Rabu, 20 April 2011

Rinai [oleh Rifa]

Rinai
[oleh Rifa]
Rinai. Aku menyebutnya Rinai. Entah sejak kapan dia terlihat nyata di hidupku. Sebelumnya aku tak pernah sadar akan kedatangannya. Jangan tanyakan mengapa, karena aku tak sekalipun ingat pertama kali dia menyapaku. oh.. atau mungkin saja aku yang pertama kali menyapanya. Seorang gadis bergaun putih, dengan tangan kanannya yang tak pernah sekalipun melepaskan setangkai mawar putih yang tak pernah layu. Senyumnya mengembang segar, sesegar mawar di tangannya yang selalu terlihat baru saja tersentuh embun.

Aku baru ingat. Sebelumnya kami tak pernah saling menyapa. Hanya saja kami kerap berbalas senyum dari kejauhan. Di sisi dia berada selalu saja terlihat Rinai hujan, tapi ia tak basah. Itu sebabya aku memanggilnya Rinai.
Aku ingin sekali menyapanya. Namun tiap kali bibirku berusaha bersua, tak satupun ucapaku terdengar. Aku seperti berada pada ruangan kedap udara yang tak pernah mengijinkanku berucap sapa.
Hei.. aku tak pernah melihat diriku sendiri sebelumnya. Siapa aku..? kenapa aku melihatnya..? Sudah lama. Kurasa. Tapi, sepertinya waktu di sini tak bergerak. Tak ada siang dan malam. Yang ku temu hanyalah pagi dan senja. Atu mungkin hanya pagi..? atau mungkin ini adalah senja..? Entahlah. Keadaan tak pernah berubah meski tlah lama aku terdiam di tempat ini.
Hanya terduduk memandang satu arah, ke arah gadis itu, Rinai. Tak lagi ku pertanyakan tempat apa yang aku tempati sekarang. Tak pernah ku fikirkan tentang makan dan minum. Aku tak pernah kelaparan ataupun kehausan di sini. Yang pasti aku tak sendiri di sini. Ada Rinai antara rintik hujan dan di atas ayunan bertali tumbuhan merambat yang selalu berbunga.
Detik berlalu, masih ku perhatikan tingkah tenangnya. Tersenyum, membelai, lalu mengirup wangi mawar itu. Hmm.. gadis yang cantik. Anggun.
###
Hap.. semua terlihat gelap. Sedikit demi sedkit semua terlihat merah. Seperti darah, tapi ini lebih terlihat seperti dinding. Kutatap sekelilingku. Merah..semua merah. Aku terkurung dalam suatu tempat entah apa namanya. Aku tak mengerti. Aku tak merasakan apapun. Semua berjalan begitu saja. Aku merasakan tubuhku melayang. Tapi tidak!
Samar-samar dinding merah itu mulai berubah menjadi seperti benang yang tersusun merapat. Dinding merah itu terlihat seperti lilitan benang. Benda itu belum mengijinkanku melihat apa yang ada di baliknya.
Kemudian semuanya kembali gelap. Kali ini hitam..pekat. Aku tak dapat melihat apapun. Dari kejauhan aku melihat setitik cahaya. Cahaya yang teramat terang hingga mencembungkan otot siliar mataku. Terlihat bayangan seseorang di ujung cahaya. Perlahan namun pasti dia mendekat. Aku terpaku. Tubuhku terasa mati. Ah..entahlah.. mungkin saja memang aku telah mati sebelumnya. Kini ia mulai terlihat jelas. Tepat berada di depanku. Wajahnya terlihat familiar di mataku. Dia..dia Rinai.
Aku merasakan sesuatu yang hangat dengan erat memeluk tubuhku. Rinai memelukku. Seketika semua terlihat seperti semula. Aku berada di tempatku. Tak nampak mataku Rinai berada di tempatnya. Dia masih memelukku. Aku benar-benar tak mengerti apa yang terjadi kali ini. Sungguh..aku tak mengerti.
“Key..”, dia terisak. Aku dapat mendengarnya. Bahkan aku dapat melihatnya dengan jelas. Dia melepaskan pelukannya, lalu menatap mataku dalam. Aku dapat melihat dengan jelas air mata yang keluar dari sudut kedua kelopak matanya. Ku balas dalam tatapannya dengan mencari makna dari matanya. Oh.. Rinai memanggilku Key..? siapa Key..? mungkinkah itu namaku..? aku bahkan tak sekalipun ingat nama itu.
“Rinai..? benarkah itu namamu..?”, dia mengangguk perlahan kemudian membenamkan kepalanya di dadaku. Nafasnya masih tersengal-sengal. Aku dapat merasakan detak jantungnya yang berdegup nyaris tak beraturan. Aku makin tak mengerti apa yang tengah terjadi. Sekarang aku dapat mendengar suaraku. Aku telah terlepas dari ruang kedap udara yang selama ini mencekikku. Rinai telah menyelamatkanku dengan caranya yang tak terduga.
Mungkin saja dinding benang merah tadi adalah dinding yang selama ini membatasi keberadaan kami. Tapi sekarang dinding itu telah runtuh hingga tak ada lagi pembatas antara kami.
Rinai..? siapa dia sebenarnya..? lalu, siapa aku..?
“jangan kau fikirkan siapa aku..aku sendiri tak tau siapa diriku sebenarnya”, ucap Rinai menjawap pertanyaan yang masih menjadi tanya dalam hati dan belum sempat terlontar dari mulutku.
“lalu, kenapa kau berada di tempat ini..?”, tanyaku. Dia tersenyum, lalu menghirup mawar putih yang selalu digenggamnya.
“entahlah.. aku tak ingat apapun sebelum sampai di tempat ini..”, jawabnya.
“kau tau ini tempat apa..?”, tanyaku semakin penasaran.
“ya.. kata mereka ini adalah tempat yang tuhan ciptakan untuk menunggu. Entah itu ke kehidupan yang baru, atau kembali pada kehidupan yang sebelumnya”, jawabnya tenang
“aku tak mengerti”, jawabku sembari mengangkat bahuku yang mengisyaratkan aku masih tak mengerti.
“aku juga.. tapi itu yang mereka katakan jauh sebelum kita datang kemari”
“lalu kemana mereka..? siapa mereka yang kau maksud..? aku tak melihat siapapun kecuali kamu di tempat asing ini..”, tanyaku. Masih belum lenyap rasa penasaranku.
“sudah, jangan kau tanyakan itu lagi.. akupun tak mengerti. Semuanya begitu saja terjadi..semua begitu membingungkan.. maukah kau menemaniku di tempat ini..?”
“tentu..”
Diam. Kami mulai terdiam dalam kebisuan.
Tunas-tunas lili mulai tumbuh tak terduga, kemudian bermekaran dalam hitungan menit. Rinai terperanga. Wajahnya terlihat begitu berseri. Ia terlihat sangat bahagia. Bunga lili mengingatkanku pada sesuatu. Sesuatu yang mungkin sangat berharga ketika aku masih berada di suatu tempat, bukan di sini.
“hentikan lamunmu Key..”, tegur Rinai. Kubalas dia dengan senyuman.
Rinai beranjak dari hadapanku, lalu berjalan antara ribuan lili putih yang tengah bermekaran. Ku perhatikan dirinya yang tengah memetik kuntum-kuntum lili itu. Wajahnya nampak bercahaya, anggun.. seanggun malaikat. Mungkin. Aku tak pernah melihat malaikat sebelumya. Itu sebab ku berkata mungkin.
Mulai nampak samar pelangi di ujung sana. Berdampingan dengan mentari pagi atau senja yang tak pernah nampak berubah. Makin lama makin kentara biasnya. Rinai..? tubuhnya kini mulai terlihat samar. Makin lama aku dapat melihat pemandangan di belakangnya tanpa perlu memintanya sedikit bergeser. Apa yang terjadi padanya..?
Rinai berbalik. Tampak nyata di tangannya penuh dengan kuntum-kuntum lili yang baru saja dipetiknya. Dia berjalan mendekat ke arahku. Goresan senyum yang terlukis diwajahnya kian menambah tanya di ruang otakku yang masih sedikit tersisa.
“Key.. kutitipkan mawar ini untukmu. Kau lihat pelangi itu..?”, katanya dengan menyodorkan mawar putih kesayangannya lalu menunjuk pelangi yang mulai memudar dengan satu sisi tangannya yang tak menggenggam lili. Aku mengangguk tak mengerti. “ketika pelangi itu benar-benar habis, Rinai terhenti..”, katanya, tersenyum.
“aku tak mengerti, Rinai..”, kataku. Aku mencoba menghapus air mata yang meleleh di pipinya. Namun apa..? aku tak dapat menyentuhnya. Lili-lili di tangannya pun satu-persatu mulai terjatuh di atas kakiku. Aku mencoba memeluknya. Tembus! Aku tak dapat menyentuhnya. Kucoba berkali-kali. Tetap saja tembus! Aku benar-benar tak dapat menyentuhnya.
“Rinai..? ada apa denganmu..? apa yang terjadi, Rinai..?”, tanyaku panik.
“pelangi itu habis, Key.. para malaikat akan mengantarku ke tempatku yang seharusnya.. ini bukan tempat kita yang seharusnya. Di sini kita hanya menunggu untuk kembali ke tempat yang seharusnya. Aku harap suatu saat Tuhan ijinkan kita berjumpa di suatu tempat, apapun itu.. aku mencintaimu, Key.. sampai jumpa di waktu dan tempat berbeda suatu saat nanti..”, ucap Rinai dengan linangan air matanya yang tak bisa terbendung. Dia mengecup bibirku. Tapi aku tak dapat merasakannya kecuali angin dingin yang berhembus lembut. Rinai menghilang. Benar-benar hilang.
“aaa..aku juga mencintaimu, Rinai..”, aku masih berdiri, lalu tertunduk. Kubiarkan tangisku terjatuh pada daun dan bunga lili di kakiku.
Angin berhembus lembut terbangkan aroma tubuh Rinai yang masih tersisa. Sekarang tak ada lagi Rinai yang menemaniku di tempat ini. Pertemuan singkat yang tak pernah kubayangkan sebelumnya tinggalkan bibit cinta yang belum sempat tersemai. Rinai pergi sebelum kami bersatu.
Aku menangis. Air bening ini keluar dari sudut mataku tanpa kuharap. Oh.. aku sungguh mencintainya.. tapi kenapa Tuhan begitu jahat..?! mempertemukan kami di tempat asing ini lalu kemuidan memisahkan kami begitu saja secepat yang dia bisa. Ini sungguh tak adil..!
Waktu benar-benar tak berlaku di sini. Entah tempat macam apa yang kupijak kali ini. Sungguh kurasa telah sangat lama aku berada di sini. Aku dapat mengitari tempat ini sesuka hatiku. Tapi untuk apa..? aku tak menemukan apapun di sini. Satu kata, Tuhan..! aku merindukan Rinai! Kembalikan pertemuan yang menciptakan kebersanaan kami.. kumohon..
Aku berlutut. Ku biarkan mulutku meraung-raung. Kubiarkan air mataku trus berlinang. Aku tak peduli. Hanya satu yang ku pinta. Kau tau, Tuhan. Rinai.. hanya Rinai seorang.
###
Saat aku tersadar, lili-lili itu mulai meranggas. Layu. Kering. Lalu mati. Beberapa masih tersisa. Aku berlari mendekati lili-lili yang masih tersisa lalu mencoba untuk memetiknya. Kali ini giliranku! Tembus! Aku tak dapat menyentuh lili itu. Tanganku...transparan. Aku akan segera menghilang. Ku tundukkan wajahku. Ku pejamkan mataku. Ku peluk diriku sendiri. Dingin. Amat dingin yang ku rasa. Makin diriku menghilang makin dingin yang kurasa. Aku membeku.
Samar-samar terdengar olehku seseorang memanggil namaku. ‘Key..Key..’. Tak kupedulikan. Aku yakin itu hanya halusinasiku. Tak ada seorangpun di sini kecuali aku yang hampir menghilang.
###
“Key.. Key.. kau kembali Key..!”, aku dapat mendengarnya dengan jelas. Sangat jelas. Perlahan kubuka mataku. Tak begitu jelas. Seorang wanita berada di sampingku. Digenggamnya tangan dinginku, lalu diciuminya. Apa yang terjadi padaku..?
Pandanganku perlahan kembali. Aku dapat melihat dengan jelas siapa gadis itu. Dia..dia Rinai! Dia terduduk di atas kursi roda dengan mengenakan pakaian biru sama seperti yang kukenakan. Kulihat sekelilingku. Sangat banyak rangkaian lili di sini. Aku mencoba bangkit. Tapi keadaanku dan semua yang menempel di tubuhku menahanku. Begitu pula Rinai.
“Key.. jangan paksakan dirimu.. kau baru saja terbangun dari tidur panjangmu..”, ucapnya. Ingin sekali kubalas perkataannya. Namun alat bantu pernafasan yang dipasangkan padaku ini tak mengijinkanku untuk berkata-kata. Rinai..dia benar-benar nyata.
###
Hari-hari berikutnya keadaanku mulai membaik. Alat bantu pernafasan dan alat-alat medis lainnya telah terlepas dari tubuhku. Yang tersisa hanyalah selang infus yang masih terpasang pada lenganku. Setiap hari Rinai melihat keadaanku yang semakin membaik. Ia selalu membawakanku karangan bunga lili tiap kali menengokku. Dirinyapun tak lagi mengenakan kursi roda dan pakaian pasien di sini. Namun tetap saja wajahnya terlihat pucat.
“Rinai.. apakah sebelumnya kita pernah bertemu..?”
“ya.. setahuku Tuhan mempertemukan kita di suatu tempat yang asing bagi manusia-manusia lain. Tapi juga sebelum Tuhan mempertemukan kita di tempat asing itu, Tuhan telah terlebih dahulu mempertemukan kita sebagai sepasang kekasih. Terima kasih untuk semua yang kau berikan padaku, Key.. separuh hidupmu tlah kau berikan padaku. Aku sempat khawatir kau akan memberikan seluruh hidumu padaku. Kau tertidur sangat lama.”
“aku..? apa maksudmu..? aku tak melakukan apapun untukmu.. Rinai, berapa lama aku tertidur..?”
“awalnya kita tertidur bersama. Namun sekarang kau terbangun setelah tiga bulan aku terbangun.”
“tiga bulan..? selama itukah, Rinai..?”
“tidak.. delapan bulan kau tertidur. Terimakasih untuk hidup yang kau berikan padaku, Key.. Key, jika kau tak merelakan bagian berharga dari tubuhmu, mungkin sekarang aku hanya tinggal nama. Leukemia nyaris merenggutku sebelum kau memutuskan untuk menyambung hidupku.”
“Rinai, aku bahkan tak ingat semua itu. Setelah ini apa kita akan menikah..? Aku merasa telah sangat lama mengenalmu, mencintaimu..”
“tentu, jika kau tak keberatan memiliki isteri botak sepertiku..”
“rambut bisa tumbuh kembali, bukan..? aku mencintaimi, Rinai.. jadilah cinta terakhirku..”, kamipun berpelukan sangat lama. Pelukan haru yang berbumbu rindu.
###
Kami menikah. Tak ada yang salah dari pernikahan kami. Kami mendapatkan semua kebahagiaan yang memang seharusnya kami rengkuh. Rinai memberiku seorang puteri cantik. Kami menamainya Lintang Senja. Lintang akan selamanya menjadi bintang kami yang paling indah dan bercahaya hingga kami senja. Dia begitu indah, seindah bintang yang selalu datang mengiringi senja dan langit jingga temaramnya.

#END#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar