Minggu, 09 Januari 2011

Waktuku Telah Habis (by rifa)


Di pagi buta yang sedingin ini, aku telah duduk di tepi kolam ikan kecil di sebuah taman. Hari masih gelap, hanya ada lampu taman kecil yang berada di tengah kolam yang membantuku melihat tarian indah ikan-ikan itu. Aku membawa sepotong roti sebagai menu sarapan ikan-ikan tersebut. Senyumku mengembang ketika melihat polah lucu mereka ketika berebut secuil demi secuil roti yang terlempar ringan dari tanganku. Aku senang dapat melihat mereka dapat berkumpul bersama saudara-saudara mereka, berkejaran, bermain dan menari dalam keriangan yang tak pernah padam. Namun, tak jarang pula aku menangis karena mereka. Yaa.. ikan-ikan itu tak seharusnya berada di wadah kecil seperti itu. Mereka terpenjara. Tempat mereka bukan di situ. Tempat mereka adalah di sebuah danau yang luas dengan air yang dingin dan jernih di tengah desa di lereng gunung, dengan penduduk yang ramah. Mereka pasti akan lebih bahagia di sana.
Hujan mulai turun. Aku tetap tak beranjak dari bangku kecil ini. Lamunku tetap saja menguasai, hingga aku tak sadar butiran-butiran air yang dingin menyentuh rambutku, pakaianku, kulitku, hingga ujung kakiku. Ikan-ikan itu melihat dengan pandangan iba ke arahku. Mereka seolah mengerti dengan keadaanku. Aku menangis di tengah lebatnya hujan. Tapi tak akan ada yang tahu jika saat ini aku sedang menangis. Sentuhan hujan dengan cekatan menghapus air mataku, tapi bukan tangisku. Mungkin juga langit tau kesedihanku hingga ia menangis untukku. Ayolah.. jangan ikut sedih. Aku baik-baik saja. Aku adalah gadis yang kuat.. percayalah padaku. Aku berjanji untuk tak akan pernah menyerah dengan semua ini dan meninggalkan semua orang yang mencintaiku dan yang aku cintai. Hal seperti ini selalu ku lakukan tiap fajar sejak satu bulan lalu, setelah pernyataan aneh dari seseorang berjas putih yang tak pernah ku duga sebelumnya. Sejak saat itu, aku selalu berharap dapat melihat saat sang bintang siang menyapa pagiku sebelum aku benar-benar buta, atau mungkin hanya tinggal nama.
Rintik hujan tak lagi mengenai tubuhku yang telah terlanjur basah. Tapi di depan mataku, di antara bias lampu taman, aku masih dapat melihat butiran air langit turun dan terjun ke rumah ikan. Seseorang melindungiku dengan payungnya dari belakang. Aku masih bertahan dengan pandangan mata kosong yang ku tujukan pada lampu taman yang berbinar. Orang itu menyampirkan jaket kulitnya pada tubuhku. Hangat..seketika itu yang kurasa. Ia menjatuhkan payungnya dan memelukku. Makin hangat rasanya. Hujanpun mulai reda saat ia mulai memelukku. Sejenak mataku terpejam. Mungkinkah yang memelukku sekarang adalah serorang peri yang tuhan berikan padaku untuk menjagaku..? haha..itu hanyalah bualan seorang anak kecil dalam mimpinya. Aku sadar hal semacam itu tak nyata dan tak akan pernah nyata. Hey..ingatlah..sekarang aku bukan lagi seorang anak kecil. Tanggal dua puluh, bulan tiga 2011 usiaku akan genap enam belas tahun.
“Dhea..”,suara itu membuat mataku terbuka kembali. Itu suara Joe, kekasihku yang hampir dua tahun meninggalkanku. Aku masih mengenali suaranya. Kami sering berbicara melalui telefon saat aku merindukannya, ataupun sebaliknya. Tak pernah dia tau keadaanku yang sebenarnya. Aku hanya membicarakan tentang keceriaan dan kebahagiaan. Bukan penderitaan, kesakitan, kesedihan, bahkan tangisan.
“Joe.. itu Joe..?”. aku mulai tersenyum. Ia melepaskan pelukannya dan memposisikan dirinya tepat di depanku. Ia berlutut dan memandangku. Kami saling bertatap mata, hingga larut dalam kerinduan yang selama ini tak pernah dapat terobati. Ciuman rindu yang menghanyutkanpun tak terelakkan. Saat-saat seperti ini yang selalu kunantikan. Memadu kasih dengan seorang kekasih selalu kurindukan dan kuharapkan keberadaannya. Sesuatu yang hangat mulai berjalan melalui pipiku hingga akhirnya terjatuh di pangkuanku. Aku menangis karena bahagia, hingga tak kurasakan rasa sakit di kepalaku yang mulai menyiksaku. Joe melepaskan bibir hangatnya dari bibirku. Kemudian kembali ia menatap mataku dalam. Aku dapat melihat kecemasan terpancar dari matanya.
“apa yang kau cemaskan Joe..?”, tanyaku seraya tersenyum padanya. Ia mengusap bagian atas dari bibirku dengan ibu jarinya.
“ini yang aku cemaskan sayang.. kau kenapa..?”, ia menunjukkan cairan kental berwarna merah pekat di ujung jarinya padaku. Aku hanya tersenyum.
“ohh.. kau tak perlu khawatir. Itu hanya saus tomat yang mungkin tercecer tadi malam saat aku makan pizza ayam yang lezat..xixixi..”, memang, aku merasa saat ini aku menjadi orang munafik yang sanggup membohongi diri sendiri.
“bohong.. kau sakit..”, Joe menebak. Dan mungkin itu adalah tebakan yang beruntung. Ohh..mungkin saja bukan. Pasti ia tau bahwa aku sakit. Tapi tetap ku sembunyikan kesakitanku darinya.
“Selamat ulang tahun Joe..”
“tak usah mengalihkan pembicaraan sayang. Aku kekasihmu. Salahkah bila aku ingin tau apa yang kau rasakan sekarang..? aku juga ingin merasakannya agar kau tak merasa sendiri mengembannya. Aku akan tetap mencintaimu apapun yang terjadi. Percayalah.. yang keluar dari mulutku ini tulus..bukan bualan dari lelaki brengsek yang bisanya hanya mengucapkannya di mulut,bukan dengan hati.. Dan aku akan membuktikannya untukmu.”
“Selamat ulang tahun Joe.. hari ini, 5 Januari 2011 usiamu genap 16 tahun. Maaf.. aku tak bisa memberikanmu sebuah hadiah ulang tahun untukmu hari ini..”, aku menyesal.
“sssttt.. heyy..bicara apa kamu..?” ujung telunjuknya menyentuh bibirku. Kurasa ia tak ingin mendengarku mengatakan hal seperti itu.” Dhea,  bertemu denganmu sejak pagi buta adalah kado terindah untukku. Dhea.. aku sangat mencintaimu.”, kecupan ringan mendarat di keningku.
Perlahan awan mendung mulai terpecah, terbawa angin, kemudian menghilang. Langit mulai terlihat bersih. Warna jingga temaram mulai menampakkan wajahnya dengan sapaan senyum hangatnya dari ufuk timur. Joe duduk di sampingku sambil memegang erat jemariku seolah tak ingin aku pergi meninggalkannya. Ku sandarkan kepalaku di bahunya. Pagi ini Joe berhasil menutupi rasa sakitku dengan kehadirannya yang tak terduga.
“Dhea..”
“yaa Joe..?”
“ku antarkan kau pulang ya.. pakaianmu basah.. aku tak ingin terjadi hal buruk apapun padamu..”, Joe selalu memperhatikan keadaanku.
“baiklah..”
***
“tok..tok..tok..”, Joe mengetuk pintu rumahku. Tak menunggu lama, ayahku keluar membukakan pintu dengan membawa sebilah pisau di tangan kirinya.
“Dhea.. nak Joe..? kapan datang..?”, tanya ayah.
“jam empat pagi tadi om.. saya langsung menghampiri  Dhea di taman..”
“ayo.. mari masuk. Maaf nak Joe, ini om lagi masak di dapur. Tunggu sebentar ya biar Dhea ganti baju dan masakan om matang. Nanti kita sarapan bareng..”, kata ayahku.
“Baik om..”, balas Joe.
Di kamar, aku mulai menulis sepucuk surat di atas kertas putih dengan tinta merah. Beberapa tetes darah tercecer di atas surat saat aku menulisnya dengan tangan bergetar. Mungkin ini adalah surat terakhir dariku untuk Joe. Aku menulis salam perpisahan untuk Joe dan memasukkannya ke dalam amplop merah muda bergambar teddy bear kesukaanku, kemudian meletakkannya di atas ranjangku. Aku harap ayah menemukannya dan memberikannya pada Joe. Setelah itu, kembali aku merasakan sakit kepala yang amat dahsyat. Aku memuntahkan semua isi lambungku ke lantai. Setetes demi setetes darah segar menetes mengenai muntahanku. Darah itu keluar dari rongga hidungku. Sakit ini tak bisa ku tahan lagi, hingga semua terasa gelap gulita. Aku pingsan..? entahlah.. Atau bahkan aku mati..? haha.. apapun itu aku siap.
Saat mataku mulai terbuka, aku tak lagi dapat melihat apapun dengan jelas. Penglihatanku makin menghilang. Tadinya kufikir mataku akan tetap berfungsi meskipun semua terlihat buram. Tapi ini..? aku nyaris buta. Semua terlihat hitam dan gelap. Tapi aku masih dapat merasakan sesuatu yang bergerak di sekitarku.
“Dhea..”, itu suara ayahku.
“Ayah.. kenapa lampunya dimatikan ayah..? di sini gelap.. Dhea gak bisa lihat ayah.. Dhea takut gelap..”, aku merengek dan menangis.
“semua baik-baik saja nak.. kamu tak usah takut.. Oh iya.. Joe ingin berbicara padamu..”, kata Ayah.
“Joe..? Joe..? Suruh dia pergi ayah.. Suruh dia pergi..”, aku membentak ayah. Setelah itu telingaku terasa berdengung hingga aku tak lagi bisa mendengarkan suara apapun dan sekeras apapun, bahkan suara yang keluar dari mulutku sendir tak dapat ku dengari. Sejak saat itu aku mulai menjadi pemarah dan pendiam. Aku hanya bisa terbaring lemah di atas ranjang entah dimana. Apakan aku berada di kamarku, ataupun di rumah sakit. Entahlah..
Hidupku terasa mati. Kanker Otak ini benar-benar menghancurkan hidupku. Semua bagian tubuhku tak dapat ku fungsikan. Secepat inilah Kanker Otak melumpuhkanku, merenggut masa remajaku, menghilangkan harapan akan masa depanku. Aku seperti mayat hidup di sini. Mataku terbuka, tapi aku tak melihat. Telingaku terbuka, tapi aku tak mendengar. Aku punya hidung, tapi tak dapat mencium segarnya bau rumput di pagi hari. Mulutku terbuka, tapi tak dapat mengucap sepatah katapun. Aku punya kulit, tapi telah mati rasa.
Tuhan…!!! Kenapa tak kau akhiri saja hariku..? kenapa tak kau lenyapkan saja aku..? kenapa kau biarkan aku hidup bagaikan sebongkah bangkai yang bernafas..? ohh.. Ayolah Tuhan..!! bunuh aku.. ambil nyawaku sekarang.. bila perlu kau boleh mengoyak jasatku sesukamu Tuhan.
***
Aku melihat setitik cahaya terang di ujung sana. Aku berlari dan terus berlari mengejar cahaya tersebut. Namun semakin ku kejar, cahaya terang itu terasa semakin menjauh dariku. Aku berhenti. Aku kelelahan. Tapi sekarang cahaya itu yang menghampiriku, mengejarku, kemudian menelanku. Aku melihat dunia yang asing..Sangat asing di mataku.hanya ada warna putih, hijau, dan biru disana. Aku melihat dua bidadari bergaun putih tersenyum padaku. Salah satunya sangat mirip denganku. Mereka tampak sangat cantik, anggun. Itu ibuku dan saudara kembarku. Aku menemukan mereka di sini. Jadi.. tuhan telah mengabulkan do’aku..? aku pindah dunia. Aku meninggalkan semua orang yang mencintaiku. Sekarang mereka pasti sedang menangis tersedu meratapi jasatku.
“Dhea..Dhea.. akhirnya kamu datang juga.. kamu sudah besar yaa..”, suara bidarari itu terdengar lembut dan menggema.
“ibu..? kau ibuku..? apakah sekarang aku sudah mati..?”, tanyaku.
“kamu tidak mati nak.. hanya jiwamu yang di pisahkan Tuhan dari jasatmu..”,ia tersenyum. Aku mengerti apa yang dimaksud. Itu artinya memang aku telah mati, tapi ia mengatakannya dengan lebih halus.
“Ibu..bisakah akau melihat orang-orang yang aku tinggalkan di bumi untuk terakhir kalinya..?”
“tentu..sekarang pejamkan matamu..”
Seketika aku telah berada di sebuah pemakaman. Aku melihat gundukan tanah yang masih basah. Hanya seseorang berpakaian hitam yang tersisa disana. Itu Joe. Ia terlihat amat terpukul. Ia terduduk di tepi makam sambil menangis. Tangannya memegang sesuatu.. matanya memandang sesuatu. Aku mendekatinya. Ternyata ia sedang membaca surat perpisahan dariku.
“dear my love,
Joe..
Dear.. maafkan aku ya.. Aku tak pernah sekalipun bermaksud menjanjikan kebohongan padamu. Aku hanya tak ingin membuat hatimu resah karena keadaanku yang semakin memburuk. Aku ingin jujur padamu. Sejak dua bulan lalu aku sering mengalami sakit kepala yang berlebihan, muntah, hingga mimisan yang terus-menerus. Keadaan itu terus berlanjut. Lama kelamaan fungsi dari panca inderaku semakin berkurang dan melemah. Aku jadi mudah marah dan tersinggung, sendi-sendiku melemah hingga aku lumpuh. Satu bulan setelah gejala-gejala itu aku baru membawanya ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan. Ternyata, hasil dari rangkaian tes yang ku jalani menyatakan bahwa aku positif terkena Kanker Otak stadium akhir. Saat itu dokter memfonis bahwa sisa hidupku tak lebih dari sepuluh hari. Aku harus segera menjalani operasi untuk mengangkat sel-sel kanker yang sangat ganas di otakku. Setelah itu aku di haruskan untuk menjalani kemotherapy untuk benar-benar memastikan sel-sel kanker itu benar-benar lenyap. Aku menolak mentah-mentah apa yang dokter sarankan. Aku tak ingin bagian tubuhku cacat terkena pisau operasi. Aku juga tak ingin kehilangan rambutku hingga botak. Aku tak ingin kulitku mengering dan mengelupas karena obat keras yang di suntikkan ke kulitku. Berbeda dengan yang dokter prediksikan, kenyataannya, aku masih bertahan hingga hampir tiga puluh lima hari. Tuhan berbaik hati padaku. Ia memberiku bonus oksigen untuk ku hirup selama 25 hari dan membiarkanku mengucapkan “Selamat Ulang Tahun” padamu untuk yang terakhir kali sebelum aku pergi…
Dear.. maaf ya.. mungkin ini adalah kado ulang tahun terpahit untukmu, dariku. Mungkin besok saat kamu membaca surat ini, aku sudah menyatu dengan tanah…
Dear.. kamu memang cinta terakhirku, tapi aku sangat berharap bahwa kamu tak akan menjadikanku cinta terakhirmu. Kau layak mendapatkan kebahagiaanmu dengan perempuan pilihanmu selain aku. Aku mencintaimu sampai kapanpun…
Selamat tinggal sayangku.. waktuku untuk bermain-main di dunia telah habis.. waktuku telah habis… lupakan aku dan semua kesedihan tentangku. Hilangkan aku dari kepalamu. Anggaplah senyumanku sebagai mimpi yang tak pernah nyata sebelumnya. Anggaplah kata-kata yang terlontar dari mulutku sebagai bisikan indah dari malaikat yang selalu ada di sampingmu. Hapus namaku “Dhea” agar kau tak lagi menangisiku…
Sudahlah sayang.. aku pergi.. kau cinta terakhirku Joe..
Salam cinta dan perpisahan
Dhea. ”
#END#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar