Cocoon
“Leona, lihat! Jika kau tau, kepompong ini mustahil
menetas di cuaca sebeku ini.”
“Aku tau, George. Tapi akan lebih tepat jika kau
menyebutnya berevolusi, bukan menetas.”
“Apa pun itu. Aku ingin tahu dari mana makhluk kecil
ini datang. Bukankah musim dingin belum berakhir?”
“Mungkin dia salah satu yang mati di musim semi
sebelumnya.”
Lilin menyala lembut di depan perapian yang
kehilangan bara. Dingin pun mengecup sepasang tangan mungil yang terlepas dari
balutan woll tebal. Leona menggigil. Embun di mata bulatnya seolah membeku, bersetubuh
dengan kebekuan salju milik Februari.
Pagi tadi Leona menyapa George di bawah kepungan
salju yang turun bersama senandung. Senandung itu ada pada jantung Leona. Entah
bagaimana hingga jiwanya turut berdendang. Tapi lidahnya terlalu kelu untuk
mengungkapkan rasa pada George yang dikasihinya. Terlalu banyak kebisuan untuk
diceritakan.
Mata tembaga Leona memantulkan bias pelita kecil
yang menari-nari, menerawang. Duabelas tahun terlalu awal baginya untuk
mengenal cinta.
Leona ingin tau dari mana getaran kuat di hatinya
berasal. Bukankah musim dingin belum berakhir? Cinta Leona belum waktunya
menetas. Ia akan terus mendekapnya dalam balutan sutra kasih hingga cukup siap
untuk menetas, atau mungkin cintanya pada George menjadi salah satu yang mati
di musim semi selanjutnya? Ia duabelas tahun!
##
Rifa, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar