Apapun Untukmu, CINTA
“tiga..dua..satu..”, para pembalap liar segera tancap gas sekencang mungkin untuk saling beradu cepat. Salah satu dari pembalap-pembalap tersebut adalah Enggar,kekasihku. Aku sudah berusaha mencegahnya untuk tidak ikut balapan. Apa lagi malam sudah larut. Keadaan jalan yang gelap tanpa penerangan membuatku semakin khawatir. Saat aku berusaha mencegahnya, ia hanya berkata “aku butuh uang sayang.. kamu tahu keadaan Ibuku bukan…? Ibuku butuh uang buat biaya operasi.. jumlahnya gak sedikit sayang..”. Kata-kata itu sontak melunakkanku dan membuatku tertunduk lesu. Aku tahu apa yang Enggar lakukan tidak baik,bahkan salah. Sejujurnya aku ingin sekali membantu Enggar untuk menyelesaikan administrasi rumah sakit agar Ibunya dapat segera dioperasi dan Enggar tak lagi melakukan balapan liar untuk mendapatkan uang. Namun apalah dayaku…? Aku belum mempunyai pekerjaan yang dapat membantu. Aku bahkan masih duduk di bangku kelas 1 SMA.
Aku hanya berdiri di tepi garis start dan berdo’a agar tak terjadi hal buruk apapun pada Enggar. Beberapa meter dari tempatku berdiri ada segerombol orang yang berteriak-teriak memberi semangat pada pembalap jagoannya. Angin malam yang terasa teramat dingin membuat nafasku sesak. Sweater hijau muda yang ku kenakan kurasa tak membantu. Ingin rasanya aku menyingkir dari arena balapan ini dan pulang ke rumah untuk beristirahat agar penyakitku ini tidak kambuh dan lebih membuat Enggar makin banyak pikiran. Namun ku urungkan niatku untuk melakukannya. Enggar, kekasihku sedang berjung untuk mendapatkan uang untuk biaya operasi Ibunya. Enggar adalah orang yang paling ku cintai setelah kedua orang tuaku. Karena alasan cinta itulah aku ingin selalu berada di dekat Enggar, walau apapun yang terjadi.
“brrrraaaaakkkkkkkkk!!!”,terdengar suara itu berasal dari tempat yang agak jauh. Nampaknya suara itu berasal dari belakang garis finish. Semua orang yang tadinya bersorak-sorai ria segera berlari menuju ke sumber suara. Aku berjalan perlahan di belakang mereka. Ya..telah terjadi kecelakaan tunggal di sana. Tempat yang gelap membuatku agak sulit melihat. Tidak terlihat jelas olehku siapa yang mengalami kecelakaan. Orang-orang itu bergerombol melingkar mengitari korban. Itu membuatku semakin sulit untuk melihat.
“waahh.. mati nih anak.. ayo kabur sebelum polisi datang.. jadi kasus nih..”,salah seorang dari mereka berkata. Kemudian mereka berhamburan pergi meninggalkan korban kecelakaan. Saat itulah aku menyadari bahwa pembalap yang mengalami kecelakaan adalah Enggar,kekasihku tercinta. Tubuhnya tersungkur. Kaki kanannya terjepit oleh badan motor yang tadinya ia kendarai. Motornya ringsek karena menabrak sebuah pohon rambutan tua di tepi tikungan jalan. Aku yang sedari tadi hanya berdiri terpaku melihat Enggar tersungkur tak berdaya pun mulai meleleh. Aku berlutut di atas aspal kasar yang dingin. Peluh mulai mengucur deras melalui pipiku, hingga akhirnya terjatuh ke bumi. Bibirku tak mampu berucap sepatah kata pun. Bahkan untuk berteriak meminta tolongpun tak sanggup.
Aku mulai merangkak manghampiri tubuh Enggar, kemudian mengusap darah yang mengalir menutupi wajahnya dengan sweater hijau muda yang ku kenakan. Aku memeluk erat tubuhya seakan tak ingin kehilangannya. Jujur, saat itu hatiku sangat takut. Apa lagi jika Enggar benar-benar akan pergi meninggalkanku. Saat aku mulai bisa mengendalikan diriku, aku pu mulai berteriak-teriak meminta pertolongan. Namun nampaknya sia-sia. Malam terlampau larut. Keadaan jalan begitu gelap tanpa penerangan apapun. Tak mungkin juga seseorang berani melewati jalanan seperti ini, apa lagi pada malam hari. Aku ingin segera membawa Enggar ke rumah sakit terdekaat untuk segera mendapatkan pertolongan. Aku ingin membopong Enggar. Namun apa dayaku..? Badanku terlalu kecil dan tak berdaya untuk melakukannya. Ditambah lagi dengan penyakitku ini. Aku merasa sangat tak berguna ketika Enggar sedang membutuhkan pertolongan. Padahal Enggar selalu ada kapanpun aku membutuhkannya.
Aku mulai bangkit. Dengan sekuat tenaga aku berusaha menyingkirkan badan motor yang menindih kaki kanan Enggar. Usahaku kecilku tak sia-sia. Aku berhasil menyingkirkanya dan menyeret tubuh Enggar lebih menepi ke tepi jalan. Kanapa aku menyeretnya…? Itu karena aku adalah seorang perempuan kurus kecil yang penyakitan. Itu cukup menjelaskan bukan…? Tak banyak dayaku. Mungkin aku hanya beruntung bisa memiliki seorang kekasih yang tegar dan sangat setia menjagaku seperti Enggar. Ingin aku mencari pertolongan pada warga kampung terdekat untuk mengijinkan semalam kami menginap di gubuknya. Saat aku hendak beranjak, rasa khawatir selalu menyertaiku. Bagaimana jika Enggar meninggl saat aku tak di sampingnya..? pasti aku akan merasa sangat bodoh. Bodoh..!! Lebih baik aku tetap disini bersama Enggar dan mati bersama-sama. Saat itu aku berpikir apa bila Enggar meninggal, aku sangat berharap penyakitku kambuh dan merenggut nyawaku kemudian terbang terbawa angin bersama arwah Enggar. Namun di sisi lain aku sangat berharap bahwa akan ada seseorang yang lewat dan bersedia memberi pertolongan untuk Enggar, karena sejujurnya aku ingin hidup lebih lama bersamanya. Do’aku terkabul. Tampak dari kejauhan sorot lampu mobil sedang berjalan menuju ke arah kami. Aku berdiri dan langsung menghadang jalan untuk meminta tumpangan ke rumah sakit.
“pak..pak..tolong saya pak.. tolong antarkan saya dan dia ke rumah sakit terdekat..”,kataku dengan tergesa-gesa sambil menunjuk ke arah Enggar yang terbaring tak berdaya dengan darah mambasahi kepala, tubuh, dan kakinya. Sang supir pun melihat ke arah Enggar. Tak tega melihat keadaan Enggar, sang supir pun bersedia berbalik arah untuk mengantarkan Enggar ke rumah sakit terdekat. Ia segera turun untuk mengangkat Enggar ke jok belakang. Aku memangku kepala Enggar dan menyumbat luka di kepalanya dengan sweater hijau mudaku agar darah tidak terus-terusan keluar dan mengalir. Di perjalanan, tak hentinya aku berdo’a agar Enggar tetap bertahan. Terus saja aku mengelus kepala Enggar dan berharap ia segera sadar dari pingsannya. Sesekali ku kecup keningnya.
Cintaku teramat dalam untuknya. Ialah orang yang pertama menyadarkanku akan indahnya dunia ini dan memberiku semangat untuk tidak menyerah melawan penyakitku ini. Sekarang saatnya aku membalas budi. Apapun akan ku lakukan agar Enggar tetap hidup dan bertahan. Sesampai di rumah sakit, beberapa orang perawat langsung membawa Enggar ke ruang UGD yang memang buka selama 24 jam. Mereka tak mengijinkanku ikut ke dalam menemani Enggar. Aku menunggu di luar dan hanya bisa pasrah dan berusaha menyiapkan mental atas segala yang akan dokter katakan tentang keadaan Enggar. Di luar suasana tampak lengang. Aku berusaha untuk tidak menangis, seperti yang selalu Enggar katakana padaku. Aku memang sakit, tapi kesakitanku ini tidak boleh kubayar dengan tangisan. Aku tak ingin menangis karena aku ingin menepati janjiku terhadap Enggar yaitu menjadi sosok perempuan yang tegar tanpa tangis. Suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunku. Seorang dokter keluar.
“maaf..bisa saya bicara dengan keluarga dari pasien yang mengalami kecelakaan barusan..?”,tanya dokter tersebut.
“yaa..saya sendiri dok..apa yang terjadi sama Enggar…? Dia gak parah kan dok..? dia masih bisa diselametin kan..?”,kembali aku bertanya. Aku berusaha tenang.
“maaf mbak..pasien sedang kritis jarena kehilangan banyak darah. Ia sedang membutuhkan transfusi darah dengan golongan AB, sedangkan kami tidak mempunyai stok darah golongan AB..”, dokter menjelaskan.
“AB dok..? golongan darah saya AB dok. Ambil darah saya saja dok…”,pintaku.
“tapi sepertinya kondisi tubuh anda tidak memungkinkan untuk melakukan transfusi..”, namun nampak keraguan dari raut dokter.
“tapi dok..saya gak papa kok.. sekarang yang lebih penting adalah menyelamatkan nyawa Enggar.. please dok..saya benar-benar serius..”,aku makin ngotot.
“ya sudahlah.. anda yang minta.. tapi kami hanya mengambil setengah kantung saja mengingat kesehatan anda juga perlu di pertimbangkan. Sekurangnya, kami akan berusaha mencarikan donor yang cocok..”
“baik dok…”
***
Setelah mendapatkan transfusi darah keadaan Enggar mulai membaik. Kini, di dalam darah Enggar mengalir pula darahku. Cinta kami makin tak mungkin untuk berakhir. Tidak sampai di situ, Enggar masih harus menjalani dua buah operasi untuk menyambung kembali salah satu tulang iganya yang patah dan dua jari kirinya. Biarpun tadinya kaki kanannya yang tertindih, namun anehnya hanya tulang iga dan dua ruas jarinya yang patah da kakinya hanya mengalami luka robek. Namun tak semudah itu. Hal ini harus dengan sepengetahuan orang tuanya. Tapi bagaimana bisa..? Enggar tak lagi mempunyai ayah. Yang tinggal hanya Ibunya yang kini sakit-sakitan. Oh iya..aku masih punya sedikit tabungan. Mungkin saja bisa menutup biaya pengobatan Enggar biarpun mungkin tidak secara total. Aku hanya mengandalkan sisa royalti yang diberikan oleh sebuah perusahaan penerbitan sebagai imbalan dari karya sederhanaku. Aku mengiyakan bahwa Enggar akan segera di operasi pagi nanti.
Fajarpun menjelang. Tak sedikitpun mataku terpejam. Di lorong rumah sakit yang sunyi ini aku mendudukkan tubuhku yang mulai merasa kesakitan dan sesak napas. Aku tetap bertahan karena ada Enggar di dalam sana yang sedang berjuang melawan segala kemungkinan buruk yang kapanpun bisa terjadi. Aku tak ingin lemah. Apapun untukmu, cinta.
Hingga akhirnya mentari menampakkan dirinya. Memberi arti betapa hangatnya hidup ini, walau masalah sebesar apapun menghadang. Enggar, cintaku adalah matahari hidupku. Tak mungkin sanggup aku bertahan di sini tanpa Enggar. Pagi ini Enggar akan menjalankan operasi tersebut. Saat Enggar di bawa ke ruang operasi, aku sempat memegang tangannya dan mengecup keningnya. Saat ku pandang wajahnya tampak pucat. Matanya masih saja terpejam. Sejak semalam dia belum sempat membuka matanya walau sedetik. Perban penutup luka jahitan di kepalanya nampak membuat dirinya terlihat makin parah. Lagi-lagi aku di haruskan untuk menunggu hingga operasi selesai dan dapat seharian menjaga dan menemani Enggar. Di tengah operasi salah seorang dokter keluar.
“maaf, nampaknya kami harus mengamputasi dua jari kirinya yang remuk. Kemungkinan ia akan cacat. Tapi kemungkinan ia dapat hidup normal dengan operasi penyambungan jari. Sekarang yang jadi masalahnya adalah tidak ada orang yang bersedia medonorkan jarinya..”
“saya bersedia dok.. apapun akan ku lakukan untuk Enggar..”
“yakin anda bersedia…? Tapi anda harus menjalani pemeriksaan terlebih dahulu apakah cocok atau tidak.”
“ayo dokter kita lakukan sekarang. Aku tak ingin melihatnya terlalu lama menderita. Aku ingin ia segera kembali mendapatkan hidupnya yang normal agar bisa kembali meringankan beban keluarganya dok.. ayo lakukan sekarang.. tunggu apa lagi..?”
“maaf, semua perlu waktu. Kami juga harus menaati semua prosedur yang berlaku. Anda dapat menjalani pemeriksaan sekarang juga. Namun kami tidak dapat melakukan operasi penyambungan sekarang juga. Ini dapat di lakukan jaika keadaan pasien mulai membaik.”,jelas dokter.
“tapi dok, aku tak yakin akan sanggup bertahan lama disisni. Ayolah dok..lakukan semua secepat mungkin selagi aku masih bertahan.”, aku makin memelas.
“baaiklah.. kami akan berusaha.”, kata dokter menyetujui.
Dokterpun memanggil salah satu perawat untuk menemaniku ke ruang pemeriksaan. Perlu waktu dua jam untukku menunggu hasil pemeriksaan keluar. Dan leganya hatiku saat mengetahui bahwa bagian tubuk yang akan ku sumbangkan cocok untuk Enggar. Tak menunggu waktu lama, dokter membawaku ke ruang operasi untuk melakukan pengangkatan jari tengah dan jari manis tangan kiriku untuk disambungkan ke jari Enggar. Dokter menyuntikkan obat bius hingga mataku terpejam. Saat aku terbangun, langit-langit putih yang pertama menyapaku. Kurasakan kaku di sekitar lenganku. Tternyata perban telah terpasang melilit telapak tanganku. Aku yakin dua jariku relah raib dan berpindah ke tangan Enggar.
“dokter.. mana Enggar..?”,teriakku. Salah seorang suster mendekat dan membantuku bangkit dari ranjang putih ini. Ia menyapaku dengan ramah. “mana Enggar suster…?”, kembali aku bertanya.
“dia sudah beristirahat disana.”, kata suster dengan tersenyum. Terbaca dari senyumnya, ia sedang menyembunyikan sesuatu.
“bisa aku melihatnya..?”,aku mulai penasaran dan memaksa. Suster hanya terdiam. “suster..!! anterin aku ketemu sama Enggar..”, aku makin memaksa.
“sebentar ya.. suster mau panggil dokter dulu.”,kata suster. Aku terdiam dan tak menjawab.
Tak sampai sepuluh menit, seorang dokter datang dan berbicara padaku.
“anda siapanya Enggar..?”,tanya dokter tersebut. Aku belum pernah melihat dokter itu sebelumnya.
“saya kekasihnya dok..”,jawabku.
“oh.. terima kaish telah berusaha menyelamatkan Enggar dengan mengorbankan bagian tubuhmu.. saya adik dari Ibunya Enggar. Kami telah lama terpisah..”,kata dokter tersebut.
“berarti anda pamannya Enggar..?”
“ya..”, jawabnya sembari tersenyum.
“lalu dimana Enggar sekarang dok..? saya ingin bertemu dengannya..”, kataku.
Dokter tersebut kemudian memandangku dan memegang kedua bahuku. Tatapan metanya begitu tajam. Setajam mata elang. Perlahan terlihat di sudut matanya setitik air. Ya..ia mulai menangis. Itu membuatku semakin penasaran dengan apa yang terjadi pada Enggar. Sedetik kemudian ia berucap. “Enggar pergi… Dia pergi ke surga nak… ia kehabisan darah saat menjalani operasi.. tidak hanya itu.. pendarahan hebat di tulang iganya yang patah dan belum sempat di operasi membuatnya lebih cepat menghadap yang kuasa..kamu yang sabar yaa… semua juga ikut bersedih..”,jelas dokter tersebut.
Kedua tanganku mulai membekap mulutku. Aku tak percaya Enggar, matahariku pergi secepat ini. Aku mulai tersengal dalam tangis. Nafasku tak teratur, keringat dingin mulai keluar dari poriku. Aku benar-benar tak percaya. Akankah aku sanggup bertahan tanpa ada matahari yang selalu menghangatkanku..? tangisku makin menjadi saat dokter mengelus rambutku.
“aku ingin bertemu Enggar untuk terakhir kali Dok…”,kataku saat aku mulai dapat mengendalikan diriku.
“baiklah jika ini keinginanmu.. tapi kamu harus janji untuk tidak akan menangis meronta saat berada dihadapan Enggar. Sebelum Enggar tertidur untuk selamanya, ia sempat terbangun dan bicara bahwa ia tak ingin ada air mata yang keluar dari matamu. ”
“baiklah..saya akan mencobanya..”,kataku.
Dokterpun mengantarkanku ke kamar jenazah untuk melihat jasat Enggar untuk terakhir kali sebelum dimakamkan. Disana aku mencoba untuk tidak menangis. Ternyata keluarganya telah berkumpul. Ibunya berada di samping jenazah dengan kursi rodanya. Mereka tampak lebih tegar dibandingkan denganku. Aku berjalan tertatih menghampiri Ibunya. Aku memeluknya. Di bahunya, air mataku mulai mengucur.
“Ibu..Enggar udah pergi bu.. dia ninggalin kita..”,kataku. Ibu Enggarpun mulai menangis.
“sudahlah nak.. tuhan telah menakdirkannya.. cukup segitu usia Enggar.. ia telah banyak berjuang untuk Ibu.. terima kasih atas semua pengorbananmu sama Enggar.. Ibu tidak bisa membalasnya untukmu..”,Ibunya berusaha tegar.
***
Sore ini juga jasat Enggar akan di makamkan. Aku berdiri di samping Ibu Enggar. Lagi-lagi beliau tampak lebih tegar dariku saat melihat pemakaman Enggar. Biar bagaimanapun juga cintaku pada Enggar tak akan pernah padam. Cinta kami berdua akan selalu hidup meski kami terpisah di dua alam. Darahku telah menyatu dengan jasat Enggar. Begitu pula dengan bagian tubuhku yang lain yang ikut dimakamkan bersama tubuh dingin Enggar. Sampai kapanpun kami akan tetap bersatu menjaga cinta ini. Bersama darahku,dan juga dua ruas jariku. Selamat jalan Enggar. Tunggu aku disana. Aku akan menyusulmu. Penyakitku ini akan mempercepat jalanku untuk menyusulmu. I LOVE YOU…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar