Melodi Senja
(by: rifa)
Namaku Melodi. Tapi kebanyakan orang memanggilku dengan sebutan Senja. Aku suka dengan sebutan itu, kerena aku suka dengan merah senja di musim kemarau. Aku suka saat melihat pantulan separuh badan bintang siang yang hendak kembali ke peraduannya tercermin di tengah danau. Warna merah senja selalu saja terlihat indah di mataku. Senyuman senja selalu saja berhasil menghadirkan senyumku. Senja. Hanya itu yang selalu ku nantikan pada setiap putaran waktu.
Setiap senja tiba hanya ada aku di bawah pohon cendana tua tepi danau. Tiupan angin senja yang menyejukkan membawa kesedihan yang sering kali ku rasa hingga hilang dan terbang menjauh. Aroma cendana yang tercium samar menambah tenang suasana. Sesekali ku mainkan sebuah lagu dengan harmonikaku sembari pejamkan mata lelahku dan mulai membayangkan sebuah surga. Surga yang hanya bisa didapat ketika telah melewati satu proses yang disebut dengan kematian. Pasti dunia ini akan terasa lebih indah jika setiap detik adalah senja.
“Senja…!!”,itu suara Venus. Sepertinya sekali lagi dia ingin merusak senjaku. Ah.. lebih baik aku pura-pura tak mendengarnya saja. Biar saja dia mengomel sesuka hatinya. Aku masih ingin berada di sini sampai matahari benar-benar terbenam di ufuk barat. Dari pada aku terus terganggu mendengar suaranya, lebih baik kumainkan saja harmonikaku.
“Senja…!! Masih punya telinga kan..? Senja.. Ayo pulang… Senjaaaaa…..!!!”, teriakan Venus memekikkan telingaku. Aku hanya menoleh dan tersenyum pahit padanya. Tak ku hiraukan dia, dan kembali ku nikmati pemandangan senja di depanku dengan iringan harmonika yang membuat suasana terasa lebih harmonis.
Tanpa kusadari, ternyata Venus telah duduk disampingku bersandar pada pohon cendana sama sepertiku. Kurasa dia telah lelah berteriak keras untuk memaksaku pulang.
“capek..?”, tanyaku.
“tidak.. oh.. mungkin iya. Sepertinya kamu sangat suka menyendiri di tempat ini. Ternyata tempat ini indah juga yaa.. aku baru menyadarinya..”, kata Venus.
Aku hanya membulatkan mulutku, tanpa suara. Kemudian kulanjutkan tiupan harmonikaku yang sempat terhenti karena kehadiran Venus.
“Senja…”
“yaa..?”, jawabku singkat.
“sejak kapan tempat ini terlihat begitu indah..?”
“sejak aku sadar bahwa hidup di sebuah planet yang disebut bumi hanya sekali..”
“pohon cendana yang besar..”, kata Venus. Kata-kata itu terdengar seperti anak kecil yang melihat Uvo raksasa di film aneh yang ditayangkan di televisi.
“itu berarti dia telah tua..hanya tinggal menunggu waktu untuk mati. Dan sebelum dia mati, aku akan menemaninya setiap senja tiba. Disini.. di tempat indah ini..”
Tak terasa sang rembulan telah menggantikan peran sang dewa kehidupan yang pergi dari sini untuk hari ini dan memberi kehidupan di tempat lain di sisi lain bumi. Langit mulai menghitam dan aku harus segera beranjak dari tempat ini. Jutaan mutiara langit yang berkilau menyebar di atas sana, terangi jalanan gelap yang kulalui. Sama halnya dengan kunang-kunang, tapi mereka terlihat lebih abadi. Dalam perjalanan aku membuka sebuah pembicaraan.
“kau berubah..”, kataku.
“aku..? berubah..?”, tanya Venus.
“iya.. ”
“sejak kapan…? bagian mana yang berubah dariku..?”, kembali ia bertanya.
“sejak senja hari ini.. sejak kau memutuskan untuk menemaniku tempat itu.. kau tak sadar bukan..? sedari tadi kau tersenyum tanpa alasan.. kupikir cahaya senja membuatmu gila karena menyesal tak pernah menikmatinya sebelumnya.”
“benarkah..? haha.. aku tak menyadarinya...”, Venus menarik tanganku dan memintaku berjalan lebih cepat.
***
“Senja.. boleh aku menemanimu sekali lagi di tempat indah ini..?”, itu suara Venus. Entah kenapa saat aku mendengar suaranya tubuhku bergetar. Seperti ada perasaan lain yang mulai kurasakan.
“eehh.. iya.. kemarilah..”, aku berusaha mengendalikan diriku agar tak terlihat seperti orang bodoh yang sedang menyembunyikan sesuatu.
“Senja.. aku ingin jujur padamu..”
“jujur..? jadi selama ini kau tak pernah jujur padaku..?”
“bukan seperti itu Senja.. aku hanya ingin kau tau bahwa aku menyimpan rasa padamu sejak lama. Selama ini aku bersikap kurang baik padamu karena aku tak mampu mengendalikan diriku sendiri. Maafkan aku Senja, aku telah lancang. Kau tak harus menerimaku menjadi kekasihmu. Tapi aku hanya ingin kau tau apa yang kurasakan terhadapmu..”
“kk..kau mencintaiku..?”, tanyaku tergagap.
“iya..”
“maaf.. aku tak bisa menerimamu..”, kataku tegas.
“iya.. aku mengerti..”, Venus tersenyum. Dari senyumnya aku dapat melihat sebuah kekecewaan yang mendalam,tapi itu disamarkannya dengan terus tersenyum.
‘asalkan kau tau Venus, aku sangat mencintaimu.. tapi aku takut membuat hatimu terluka karena kepergianku yang mungkin saja tiba-tiba.. waktu telah menyiapkan seutas tambang untuk menjerat leherku kapanpun dia mau..’, sesalku dalam hati.
“Venus.. aku harus pulang sekarang..”, kataku.
“tapi senja belum berakhir..”, kata Venus.
“titipkan saja salamku pada senja, angin senja, dan pohon cendana ini setelah senja berakhir.. aku harus pulang....”, kataku.
“baiklah.. sebelumnya maafkan aku Senja…”
“aku tak akan memaafkanmu.. karena kau tak mempunyai kesalahan apapun padaku.. sampai jumpa Venus.. ”, kataku. Kemudian aku berpaling dan terus menjauh dari pohon cendana tepi danau itu, yang berarti juga menjauh dari Venus.
Senja-senja berikutnya tak sekalipun aku berada di tepi danau mengantarkan sang mentari. Aku tak sanggup bila harus bertemu dengan Venus. Aku terlalu lemah untuk menatap matanya.
***
Sepertinya sudah terlalu lama aku tak melihat indahnya senja. Mungkin saja Venus telah jenuh dengan tempat itu dan memutuskan untuk tak lagi mendatanginya. Kuputuskan untuk sekali lagi menyapa senja di tepi danau yang indah itu sebelum kemarau berakhir dan hari-hari hanya ada awan hitam dan titik-titik air yang menyembunyikan keindahannya.
Benar saja, Venus tak di sini. Tapi sepertinya ada sesuatu berbeda yang kurasakan. Ketika aku berfikir bahwa aku merindukan Venus, tiba-tiba saja angin bertiup lebih kencang. Tiupannya menjatuhkan sebuah gulungan kertas berpita merah dari dahan pohon cendana tepat di depanku. Segera saja aku mengambilnya lalu membukanya. Ada tulisan di dalamnya. Ini sebuah surat. Dan ada namaku di sana. Aku yakin ini surat dari Venus untukku.
“Senja, mungkin memang selama ini aku telah menjadi orang yang sangat jahat bagimu. Bersikap tidak baik padamu, tanpa tau apa kesalahanmu. Sebenarnya tak ada yang salah darimu. Akulah yang salah..aku yang tak bisa bersikap wajar di depanmu. Perasaanku yang terlalu dalam terhadapmu membuatku makin tak terkendali dan malahan membuatku menjadi monster untukmu. Kau tau bukan kalau aku mencintaimu..? aku ingin mengatakannya sekali lagi untuk terakhir kalinya dengan surat ini.
‘Senja.. aku sangat mencintaimu’, saat terakhir kau meninggalkanku di tempat ini, kau juga meninggalkan harmonikamu bersamaku. Saat kau siap, aku ingin kau mengambilnya di tempatku tinggal. Jika aku tak lagi berada di sana, masuk saja. Pintunya tak pernah terkunci untukmu. Ambil harmonikamu di meja kecil di kamar paling ujung. Ada kejutan kecil untukmu.
Venus”
‘Harmonikaku..? untuk terakhir kali..? ke tempat tinggal Venus..? kejutan kecil..? apa maksudnya..? Venus membuatku bingung dengan semua itu. Sebenarnya apa maunya..?’, tanyaku dalam hati. Untuk mengobati rasa penasaranku, saat itu juga aku segera meninggalkan danau dan berlari menuju tempat tinggal Venus. Banyak orang di sana. Semuanya mengenakan pakaian berwarna gelap. Siapa yang meninggal..?
“maaf bu, siapa yang meninggal..?”, tanyaku pada salah seorang perempuan yang baru saja keluar dari rumah Venus.
“itu.. Venus meninggal. kami baru saja pulang dari pemakamannya..”
“Venus meninggal..? ibu bercanda kan..? beberapa hari lalu dia masih menemuiku di danau. Dia terlihat baik-baik saja..”, kataku. Serasa terjilat bara api dalam badai salju, mataku mulai menitihkan air mata. Betapa bodohnya aku. Aku yang terlanjur mencintainya. Aku yang terlanjur menaruh hati padanya, ditinggalnya secepat ini. Memang benar waktu itu aku menolaknya. Tapi aku menolaknya bukan karena aku tak mencintainya, tapi karena aku merasa bahwa aku akan segera mati oleh cekikan waktu yang menyakitkan. Aku akan segera mati oleh parasit yang bersarang di otakku. Tapi kenyataannya..? semudah itukah Venus mati..? dia pergi dengan tiba-tiba tanpa seorangpun tau penyebabnya, termasuk aku yang mencintai dan dicintainya.
Segera saja aku berlari menuju kamar paling ujung yang disebutkan Venus dengan cucuran air mata yang semakin menjadi. Aku menemukan harmonikaku di atas meja kecil yang juga Venus sebutkan dalam surat terakhirnya. Setelah itu aku kembali ke tepi danau untuk meratapi diri dan menikmati sejna untuk Venus. Sekali lagi malam datang. Aku baru sadar, ternyata Venus selalu bersinar terang di samping rembulan malam setelah senja habis. Venuslah bintang paling terang antara jutaan bintang lainnya meskipun dia bukanlah bintang. Dan sekarang aku mengerti. Kematiannya adalah kejutan kecil yang ia maksud. Kejutan kecil yang membuatku merasa siap untuk menyusulnya segera dan bahagia bersamanya di tempat lain. Mulai sekarang, bukan hanya senja yang akan selalu kunanti. Tapi juga saat malam tiba, ketika aku bisa menemukan Venus tersenyum di antaranya.
#END#
Best..
BalasHapusSuka cerita nie,.. .
.. .