Rabu, 03 Desember 2014

Ifa



Ifa
Melayangkan pandang sepanjang hari menatap birunya langit yang berpadu dengan lentera senja dengan siluet kerlingan tubuh Muria di depan mata adalah hal yang sangat menyenangkan. Segala lelah penatku terbang terbawa embusan angin senja yang kuartikan sebagai tanda kasihMu padaku.
Entah bagaimana hingga aku mendapatkan getaran-getaran memabukkan seperti ini di dalam hatiku. Terkadang pula menyelinap dalam sunyi, menempati dua bilik dan dua serambi jantung untuk ikut terbawa bersama aliran daraku.
Mengingat namanu adalah indah. Entah. Tak pernah ada alasan logis tentang bagaimana keindahan itu tercipta. Semua terjadi dengan sendirinya. Bukan karena ‘Ifa’ adalah indah. Namun karena itulah namamu. Gadis bermata periku.
“Ajik! Mulih, nang!” ah, itu teriakan emak-ku. Yah. Inilah yang selalu kulakukan sehabis pulang dari berdagang di pasar Kliwon Kudus. Menjumputi mozaik awan-awan yang telah berpadu dengan surup kemerahan lalu mengepalnya membentuk siluet hati dengan imajinasiku. Kemudian ditengahnya kuselipkan anggun gambar wajahmu lengkap dengan sesungging senyumanmu seperti kala itu yang membuatku candu. Kucetak permanen lumeran tamah wajahmu di retinaku. Hanya dengan satu alasan. Itu adalah agar semua yang kulihat adalah kamu.
Nggih, mak!” balasku.
Kuperhatikan emak segera berlalu dari sisi judag setelah mendapatkan sahutanku dari jarak yang bersekat aliran Kali Gelis. Gubuk bambu yang almarhum pa’e buat saat aku masih kecil untukku berteduh kala siang terik, ketika pa’e dan emak tandur, methal ataupun memanen hasil tanaman padinya. Meski dengan adanya gubuk ini, kulitku tetaplah jalitheng tak seperti yang emak dan pa’e harapkan.
∞∞∞
“Mas Ajik!” aku celingukan mencari sumber suara. “Mas sekarang jaga toko ini ya ?” Ifa, gadis berkulit langsat yang mengenakan baju kuning dengan rok kembang-kembang selutut yang kian memperpendek jaraknya mendekatiku.
Aku melongo memandang senyumannya yang ciptakan lesung di pipi kirinya dari kejauhan. “Iya. Kenapa, dik Ifa ?”
“Boleh dong kalau Ifa beli baju di sini ? Dapat diskon dobel dong kalau mas Ajik yang jaga ? hehehe.”
“Wah, mangga dik! Mangga, pilih yang dik Ifa suka. Kebetulan toko ini baru beberapa minggu mas sewa. Untuk promosi, dik Ifa boleh pilih sesuka hati. Gratis!”
“Eh, mboten mas. Aku mung gluweh. Wah, ternyata ini toko mas sendiri ya ?”
“Ee, tapi mas serius dik! Monggo.”
“Hehe. Matur nuwun nggih, mas. Aku mau belanja untuk keperluan dagang nanti malam dulu. Sudah ditunggu ibuk di rumah, mau langsung diolah.”
“Oh, yow is, dik! Kapan-kapan mampir nggih!”
Gadis berambut lurus legam sepunggung yang tergerai itu pun berlalu. Bayang tubuhnya kian tertelan oleh keramai-riuhan pasar tradisional terbesar di kota Kudus ini.
Senyum malu-malu yang disunggingkannya mampu membuat jantungku lebih aktif puluhan persen. Entah mengapa ada getaran lain yang merasuk ke dadaku bersumber dari merdu tuturnya saat itu.
∞∞∞
Kenangan masa tiga tahun silam itu takkan pernah sirna dari ingatan. Pertemuan kesekian kaliku dengan Ifa si kembang desa di pasar Kliwon membuatuku untuk pertama kali merasakan indahnya jatuh cinta. Hingga cinta itu pun kunyalikan menjadi satu ikatan hubungan penjejakan dua tahun terakhir.
Dengan terbakarnya pasar Kliwon tiga minggu lalu, tetap tak pernah bisa membumihanguskan rasa cintaku padamu, dik Ifa. Lusa emakku akan melamarmu menjadi istriku. Kios emperan pengganti kios berdinding tembokku sebagai mas kawinnya. Gubuk ini dan Gunung Muria akan menjadi pelaminan termegah kita.
Janji sulayaku kahanan kanggo awakmu, Ifa.
Kusiapkan sebait dua bait syair untuk kubacakan di hari bahagia kita nanti. Seikat mawar merah yang kupetik dari lereng Muria dan kuhilangkan durinya akan tergenggam erat di tanganmu. Kupastikan prenjak dan kawanan kupu-kupu kuning itu menari dan menyanyi, menjadi orkestra terlangka pengiring ikrar suciku, meminangmu.

Dalam lubuk nuraniku berkata
Menjelma separuh malaikat cinta
Kulepas bagian nyawaku untuk terbang
Mengiringimu, menjagamu ketika ku tak di sampingmu

Sejauh-jauh jarak memisahkan kita
Hati tetap saling menggengam erat
Bernaung di bawah komitmen cinta
Berlandas kesetiaan tiada dua

Siluet hati yang kugoreskan gigih di atas prasasti cinta
Cemara gunung
Namamu dan namaku di sana

Dik,
Dua ujung yang saling menghujam simetris itu
Lihatlah..
Kuparuh, separuh untuk kau simpan tanda kita saling setia

Kudus, 3 Desember 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar