Rabu, 03 Desember 2014

Cocoon



Cocoon
“Leona, lihat! Jika kau tau, kepompong ini mustahil menetas di cuaca sebeku ini.”
“Aku tau, George. Tapi akan lebih tepat jika kau menyebutnya berevolusi, bukan menetas.”
“Apa pun itu. Aku ingin tahu dari mana makhluk kecil ini datang. Bukankah musim dingin belum berakhir?”
“Mungkin dia salah satu yang mati di musim semi sebelumnya.”
Lilin menyala lembut di depan perapian yang kehilangan bara. Dingin pun mengecup sepasang tangan mungil yang terlepas dari balutan woll tebal. Leona menggigil. Embun di mata bulatnya seolah membeku, bersetubuh dengan kebekuan salju milik Februari.
Pagi tadi Leona menyapa George di bawah kepungan salju yang turun bersama senandung. Senandung itu ada pada jantung Leona. Entah bagaimana hingga jiwanya turut berdendang. Tapi lidahnya terlalu kelu untuk mengungkapkan rasa pada George yang dikasihinya. Terlalu banyak kebisuan untuk diceritakan.
Mata tembaga Leona memantulkan bias pelita kecil yang menari-nari, menerawang. Duabelas tahun terlalu awal baginya untuk mengenal cinta.
Leona ingin tau dari mana getaran kuat di hatinya berasal. Bukankah musim dingin belum berakhir? Cinta Leona belum waktunya menetas. Ia akan terus mendekapnya dalam balutan sutra kasih hingga cukup siap untuk menetas, atau mungkin cintanya pada George menjadi salah satu yang mati di musim semi selanjutnya? Ia duabelas tahun!

##


Rifa,  2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar