Rabu, 03 Desember 2014

Labirin , Negeriku



Labirin , Negeriku
Gadis itu terhuyung, kemudian tersungkur di atas tumpukan sampah yang susah payah dikumpulkannya. Noda darah merembes dari perut kirinya, membaur dengan keringat yang membentuk drops di sekujur tubuh. Detik demi detik tak terhitung jumlahnya berpacu dengan desau napas satu dua yang kian menipis. Kemudian senja bergulir perlahan menggapai kegelapan yang segera dicumbu pelita rembulan. Gemerlap hingar bingar metropolitan tak membayang dalam jiwanya, memburu kausa yang menyayat nadi. Dalam sungkurnya, mata rembulan yang
mengiba menyaksikan. Bintang-bintangpun berkelip, seolah saling bertanya dengan pertanyaan sekaligus jawaban ‘kira-kira’. Senja tadi, satu lagi bukti kekejaman hidup tersaji tanpa penghalang, tanpa kepekaan. Ada apa dengan negeri ini?
Fajar datang seperti biasa. Sayup-sayup suara adzan subuh masih terdengar. Dalam sebuah gubuk kardus kecil, Mirah menengadahkan khusyu’ kedua tangannya. Tubuhnya terbungkus mukena putih yang menggading. Hingga sang bagaskara mengintip malu dengan cahaya keemasan melalui celah-celah istana lapuknya, Mirah bergegas meraih karung gandum yang menjadi wadah rejeki untuk hari ini.
Keluar dari lubang besar gubuk yang ia sebut pintu, satu pemandangan eksotis telah tersaji. Bukan bukit hijau yang subur, melainkan gunungan sampah yang berkilauan ditempa hangat mentari. Mirah dan beberapa pemulung lain tinggal di antara semerbak wangi sampah yang menggunung. Baginya, tempat itu terlalu indah untuk diabaikan. Banyak gemerlap pasang mata yang membutuhkannya, menjadi panutan dari bocah-bocah yang mendamba padang aksara. Ia berharga di sini.
Satu dua truk pengangkut sampah datang tepat pukul 06.00 pagi. Bagi Mirah, kehidupan yang dijalaninya sehari-hari seperti telah diatur oleh penunjuk waktu yang tergantung di masing-masing sudut dimensi. Sama, tapi selalu terasa berbeda. Sangat banyak hal yang ditemukannya di antara tumpukan sampah. Ia menghargainya seperti ia menghargai ibunya, dulu.
Sandal jepit merah dengan sol yang aus mengantarnya dengan hentakan-hentakan kecil menuju sampah-sampah yang baru saja ditumpahkan, melindungi kakinya dari pecahan beling dan material tajam yang dapat melukainya.
Tangan gesit Mirah mulai memilah sampah-sampah plastik dan kertas yang melimpah. Beberapa pemulung lain, termasuk Ilham dan Siti yang sering minta diajarinya baca tulispun turut mematuk rejeki dengan melakukan hal yang sama. Tak butuh waktu lama untuk mengisi penuh karung gandum yang ia bawa. Sekali lagi, Mirah seperti melakukan hal yang sama persis dengan hal yang dilakukannya kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi, dengan senang hati tentunya.
Mirah. Usianya 18 tahun. Meski seorang pemulung, dia menyimpan ijazah menengah atas di gubuk kecilnya. Dia bukan orang bodoh yang pantas untuk melakukan hal itu. Sebenarnya dia tidak terlahir dari keluarga yang kekurangan. Tapi memang seperti itulah hidup. Mungkin dia sedang menguncup.
Setahun lalu saat Mirah pulang masih dengan menggunakan pakaian putih-abu-abu, regol rumahnya telah tersegel garis polisi. Dia kembali dengan kebanggaan sekaligus kesedihan yang membaur. Trophy berangka satu dan ijazah dengan nilai terbaik di tangannya seolah tak berarti. Tak lama kemudian dia menyadari apa yang telah terjadi. Ayah, satu-satunya orang tua yang mengayominya terjerat kasus korupsi. Semua hartanya disita tanpa menyisakan sedikitpun untuk Mirah. Mirah tahu itu bukan sifat ayahnya. Tapi hukum harus membuktikannya. Membuktikan segala kebenaran dengan sebenar-benarnya.
Memang merupakan satu goncangan besar baginya ketika ayah yang dikasihi harus meringkuk di atas lantai bui yang dingin. Tapi dia bertekat goncangan itu tak akan memporandakan kegigihan yang susah payah ia bangun.
“Eh, lihat deh. Itu anak koruptor masih sering saja berdiri di bekas rumah mewahnya.”
“Iya, bu. Mungkin dia masih mengira itu rumah bapaknya, ya? padahal kan sudah disita pemerintah kan, bu? Siapa suruh jadi manager keuangan berani memainkan uang perusahaan. Akhirnya merasakan akibatnya!”
Itu bukan bisikan. Mirah dapat mendengar dengan jelas dari jarak dua puluh meter dari tempatnya berdiri. Segerombolan ibu-ibu yang berdiri mengelilingi gerobak sayur membicarakan hal-hal buruk yang diyakininya tak lebih dari sekedar fitnah, menjatuhkan harga diri keluarganya.
Mirah hanya mampu menunduk tanpa memalingkan muka. Di sudut matanya, kemurnian peluh pun menitik membasahi pipi.
Setahun berlalu, predikat anak koruptor belum juga lepas meski Mirah telah terlempar ke tumpukan sampah. Kini Mirah mulai terbiasa dengan kehidupan keras yang membuatnya merasa lebih hidup. Tekanan silih berganti. Kian hari, tekanan-tekanan itu semakin menekan lebih dalam. Tapi Mirah mampu mengatasi semuanya tepat sebelum tekanan berikutnya datang.
Pandangan Mirah menerawang. Pikirannya membayang pada ingatan noda-noda yang mengerak. Hidupnya semakin tertekan. Kali ini tekanan bermula dari setumpuk kertas yang dipungutnya dari tumpukan sampah beberapa hari lalu. Hingga kemudian disadarinya beberapa orang asing berpakaian pantas mulai berkeliaran di antara tumpukan sampah. Ada sesuatu yang sedang mereka cari. Dan itu pasti sesuatu yang sangat penting!
Mirah berencana menjual kertas dan kardus yang ia kumpulkan beberapa hari ini. Tapi kertas-kertas itu belum cukup banyak untuk diuangkan. Mungkin orang-orang asing yang berkeliaran di antara tumpukan sampah itu menyadari bahwa Mirah terus memperhatikan tingkah mereka hingga Mirah sedikit terkejut ketika satu dari mereka menyentak pundaknya.
“Sedang memperhatikan apa?” kata seorang laki-laki.
“Oh, tidak ada. Permisi.” Mirah bergegas meninggalkan laki-laki asing berkacamata hitam itu. Namun langkahnya tertahan oleh cengkeraman kuat di lengannya.
“Jangan pergi dulu, nona. Mungkin kau tahu sesuatu.”
“Tahu apa, Pak?”
“Serahkan dokumen itu padaku!”
“Dokumen? Dokumen apa?” Mirah heran “Tidakkah anda lihat ini tempat apa? Dokumen penting macam apa yang disimpan di tempat seperti ini?”
Laki-laki itu mengendurkan cengkeramannya, tapi tidak dengan tatapan mata tajam yang dapat Mirah rasakan meski disembunyikan di balik kacamata hitamnya. Kemudian laki-laki itu membiarkan Mirah pergi.
Hati kecil Mirah mengatakan bahwa dia memiliki apa yang orang-orang asing itu cari. Mirah segera kembali ke gubuk kecilnya untuk memastikan bisikan hatinya. Dia menilik satu per satu tulisan di atas kertas yang dibundel sedemikian rapi untuk kemudian dilemparkan ke tempat sampah. Pasti dokumen itu yang mereka maksud.
Dokumen itu berisi laporan keuangan sebuah perusahaan besar yang begitu rinci. Sebuah nama perusahaan yang begitu familiar terpampang jelas di hadapannya. Lembar demi lembar, Mirah menemukan nama dan tanda tangan ayahnya di sana, di mana-mana.
Mungkin ini jalan yang diberikan Tuhan untuk membebaskan ayahnya dari semua tuduhan. Bisa dipastikan bahwa seorang rekan atau mungkin saingan ayahnya sangat kompeten untuk memanipulasi semuanya. Bahkan penyelidikan kepolisian pun dirasa gelap. Bagaimana bisa lakon-lakon hukum yang begitu kompeten dan berpengalaman lalai dengan manipulasi bukti-bukti tindak korupsi besar semacam itu? Atau mungkin memang semua itu disengaja? Memang sebagian besar dari masyarakat bumi pertiwi menyadari bahwa hukum di negeri tercinta ini sangat pantas disamakan dengan ikan asin yang dijajakan pedagang di pasar. Murah untuk yang berduit. Adil untuk yang berduit.
Luka-luka lama itu kini kembali menganga. Semangat Mirah untuk membebaskan ayahnya dari segala tuntutanpun kembali berapi-api. Kini ia memegang bukti terkuat untuk membebaskan ayahnya yang tak bersalah. Mirah bagai menemukan permata dalam tumpukan sampah.
Mirah termenung hingga tak menyadari kedatangan Ilham dan Siti.
“Mbak Mirah,” sapa Siti, “Siti dan Ilham boleh minta tolong diajari menulis lagi kan?” Mirah tak merespon. Ia seperti tengah tenggelam dalam awang.
“Mbak Mirah!” kali ini Ilham. Mirah terlonjak dengan awang yang tak lagi beraturan.
“Oh, iya. Maaf, ya. Mbak tadi nggak tahu kalian di sini.”
Menghela napas panjang, “Mbak hanya sedang memikirkan bagaimana nasib kalian ke depannya. Kalian harus pintar. Jangan mau terus-terusan jadi pemulung seperti ini. Kalau bisa, kalian sisihkan sedikit uang yang kalian dapat untuk menuntut ilmu. Jadikan ilmu yang kalian dapat kelak berguna bagi bangsa. Mbak ingin melihat kalian kelak mampu membuat perubahan yang jauh lebih baik bagi bangsa. Indonesia sangat membutuhkan sosok-sosok jujur dan peka yang mampu menjadi panutan kelak. Nasib bangsa ada di pundak jiwa-jiwa muda seperti kalian.”
“Baik, mbak. Kami akan berusaha sekuat mungkin. Kami yakin kami mampu menjadi seperti yang kakak inginkan. Percayalah!” Ilham berapi-api.
Dua Minggu, tiga Minggu, satu bulan, dua bulan. Belum juga ada tindakan nyata untuk memproses lebih lanjut laporan Mirah tentang bukti-bukti baru yang ditemukannya. Pemerintah seolah menutup mata atas apa yang tengah ia perjuangkan demi ayahnya yang hingga saat itu menjadi tersangka utama kasus korupsi besar yang menyita perhatian dan keprihatinan masyarakat luas.
“Betapa mata duitannya aparat negeri ini.” batin Mirah. Mirah berpikir bahwa pemerintah hanya meringkas proses hukum yang dihadapi ayahnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan cepat tanpa mempertimbangkan poin pokok, yaitu kebenaran dan keadilan yang hakiki. Dedikasi dan etos kerja bukan lagi menjadi tanggungjawab yang menggelayut pundak, melainkan sebatas pemanis bibir demi pencitraan di muka umum. Betapa kecewanya hati Mirah.
Embusan angin membekukan sumsum di dalam tulang. Serangga-serangga memuja malam dengan bebunyiannya. Jiwa Mirah gelisah sepanjang malam. Tak sedikitpun matanya terpejam demi meluapkan sesak yang selama ini mencekik urat-urat jalur napasnya. Ia meluapkannya dalam kemurnian mata air penglitahannya, tersedu, membatin tentang ketidakadilan yang sebelumnya membangkitkannya dari lena kehidupan.
“Betapa adilnya hidup ini. Bahkan ketika Tuhan menjungkirbalikkan bejana tempatku merebahkan tulang punggung dan limpahan pikiranku, aku masih mampu menangis.” lirih.
Hingga kilau keemasan horizon menyingsing esok di satu sisi, lalu kembali pada padu cakrawala merah di sisi lainnya, Mirah masih tak menginjak batas yang disebutnya menyerah. Dia gadis yang gigih.
Katanya mendung tak selamanya kelabu
Getar embusan gejolak jiwa-jiwa tertindas,
Mereka tak pernah membatu
Kucuran semangatpun mampu tersampaikan dari gurauan angin lembut
Kucing dalam tong sampahpun menanti serpihan tulang
Demi kehidupan setalut
Ketika senja melumerkan jingganya, Mirah membujurkan tulang punggungya pada permadani jerami. Entah apa yang sebenarnya terjadi, sekelompok orang menyergap Mirah dari segala penjuru, merubuhkan satu per satu kertas bekas penggulung kain yang menjadi pondasi gubuk kardusnya tanpa ampun, tanpa iba. Mereka tak memakai seragam layaknya petugas Kamtib. Lagipula kamtib tidak menertibkan tempat sampah dengan seonggok sampah hidup bernama Mirah. Jaket kulit tebal membungkus ketat otot-otot tebal mereka. Kata-kata kasar berselancar dari ujung bibir di bawah naungan kumis tebal nan sangar. Mirah tak berkutik diperlakukan sedemikian.
“Apa yang kalian lakukan dengan rumahku? Apa yang kalian inginkan?” teriak Mirah.
“Sebaiknya kau menyerahkan dokumen itu pada kami, atau kami akan bertindak sedikit lebih manis!”
“Hah? Siapa kalian? Kalian bukan siapa-siapa di sini. Apa hak kalian untuk mengancamku? Kalian pantas disamakan dengan sampah-sampah yang membusuk. Perilaku manusia tak akan sebusuk ancaman yang kalian lontarkan!”
Mirah berteriak, menjerit marah, takut, kesal hingga semua perasaanya terluap dalam sumpah serapah. Dia mengutuk makhluk-makhluk biadab yang mengusik kehidupannya selama ini. Muncul kelegaan yang memberikan ruang untuk menyimpan kenangan-kenangan lain setelah ini.
Dalam perlawanan, batinnya menyembulkan semua perasaan yang disimpan tentang bobroknya negeri ini. Negara merdeka, Negara demokratis sekaligus Negara hukum yang hanya digembar-gemborkan sebagai formalitas.
“Negeriku butuh pemimpin yang rasionalis. Bukan apatis!” teriaknya, “Semua orang bakhan tanpa segan menutup mata dengan alasan netralisasi! Hahaha!”
 “Anak muda ini sudah gila, rupanya!” kata salah seorang lelaki. Kemudian ia mengeluarkan pisau lipat kecil dari balik jaket kulitnya. Satu tusukan tanpa basa-basi menembus lambung Mirah. Secepat kilat gerombolan itu meraih sebagian dokumen yang Mirah sisakan sebelum menyerahkannya pada polisi, kemudian meninggalkan Mirah yang bertahan, tersenyum getir melihat mereka berhambur meninggalkannya.
Ilham dan Siti yang berada di sana berhambur memeluk tubuh Mirah yang mengerang kesakitan. Air mata keduanya tak henti membanjir menangisi keadaan Mirah yang kian melemah. Tangannya kini terangkat, menunjuk ke sela-sela dinding kardus yang tersisa.
“Dokumen penting itu terselip di sana,” Mirah tergagap. “Serahkan polisi.”
“Iya mbak! Tapi Mbak jangan mati, mbak! Jangan pergi!” Siti meratap. Sisa-sisa daya Mirah hanya mampu menggariskan seulas senyum. Kemudian matanya terpejam. Dawainya terputus.
Orang-orang yang berada di sana mulai merapat ketika mendengar teriakan serapah dari gubuk Mirah. Wajah lusuh mereka menunjukkan mimik tak suka pada segerombolan pengecut yang berlari tunggang langgang ketika menyadari perilaku mereka tertangkap puluhan pasang mata. Gerak spontan orang-orang yang mengasihi Mirahpun berhasil menjegal langkah  mereka, lalu menyerahkannya ke polisi untuk tindak lanjut pengusutan dalang-dalang di balik semuaya, mengerucut.
Seperti itulah wajah hukum di negeri yang subur, makmur dan adil di masa sekarang. Penyelesaian tindak pidana korupsi yang terkesan alakadarnya dan begitu mengulur waktu. Persaingan dalam pendudukan jabatan yang tak bertanggungjawab dan tak bermoral menjadi ganjalan besar untuk kemajuan bangsa.
Beginilah cerminan cara tak berperikemanusiaan demi menghapus bukti-bukti kejahatan di masa ini. Mengubur satu kejahatan dengan timbunan kejahatan yang lebih jahat. Meneror hingga menghilangkan nyawa tanpa segan dan terasa remeh seperti memetas seekor semut dengan ujung jari telunjuk tepat pada perutnya yang gendut.
Wajarnya itulah yang terjadi di masa sekarang. Penuh fitnah, penuh pembantaian, penuh kebiadaban. Inilah wajah negeri yang (katanya) damai, sekarang ini. Kelak semuanya akan tercangkok kuat pada poros yang sesuai porsinya. Tanpa penindasan. Tanpa teror kekanakan.
Lamat-lamat, embun terpecah oleh pancaran mentari. Harian metropolitan ramai mengulas dalang-dalang kriminalitas yang dibeberkan seorang saksi yang memperhatikan dari kejauhan. Tentang kasus ayah Mirah, tentang bukti-bukti manipulasi, hingga tentang jasad seorang gadis yang tersungkur dengan sebuah puisi bernama ironi di sampingnya, Mirah.
Inilah wajah pertiwi di masa depan yang tak lagi terjebak dalam labirin jiwa-jiwa tak beradab. Keadilan benar-benar adil. Korupsi benar benar terhapuskan. Manipulasi kasus lenyap atas dasar rasa tanggungjawab. Inilah gambaran Indonesia. Bangsa besar di masa nanti yang dirintis mulai hari ini. ||



###

rifa
disertakan dalam lomba menulis cerpen nasional dengan tema pokok “Bangsaku Kini dan Nanti” yang diselenggarakan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar