Kamis, 05 Januari 2012

Tulisan di Atas Pasir


Pantai berpasir putih itu yang pertemukan kami. Aku ingat, saat itu aku tengah kelelahan berjalan jauh karena sepeda motor yang kugunakan kehabisan bahan bakar. Aku berjalan mencari bahan bakar, hingga akhirnya aku sampai di sebuah pantai berpasir putih yang sangat sunyi.
Hanya ada sebuah gubuk yang berjarak 50 meter dari pantai. Kuhampiri gubuk itu, berharap seseorang memberiku bahan bakar yang cukup.
“tok..tok..tok..”, kuketuk pintu anyaman bambu.

Tak lama pintu terbuka. Seorang gadis membuka pintu. Dia terlihat ragu ketika melihatku, kemudian pintu tertutup kembali.
“hei.. ayolah.. aku bukan orang jahat. Aku hanya tersesat di sini.”
Ragu, pintu kembali dibukanya. Ia tersenyum, kemudian keluar dan berjalan menuju pantai putih yang menyilaukan. Aku mengikutinya. Ia duduk, kemudian tersenyum padaku. Tangannya mempersilakanku duduk, sepertinya.
“siapa namamu..?”, tanyaku.
Lagi-lagi ia hanya tersenyum. Kemudian telunjuknya menari-nari di atas pasir menuliskan sebuah nama ; Mira.
“oh.. Mira ya.. salam kenal.. namaku Bagas..”, juluran tanganku disambut baik olehnya.
Tak sepatah katapun ia ucapkan ketika aku mengajaknya berbicara. Ia hanya menarikan telunjuknya di pasir pantai yang basah. Dari percakapan lisan-tulisan yang kami lakukan, aku mengetahui bahwa ia hanya tinggal bersama bapaknya.
Hampir 2 minggu aku di tempat Mira. Sedikit banyak aku mulai mengenal kepribadian Mira yang berbeda dari gadis-gadis manja di kota. Meski Mira hanya seorang gadis bisu, tapi kurasa dialah yang paling sempurna.
***
Akhirnya, kuberanikan diri melamar Mira. Saat itu bapak Mira tak berani mengambil keputusan. Beliau memintaku bertanya langsung pada Mira. Ternyata Mira bersedia menjadi isteriku.
Setelah kami menikah, aku membawa Mira ke kota. Kami memiliki 2 anak perempuan dan merawat mereka hingga dewasa, hingga memberi kami cucu-cucu yang lucu.
‘pak.. ibu kangen rumah..’, tulis Mira di selembar kertas.
“Sekarang kan kita di rumah, Bu..”
‘gubuk..pantai..’
“baiklah, Bu besok pagi kita berangkat..”, Mira membalasnya dengan senyuman.
***
Setelah bapak Mira meninggal 20 tahun lalu, kami tidak lagi berkunjung ke gubuk itu. Ternyata keadaannya masih sama. Kami berjalan di tepi pantai. Kemudian duduk saling bersandar. Mira menyandarkan kepalanya di pundakku. Ia terlihat lelah. Ia tersenyum, kemudian menuliskan 3 kata di atas pasir ; ‘ibu sayang bapak’. Mira terjatuh lemah di pangkuanku. Hingga akhirnya aku tersadar bahwa Mira tak lagi bergerak, tak lagi bernafas. Mira telah pergi untuk selamanya. Aku mengantarkannya dengan titik tangis di sudut mataku.
Sejak awal pertemuan hingga 34 tahun bersama, Mira mengajarkanku tentang ketidakabadian, seperti halnya tulisan di atas pasir yang akan hilang tersapu ombak. Sekarang aku mengerti tentang ‘Tulisan Di Atas Pasir’ itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar