. saya mengumpulkan anda semua disini untuk meminta persetujuan untuk memperkarakan kasus ini di pengadilan.. setuju…?”, Anggi meminta persetujuan. Warga tetap diam. Tak ada suara lantang yang terdengar. Hanya bisaik-bisik gemuruh yang terdengar. Sedetik..dua detik…tiga detik..
“alaah.. urusan sama polisi, sama pengadilan bikin runyam..”, salah seorang warga menyampaikan pendapat.
“begini yaa.. biarpun saya masih anak SMA, selama bersekolah saya mendapat pengetahuan tentang hukum yang tidak sedikit. Hukum akan memberikan perlindungan pada yang benar. Kita tunjukkan saja bukti ancaman orang tak bertanggung jawab itu. Apa anda semua rela kalau tanah kelahiran kita ini di rampas orang tanpa alasan dan tujuan yang jelas…? Yang lebih tidak baik adalah caranya. Orang itu melanggar hak asasi manusia.dia memaksa kita menjual tanah dengan harga yang murah. Apa lagi disertai dengan ancaman seperti ini. Apa anda semua bisa terima…? Kalau saya tidak akan pernah tinggal diam.. ”, jelas Anggi tegas. Semua warga terdiam mendengarkan penjelasam Anggi. Maklum, mereka semua tak sampai mendapatkan pendidikan seperti Anggi. Anggi mempunyai modal otak, tekat, dan keberuntungan untuk mencapai semua ini. Rata-rata dari mereka bahkan putus sekolah karena kemiskinan. Kini tak ada yang mengelak. Seirng berjalannya waktu, hari mulai sore dan para warga harus melanjutkan aktifitasnya. Anggi menyudahi pertemuan tersebut.
***
Pagi ini Anggi sengaja meminta ijin pada sekolahnya untuk tidak masuk sekolah dengan alasan sakit. Terpaksa ia berbohong karena ia tak ingin seseorang tau masalahnya sekarang. Pada pukul 9 ia akan pergi bersama ketua RT dan dua orang warga untuk melaporkan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Pak Yudha dan anak buahnya. Di kantor polisi Anggi menjelaskan secara rinci apa saja yang telah diperbuat oleh Pak Yudha dan anak buahnya dengan menyertakan bukti-bukti yang dirasa cukup kuat. Polisipun menanggapinya dengan baik dan akan segera menangani masalah ini sebelum menjadi masalah yang lebih besar. Anggi dan para wargapun menyerahkan masalah ini pada polisi.
Tak lama setelah laporan tersebut, Pak Yudha dan beberapa anak buahnyapun diringkus oleh polisi. Kini Anggi bisa bernapas lega karena biang keresahan masyarakat telah ditangkap. Anggipun bisa belajar dengan tenang untuk menghadapi ujian nasional yang 3 hari lagi akan dimulai.
Setelah ujian berakhir, Anggi masih harus menjadi saksi di persidangan. Dengan lantang Anggi menjelaskan semuanya, tanpa suatu kebohongan apapun. Pak Yudha dan anak buahnyapun tak bisa mengelak karena bukti telah ditangan. Anggi pemenangnya. Sesabit senyum merekah indah di bibirnya. Semua warga memujinya dan menyandangkan predikat pahlawan pada Anggi. Ibu Anggi yang saat itu juga menyaksikan persidanngan, tersenyum bahagia. Ia bangga mempunyai seorang putri yang berani membela yang lemah, tanpa gentar dengan ancaman-ancaman yang ada.
***
Untuk mengisi waktu saat menunggu hari penentuan kelulusan tiba, Anggi tak mensia-siakan kesempatan untuk mengikuti tes beasiswa ke luar negeri. Ia benar-benar mendewakan waktu dan kesempatan yang mungkin tak datang 2 kali.
Hari pengumuman kelulusan tiba. Anggi, bersama ibunya yang duduk di atas kursi roda pemberian seorang dermawanpun menunggu surat pengumuman kelulusan yang dikirim ke rumah masing-masing. Kebahagiaan muncul setelah Ibu Anggi membuka surat itu, yang menyatakan Anggi berhasil lulus dengan usaha kerasnya sendiri. Ibunya menangis haru disana. Begitu pula Anggi. Anggi selalu bisa membuat ibunya merasa sebagai orang tua yang berhasil mendidik anaknya dengan kerja keras dan ketekunan. Bukan dengan harta. Bahkan ibunya nyaris tak mengeluarkan biaya untuk membayar komite sekolahnya selama ini. Kebahagiaan mereka tak hanya di situ. Anggi menjadi salah satu dari 3 orang yang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri. Sungguh, Anggi memang tidak terlahir di keluarga yang beruntung. Tapi ia terlahir disertai dengan keberuntungan.
 “selamat nak… sejauh ini kamu berhasil.. jangan sia-siakan kesempatan itu ya.. jadilah apa yang selama ini kamu inginkan.., menjadi seorang pengacara, penegak keadilan yang hebat dan jujur..”, ibunya tersenyum dam menatap Anggi.
Anggi membalas tatapan ibunya dengan prihatin. Ia tak rela meninggalkan ibunya yang sakit-sakitan sendirian di gubuk tua itu. Sedangkan apabila Anggi berangkat ke luar negeri, ia akan mendapatkan fasilitas hidup yang layak. Anggi merasa hal itu sangat tidak adil.
“Anggi pengen tetap di sini saja sama ibu..”, Anggi tersenyum. “Anggi masih bisa ikut tes beasiswa untuk universitas negeri kok bu.. Anggi gak bisa tinggalin ibu sendirian di sini..”
Ibunya tak kuasa menahan tangis haru. Ibunya hanya diam dan tersenyum dalam tangis.
***
Hari ini Anggi mengikuti tes untuk mendapatkan beasiswa di slalah satu perguruan tinggi ternama di kota tetangga. Ia bersaing dengan 80 peserta lain untuk memperebutkan 2 beasiswa yang akan di berikan. Anggi sempat pesimis. Tapi ibunya selalu memberikan dukungan pada Anggi.
Lagi-lagi Anggi beruntung. Sebenarnya bukan hanya modal keberuntungan yang ia miliki, tapi juga otak yang cerdas. Anggi berhasil menjadi salah satu dari 2 orang yang terpilih. Dan ternyata, oran laing yang terpilih adalah sahabat Anggi sejak SMP. yaa.. ialah Angga. Mereka akan belajar di kampus yang sama dan mengambil jurusan Hukum. Mereka bersama-sama menepeti janji mereka untuk menjadi pembela kebenaran dan penegak keadilan.
Hingga akhirnya mereka menjadi apa yang selama ini mereka impikan. Yaa..menjadi seorang pengacara hebat yang hanya ingin mencarikan keadilan untuk orang yang lemah, bukan untuk uang.
Kini, dari hasil kerjanya, Anggi dapat memberikan tempat tinggal yang layak untuk ibunya, membiayai pengobatan ibunya, dan memberangkatkan ibunya Haji. Sungguh, Anggi benar-benar berhasil menjadi anak yang berbakti pada orang tua, peduli dengan cermin keadilan, dan memiliki banyak prestasi.
Saat telah berusia 24 tahun, Angga meminangnya sebagai isteri. Hmm.. sungguh lengkap kebahagiaan Anggi. Dunia ini memang sangat adil. Sejak kecil Anggi hidup dalam keprihatinan, saat dewasa hidup dalam kepedulian.


***


“Anggi..pulang yuk..udah sore nih..”, suara lembut membangunkan Anggi yang tertidur pulas di bawah pohon beringin.
Anggi membuka matanya. Dilihatnya, ibunya berada di depannya. Anggi tersenyum. Senyum anak 10 tahun yang sangat manis.
“ohh..ibu.. udah sore ya bu..? ayo pulang.. J ”, Anggi berdiri,kemudian menatap langit sore yang mulai kemerahan masih dengan senyum manisnya.
“aku akan meraihnya..aku akan mewujudkan mimpi indahku… J”,kata Anggi. Kata itu terucap merdu dari bibir polos anak 10 tahun yang mempunyai cita mulia.
Kemudian ia meraih dan memanggul karung yang berisi barang rongsok itu dan membawanya pulang. Anggi dan ibunya pulang ke gubuknya dengan bergandengan tangan seperti biasa.

#END#



->aku ingat kata Yusuf “HIDUP BUKAN CERPEN”. Memang. Tapi jika boleh aku berharap, aku ingin hidupku kelak bisa sama seperti yang tokoh “Anggi” dapatkan. Menjadi seorang pengacara yang hebat, bukan bertujuan untuk mencari harta duniawi, melainkan aku ingin berguna untuk siapa saja yang membutuhkan bantuan hukum. J
Sekian..Wassalam.. J