Kamis, 05 Januari 2012

Memories [?]


Memories [?]
(by rifa)
Hari-hari berlalu begitu cepat. Tak sempat kusapa pagi kemarin, hingga pagi untuk hari ini telah terganti dengan lembayung senja. Aku dapat melihat jingga langit senja dari jendela kamar rawatku yang terbuka lebar. Kupikir waktu benar-benar tak pernah lagi berfihak padaku. Dan benar, puluhan hari aku hidup dengan waktu yang berputar tiga puluh kali lebih cepat. Satu malam bagiku adalah genap satu bulan bagi mereka yang berada di sekitarku.
Beberapa jam lalu aku baru saja terjaga. Entah apa yang terjadi ketika aku tertidur. Yang pasti, ketika pertama kali mataku terbuka bayangan seorang lelaki kurus separuh baya berkacamata tercetak jelas di mataku. Dari rautnya, dia terlihat begitu bahagia.
“Ma..Mama.. Mama..”, teriak lelaki tua itu.
‘Kreeek..’, terdengar seseorang membuka pintu dibarengi dengan suara lembut seorang wanita yang mulai melangkah memasuki kamar besar berwarna putih khas ruang perawatan.
“iya Papa..? ada apa..?”
“Ma..lihat Ma.. Rahma sudah sadar..”, ucap lelaki itu girang.
“Syukurlah Pa.. anak kita sudah bangun dari tidur panjangnya.. Mama bahagia sekali.. Tuhan mengabulkan doa kita Pa..”, wanita itu mengelus lembut kepalaku, mengecup keningku, kemudian memeluk lelaki yang disebutnya Papa itu.
Aku hanya bisa melihat dan merasakan perlakuan lembut dan penuh kasih sayang itu di depan mataku. Seluruh tubuhku masih terasa sangat kaku. Ketika aku ingin berucap, aku terhalang oleh peralatan yag membantuku untuk tetap bernafas. Benda-benda aneh yang cukup asing bagiku bahkan masih melekat erat di tubuhku. Selang infus, alat bantu pernafasan, dan masih banyak lagi peralatan-peralatan canggih yang tak kuketahui namanya, apalagi fungsinya.
Satu lagi..Mereka menyebutku anaknya..? Anak..? bahkan aku sendiri tak mengenal siapa mereka. Lalu aku..? siapa aku..?
Uuh.. kepalaku serasa dihantam bertubi-tubi menggunakan martil baja. Pandanganku mulai berkunang-kunang. Semakin lama semua yang kulihat seperti berputar. Lalu gelap.
***
“Rahma.. Rahma.. bangun sayang.. bangun..”, bisik serak seorang pria membuatku terjaga dari tidurku. Mataku mulai terbuka. Perlahan tapi pasti aku dapat melihat secara jelas seseorang yang membangunkanku. Kulihat pria itu menatapku. Matanya sembam, memerah dan berair. Kukira dia baru saja menangis. Entah apa sebab seorang lelaki gagah seperti dirinya menangis. Tangan kekarnya menggenggam erat jemariku yang masih terasa sangat lemas. Terlalu kuat genggaman itu hingga membuatku sedikit merintih. Dari perlakuan itu aku dapat mengambil sedikit makna bahwa pria itu merasa sangat takut kehilanganku.
Tunggu.. siapa lagi pria ini..? kenapa menangisiku..? apa yang terjadi padaku..? aku..? Rahma..? siapa Rahma..? aaaaarrrggh.. aku bahkan tak mengenali diriku sendiri. Gurauan macam apa ini..?
‘kreeeekk..’, pintu terbuka. Kulihat seorang wanita muda berpakaian dokter dan dua orang berpakaian perawat mendekat.
“Rahma.. sudah baikan..?”, dokter itu tersenyum sembari mengukur tekanan darakhu melalui lengan kiriku. Satu dari perawatnya menulis perkembanganku, satu lagi membantuku melepaskan alat bantu pernafasan yang membuatku kesulitan berbicara. Sekarang yang tersisa di tubuhku hanyalah selang infus. Tanpa banyak bicara, salah seorang perawat menyuntikkan sesuatu pada cairan infus yang akan masuk ke dalam tubuhku. Perlahan aku mulai merasa mengatuk. Sebelum mataku kembali terpejam, samar samar terlihat pria itu tersenyum dan membisikkan kata selamat tidur untukku.
Entah berapa kali setiap aku terbangun kemudian kembali ditidurkan. Aku tak banyak berbicara untuk menanyakan apa alasan mereka melakukan hal itu. Yang kurasakan adalah tubuhku merasa sangat lelah. Mungkin mereka mengerti dengan apa yang kurasakan sehingga mereka lebih sering memaksakanku untuk kembali terlelap agar kondisiku segera membaik.
***
“Rahma.. makan yuk..”, ajak seorang wanita yang memintaku menyebutnya Mama. Aku masih bingung dengan semua keadaan ini, jadi kuturuti saja. Mungkin sekarang aku tengah mengalami lost memory yang membuatku tak mengenali orang-orang yang pernah kukenal, bahkan diriku sendiri aku pun tak mengenali. Seperti kisah seorang wanita yang bernama asli Maria tetapi meminta dipanggil Janne. Dia mengalami lost memory akibat benturan keras di kepalanya saat terjatuh dari tangga dalam sebuah novel yang sedang kubaca. Aku duduk dengan manis di salah satu sudut taman yang teduh dan sejuk dengan bersandar pada sandaran kursi roda yang membuatku dengan mudah berpindah tempat.
“Rahma.. Makan yuk sama Mama..”, Mama mengulang kembali pertanyaannya, membuatku sedikit tersentak terkejut karena sedang terlarut dalam imaji saat membayangkan kisah-kisah dalam novel yang sedang kubaca.
“Eh.. Iya Ma..”, kubalas dengan sedikit senyuman. Kuselipkan pembatas pada halaman yang belum terselesaikan sebelum aku menutup buku itu. Kemudian Mama mendorong perlahan kursi rodaku dan mengarahkanku kembali ke kamar perawatanku untuk menikmati makan siang lezat yang Papa bawakan.
Lelaki yang pernah membangunkanku terlihat duduk dan tersenyum menatapku yang dengan lahap menyantap menu makananku. Yudha. Pria tegap dan tampan itu memperkenalkan dirinya padaku dengan nama Yudha beberapa waktu lalu. Dijelaskannya padaku bahwa dia adalah tunanganku. Sama dengan ketika seorang memintaku memanggilnya Mama, aku turuti saja. Lagi-lagi karena mungkin aku sedang mengalami lost memory. Suatu saat nanti ingatanku akan kembali seperti sedia kala.
Selama beberapa minggu kujalani hari-hariku dengan kesibukan yang selalu sama dan nyaris tak pernah berubah. Tidur, makan, menelan beberapa butir obat, membaca di bawah rindangnya pepohonan, menemani Mama, Papa, dan Yudha berbicara. Oops..salah.. Lebih tepatnya adalah mereka yang menemaniku berbicara.
Beberapa perawat yang menjagaku juga seringkali membantuku merapihkan novel-novelku yang berserakan di sela kesibukan mereka. Aku tak pernah merasa kesepian meski telah cukup lama aku menjadi pasien di sini. Walau hingga sekarang aku merasa bahwa ini bukan diriku yang sebenarnya, juga apa yang kulakukan sekarang bukanlah hidupku. Terkadang aku berusaha keras mencari-cari ingatan yang mungkin saja terselip di sela-sela otakku hingga aku merasa ada sesuatu yang memeras otakku dengan kasar lalu membuatku tak sadarkan diri yang membuat semua orang kembali mencemaskan keadaanku.
***
Kata dokter, kian hari keadaanku kian membaik. Sebenarnya aku merasa sangat bingung dengan semua keadaan ini. Memang benar aku selalu merasa ada yang salah pada diriku. Aku diperlakukan seperti seorang puteri raja yang sedang sakit. Tapi tiap kali aku bertanya pada tiap orang tentang penyakitku, semuanya selalu saja berhasil mengalihkan perhatianku. Aku selalu kehilangan konsentrasiku. Seperti anak balita yang sangat mudah dialihkan. Mungkin satu-satunya penyakitku adalah pelupa disertai kehilangan konsentrasi berlebih.
“besok pagi kamu bisa pulang sayang..”, ucap Yudha lembut ketika menemaniku merapihkan puluhan buku dan novel yang berserakan di lantai. Sejenak kuhentikan pekerjaanku, kemudian memandang Yudha dengan mata berbinar.
“sungguh..?”, tanyaku sedikit ragu.
“ya.. tentu saja..”
Kupeluk erat Yudha, menandakan betapa girang hatiku. Aku ingin segera memijakkan kaki di rumah yang dimaksud.
***
Hmm.. pemandangan yang menyenangkan. Sebuah rumah sederhana yang tak begitu besar dengan halaman yang luas dan teduh dengan banyak pepohonan menaungi permukaan tanahnya. Rumah sederhana dengan penataan yang apik. Sungguh rapih dan terawat.
Ketika menginjakkan kaki di berada rumah, mulai terasa ada yang berbeda. Aku tak merasa asing dengan tempat itu. Sebuah ayunan dari bambu yang bersebelahan dengan sangkar burung kosong itu mengingatkanku pada sesuatu. Entahlah.
Kulanjutkan langkahku memasuki ruang tamu. Kutemukan beberapa gambar diriku terpampang di dinding. Pintu. Sebuah pintu berwarna ungu dengan nama ‘Rahma’ dan boneka Winnie kecil yang tergantung menarik perhatianku. Tanpa dikomando kakiku segera memperpendek jarak tubuhku dengan pintu itu. Refleks, tanganku memegang gagang pintu dan membukanya. Dan ternyata benar saja. Tempat ini tak terlihat asing olehku. Bahkan aku ingat betul bahwa ini adalah tempat yang paling aku sukai di seluruh dunia. Ya..kamarku..
Kuarahkan langkahku menuju meja rias, kemudian menatap cermin. Kulontarkan senyumanku untuk bayanganku di cermin. Entah apa yang terjadi, perlahan ingatanku kembali. Ya.. ingatanku kembali. Dengan sendirinya air mataku meleleh di pipiku. Kucoba rasakan wajahku dengan telapak tangan dinginku. Lalu kupejamkan mataku. Spontan terputar kembali dalam memoriku peristiwa sebelum aku tidur selama itu.
***
Saat itu, senja terasa sangat sempurna. Aku, bersama tunanganku Yudha berboncengan mengendarai sepeda kumbang yang kami sewa dari alun-alun kota. Saat itu kota tak begitu ramai. Hanya ada beberapa pasang muda-mudi yang tak ingin melewatkan moment indah begitu saja. Ketika aku dan Yudha bercanda riang di atas sepeda kumbang, sebuah mobil, atau mungkin mini bus menabrak kami dari arah belakang. Aku tersentak. Dadaku terasa sesak mengingat kejadian itu.
Kuusap air mataku, mencoba menenangkan hatiku. Setelah reda tangisku, kuhampiri Mama yang tengah seorang diri merawat tanaman bunga di beranda rumah.
“Mama..”, sapaku.
“iya..? kenapa sayang..? harusnya kamu kan istirahat dulu, jangan keluar rumah..”
“Rahma sudah kembali Ma..”, jelasku dengan menahan titik-titik tangis haru yang kian mendesak. Kucoba menguasai kembali diriku dengan melontarkan tanya. “mana Papa..?”
“benarkah..? syukurlah.. Mama senaaaang sekali.. Papa tadi masih ada tugas di kantor, jadi beliau kembali bekerja.. setelah ini Mama telfon Papa ya..”, Mama mengusap rambutku. Matanya terlihat berkaca-kaca. Tak sempat kulihat air mata itu terjatuh, Mama segera beranjak hendak kembali ke dalam rumah.
“Mama..”, belum sempat memasuki pintu rumah, beliau menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku.
“iya..?”
“Rahma sudah pulang, tapi Yudha tak terlihat sejak pagi ini. Mama tau kemana dia..?”, tanyaku sedikit kecewa. Terlihat jelas olehku, wajah Mama memucat seketika. Mulutnya hendak berucap sesuatu, namun seperti tertahan. Kemudian beliau menjatuhkan diri di dipan bambu beberapa langkah dari tempat ia berdiri. Nafasnya dalam dan teratur. Kemudian aku berlari kecil menghampirinya dan duduk di sampingnya.
“Mama…? Mama baik-baik saja kan..? wajah Mama pucat.”
“Mama baik-baik saja sayang..”
“mmmungkin Yudha sedang sibuk, Rahma..”
“ohh.. tapi kenapa Mama terlihat gugup seperti itu..? Kemarin terakhir Rahma bertemu Yudha di rumah sakit. Tapi kenapa sekarang dia tidak datang ke rumah..? huft.. hmm.. ya sudah.. Rahma mau telfon Yudha dulu agar dia datang ke rumah..”
“tunggu Rahma..”, Mama menggenggam erat tanganku.
“kenapa Ma..?”, tanyaku.
“lebih baik kita langsung ke rumah Yudha saja ya.. satu bulan lalu dia baru saja pindah rumah..”, Mama tersenyum. Namun di senyumnya aku melihat ada sesuatu yang ganjil. Namun tak ku hiraukan. Mungkin hanya perasaanku saja.
“baiklah.. Rahma ganti baju dulu ya..”, Mama hanya tersenyum. Kemudian kubiarkan diriku berlalu tanpa menunggu jawaban dari Mama.
Taksi yang sudah Mama pesan untuk kami telah menunggu. Kubawa boneka Pooh pemberian Yudha sebagai bukti untuknya bahwa aku sangat menyayanginya dan apapun yang dihadiahkannya padaku. Sekarang kami siap menuju rumah baru Yudha.
***
Kukira perjalanan masih jauh, tapi ternyata taksi yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah kompleks pemakaman. Kemudian mama keluar dari taksi dan membukakan pintu untukku.
“kenapa turun di tempat seperti ini Ma..?”, tanyaku sedikit kesal.
“kita sudah sampai di rumah baru Yudha nak..”, jawab Mama yang terlihat mulai terisak.
“Mama menagis..? kenapa..?”, tanyaku sembari melangkahkan kai keluar dari pintu dan menggenggam erat jemari Mama untuk menguatkannya. Mama menggandeng tangan kiriku dan melangkah memasuki area pemakaman. Kemudian kami berhenti di depan sebuah makam yang terlihat sangat terawat. Ketika kuarahkan pandanganku pada batu nisan, tertulis nyata nama Yudha Suprapto 07 April 1986-26 April 2011.
Kucoba untuk tetap menguasai diriku. Mengatur tiap hembusan nafasku agar tetap teratur. Namun gagal. Keringat dingin mulai membasahi keningku. Jantungku berdegup begitu kuat. Aku dapat merasakan desiran darah dalam tubuhku yang mulai tak teratur. Dadaku mulai terasa sangat sesak. Sendi-sendiku tak mampu kugerakkan. Dalam hitungan menit wajahku telah dibasahi dengan keringat dingin yang bercucuran ditambah lelehan tangis yang tak lagi tertahan.
Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi..? sedangkan kemarin jelas-jelas Yudha masih menemaniku di rumah sakit dan mengabarkan bahwa hari ini aku pulang.
“Tidak mungkin..!!! tidak mungkin Yudha meninggalkanku secepat itu Ma.. ini bukan Yudha..!! Yudhaku masih hidup!! Aku yakin dia akan menemuiku secepatnya! Siapa orang lancang yang merencanakan semua ini..? katakan padaku Ma.. aku akan membuat pelajaran dengannya..”, aku memaki, merajuk dan terus merajuk di atas gundukan tanah rumah Yudha.
Tak kupedulikan siapapun yang mencoba menghiburku. Termasuk Mama. Aku berlari menuju taksi dan kembali ke rumah tanpa memberi kesempatan untuk Mama berbicara. Kutinggalkan Mama seorang diri di tanah pemakaman tanpa kupedulikan persaannya.
Hingga akhirnya seperti inilah keadaanku sekarang. Menjadi labil, dan hanya mau berbicara dengan Yudha melalui Pooh kesayanganku. Sekarang aku tinggal di sebuah tempat yang penuh dengan orang-orang aneh. Bahkan aku dipaksa mengenakan pakaian seragam sama seperti apa yang orang-orang aneh itu kenakan.
Satu lagi. Setiap hari aku melihat Mama dan Papa memandang iba ke arahku dari kejauhan, dari balik jeruji pembatas duniaku dan dunia mereka. Sepertinya mereka sangat bahagia melihatku hidup bersama orang-orang yang berkelakuan layaknya orang gila di sini.
Biarlah.. Asalkan Yudha tak pernah lepas dari genggamanku. Siapapun yang berniat memisahkan kami akan kubuat menyesal seumur hidup. Hahahahahaha..



#End#
Kudus, 22 Juni 2011
05.49 pm
Rifa

1 komentar: