Ifa
Melayangkan pandang sepanjang hari menatap birunya
langit yang berpadu dengan lentera senja dengan siluet kerlingan tubuh Muria di
depan mata adalah hal yang sangat menyenangkan. Segala lelah penatku terbang
terbawa embusan angin senja yang kuartikan sebagai tanda kasihMu padaku.
Entah bagaimana hingga aku mendapatkan
getaran-getaran memabukkan seperti ini di dalam hatiku. Terkadang pula
menyelinap dalam sunyi, menempati dua bilik dan dua serambi jantung untuk ikut
terbawa bersama aliran daraku.
Mengingat namanu adalah indah. Entah. Tak pernah ada
alasan logis tentang bagaimana keindahan itu tercipta. Semua terjadi dengan
sendirinya. Bukan karena ‘Ifa’ adalah indah. Namun karena itulah namamu. Gadis
bermata periku.
“Ajik! Mulih,
nang!” ah, itu teriakan emak-ku.
Yah. Inilah yang selalu kulakukan sehabis pulang dari berdagang di pasar Kliwon
Kudus. Menjumputi mozaik awan-awan yang telah berpadu dengan surup kemerahan
lalu mengepalnya membentuk siluet hati dengan imajinasiku. Kemudian ditengahnya
kuselipkan anggun gambar wajahmu lengkap dengan sesungging senyumanmu seperti
kala itu yang membuatku candu. Kucetak permanen lumeran tamah wajahmu di
retinaku. Hanya dengan satu alasan. Itu adalah agar semua yang kulihat adalah
kamu.
“Nggih, mak!” balasku.
Kuperhatikan emak
segera berlalu dari sisi judag
setelah mendapatkan sahutanku dari jarak yang bersekat aliran Kali Gelis. Gubuk bambu yang almarhum pa’e buat saat aku masih kecil untukku
berteduh kala siang terik,
ketika pa’e dan emak tandur, methal ataupun memanen hasil tanaman
padinya. Meski dengan adanya gubuk ini, kulitku tetaplah jalitheng tak seperti yang emak
dan pa’e harapkan.
∞∞∞
“Mas Ajik!” aku celingukan mencari sumber suara.
“Mas sekarang jaga toko ini ya ?” Ifa,
gadis berkulit langsat yang mengenakan baju kuning
dengan rok kembang-kembang selutut yang kian memperpendek jaraknya mendekatiku.
Aku melongo memandang senyumannya yang ciptakan
lesung di pipi kirinya dari kejauhan. “Iya. Kenapa, dik Ifa ?”
“Boleh dong kalau Ifa beli baju di sini ? Dapat
diskon dobel dong kalau mas Ajik yang jaga ? hehehe.”
“Wah, mangga
dik! Mangga, pilih yang dik Ifa suka.
Kebetulan toko ini baru beberapa minggu mas sewa. Untuk promosi, dik Ifa boleh
pilih sesuka hati. Gratis!”
“Eh, mboten
mas. Aku mung gluweh. Wah, ternyata
ini toko mas sendiri ya ?”
“Ee, tapi mas serius dik! Monggo.”
“Hehe. Matur
nuwun nggih, mas. Aku mau belanja untuk keperluan dagang nanti malam dulu.
Sudah ditunggu ibuk di rumah, mau langsung diolah.”
“Oh, yow is, dik! Kapan-kapan mampir nggih!”
Gadis berambut
lurus legam sepunggung yang tergerai itu pun berlalu. Bayang tubuhnya kian
tertelan oleh keramai-riuhan pasar tradisional terbesar di kota Kudus ini.
Senyum malu-malu yang disunggingkannya mampu membuat
jantungku lebih aktif puluhan persen. Entah mengapa ada getaran lain yang
merasuk ke dadaku bersumber dari merdu tuturnya saat itu.
∞∞∞
Kenangan masa tiga tahun silam itu takkan pernah
sirna dari ingatan. Pertemuan kesekian kaliku dengan Ifa si kembang desa di
pasar Kliwon membuatuku untuk pertama kali merasakan indahnya jatuh cinta.
Hingga cinta itu pun kunyalikan menjadi satu ikatan hubungan penjejakan dua
tahun terakhir.
Dengan terbakarnya pasar Kliwon tiga minggu lalu,
tetap tak pernah bisa membumihanguskan rasa cintaku padamu, dik Ifa. Lusa emakku akan melamarmu menjadi istriku.
Kios emperan pengganti kios berdinding tembokku sebagai mas kawinnya. Gubuk ini
dan Gunung Muria akan menjadi pelaminan termegah kita.
Janji sulayaku
kahanan kanggo awakmu, Ifa.
Kusiapkan sebait dua bait syair untuk kubacakan di
hari bahagia kita nanti. Seikat mawar merah yang kupetik dari lereng Muria dan
kuhilangkan durinya akan tergenggam erat di tanganmu. Kupastikan prenjak dan
kawanan kupu-kupu kuning itu menari dan menyanyi, menjadi orkestra terlangka pengiring ikrar suciku,
meminangmu.
Dalam lubuk
nuraniku berkata
Menjelma separuh
malaikat cinta
Kulepas bagian
nyawaku untuk terbang
Mengiringimu,
menjagamu ketika ku tak di sampingmu
Sejauh-jauh jarak
memisahkan kita
Hati tetap
saling menggengam erat
Bernaung di
bawah komitmen cinta
Berlandas
kesetiaan tiada dua
Siluet hati yang
kugoreskan gigih di atas prasasti cinta
Cemara gunung
Namamu dan
namaku di sana
Dik,
Dua ujung yang
saling menghujam simetris itu
Lihatlah..
Kuparuh, separuh
untuk kau simpan tanda kita saling setia
Kudus, 3 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar