Labirin , Negeriku
Gadis itu terhuyung, kemudian tersungkur di atas tumpukan
sampah yang susah payah dikumpulkannya. Noda darah merembes dari perut kirinya,
membaur dengan keringat yang membentuk drops di sekujur tubuh. Detik demi detik
tak terhitung jumlahnya berpacu dengan desau napas satu dua yang kian menipis.
Kemudian senja bergulir perlahan menggapai kegelapan yang segera dicumbu pelita
rembulan. Gemerlap hingar bingar metropolitan tak membayang dalam jiwanya,
memburu kausa yang menyayat nadi. Dalam sungkurnya, mata rembulan yang
mengiba menyaksikan. Bintang-bintangpun berkelip, seolah saling bertanya dengan pertanyaan sekaligus jawaban ‘kira-kira’. Senja tadi, satu lagi bukti kekejaman hidup tersaji tanpa penghalang, tanpa kepekaan. Ada apa dengan negeri ini?
mengiba menyaksikan. Bintang-bintangpun berkelip, seolah saling bertanya dengan pertanyaan sekaligus jawaban ‘kira-kira’. Senja tadi, satu lagi bukti kekejaman hidup tersaji tanpa penghalang, tanpa kepekaan. Ada apa dengan negeri ini?
Fajar datang seperti
biasa. Sayup-sayup suara adzan subuh masih terdengar. Dalam sebuah gubuk kardus
kecil, Mirah menengadahkan khusyu’ kedua tangannya. Tubuhnya terbungkus mukena
putih yang menggading. Hingga sang bagaskara mengintip malu dengan cahaya
keemasan melalui celah-celah istana lapuknya, Mirah bergegas meraih karung
gandum yang menjadi wadah rejeki untuk hari ini.
Keluar dari lubang besar
gubuk yang ia sebut pintu, satu pemandangan eksotis telah tersaji. Bukan bukit
hijau yang subur, melainkan gunungan sampah yang berkilauan ditempa hangat
mentari. Mirah dan beberapa pemulung lain tinggal di antara semerbak wangi
sampah yang menggunung. Baginya, tempat itu terlalu indah untuk diabaikan.
Banyak gemerlap pasang mata yang membutuhkannya, menjadi panutan dari
bocah-bocah yang mendamba padang aksara. Ia berharga di sini.
Satu dua truk pengangkut
sampah datang tepat pukul 06.00 pagi. Bagi Mirah, kehidupan yang dijalaninya
sehari-hari seperti telah diatur oleh penunjuk waktu yang tergantung di
masing-masing sudut dimensi. Sama, tapi selalu terasa berbeda. Sangat banyak
hal yang ditemukannya di antara tumpukan sampah. Ia menghargainya seperti ia
menghargai ibunya, dulu.
Sandal jepit merah dengan
sol yang aus mengantarnya dengan hentakan-hentakan kecil menuju sampah-sampah
yang baru saja ditumpahkan, melindungi kakinya dari pecahan beling dan material
tajam yang dapat melukainya.
Tangan gesit Mirah mulai
memilah sampah-sampah plastik dan kertas yang melimpah. Beberapa pemulung lain,
termasuk Ilham dan Siti yang sering minta diajarinya baca tulispun turut
mematuk rejeki dengan melakukan hal yang sama. Tak butuh waktu lama untuk
mengisi penuh karung gandum yang ia bawa. Sekali lagi, Mirah seperti melakukan
hal yang sama persis dengan hal yang dilakukannya kemarin, kemarin dan
kemarinnya lagi, dengan senang hati tentunya.
Mirah. Usianya 18 tahun.
Meski seorang pemulung, dia menyimpan ijazah menengah atas di gubuk kecilnya.
Dia bukan orang bodoh yang pantas untuk melakukan hal itu. Sebenarnya dia tidak
terlahir dari keluarga yang kekurangan. Tapi memang seperti itulah hidup.
Mungkin dia sedang menguncup.
Setahun lalu saat Mirah
pulang masih dengan menggunakan pakaian putih-abu-abu, regol rumahnya telah
tersegel garis polisi. Dia kembali dengan kebanggaan sekaligus kesedihan yang
membaur. Trophy berangka satu dan
ijazah dengan nilai terbaik di tangannya seolah tak berarti. Tak lama kemudian
dia menyadari apa yang telah terjadi. Ayah, satu-satunya orang tua yang
mengayominya terjerat kasus korupsi. Semua hartanya disita tanpa menyisakan
sedikitpun untuk Mirah. Mirah tahu itu bukan sifat ayahnya. Tapi hukum harus
membuktikannya. Membuktikan segala kebenaran dengan sebenar-benarnya.
Memang merupakan satu
goncangan besar baginya ketika ayah yang dikasihi harus meringkuk di atas
lantai bui yang dingin. Tapi dia bertekat goncangan itu tak akan memporandakan
kegigihan yang susah payah ia bangun.
“Eh, lihat deh. Itu anak koruptor masih sering saja
berdiri di bekas rumah mewahnya.”
“Iya, bu. Mungkin dia
masih mengira itu rumah bapaknya, ya? padahal kan sudah disita pemerintah kan,
bu? Siapa suruh jadi manager keuangan berani memainkan uang perusahaan.
Akhirnya merasakan akibatnya!”
Itu bukan bisikan. Mirah
dapat mendengar dengan jelas dari jarak dua puluh meter dari tempatnya berdiri.
Segerombolan ibu-ibu yang berdiri mengelilingi gerobak sayur membicarakan
hal-hal buruk yang diyakininya tak lebih dari sekedar fitnah, menjatuhkan harga
diri keluarganya.
Mirah hanya mampu
menunduk tanpa memalingkan muka. Di sudut matanya, kemurnian peluh pun menitik
membasahi pipi.
Setahun berlalu, predikat
anak koruptor belum juga lepas meski Mirah telah terlempar ke tumpukan sampah.
Kini Mirah mulai terbiasa dengan kehidupan keras yang membuatnya merasa lebih
hidup. Tekanan silih berganti. Kian hari, tekanan-tekanan itu semakin menekan
lebih dalam. Tapi Mirah mampu mengatasi semuanya tepat sebelum tekanan
berikutnya datang.
Pandangan Mirah
menerawang. Pikirannya membayang pada ingatan noda-noda yang mengerak. Hidupnya
semakin tertekan. Kali ini tekanan bermula dari setumpuk kertas yang
dipungutnya dari tumpukan sampah beberapa hari lalu. Hingga kemudian
disadarinya beberapa orang asing berpakaian pantas mulai berkeliaran di antara
tumpukan sampah. Ada sesuatu yang sedang mereka cari. Dan itu pasti sesuatu
yang sangat penting!
Mirah berencana menjual
kertas dan kardus yang ia kumpulkan beberapa hari ini. Tapi kertas-kertas itu
belum cukup banyak untuk diuangkan. Mungkin orang-orang asing yang berkeliaran
di antara tumpukan sampah itu menyadari bahwa Mirah terus memperhatikan tingkah
mereka hingga Mirah sedikit terkejut ketika satu dari mereka menyentak
pundaknya.
“Sedang memperhatikan
apa?” kata seorang laki-laki.
“Oh, tidak ada. Permisi.”
Mirah bergegas meninggalkan laki-laki asing berkacamata hitam itu. Namun
langkahnya tertahan oleh cengkeraman kuat di lengannya.
“Jangan pergi dulu, nona.
Mungkin kau tahu sesuatu.”
“Tahu apa, Pak?”
“Serahkan dokumen itu
padaku!”
“Dokumen? Dokumen apa?”
Mirah heran “Tidakkah anda lihat ini tempat apa? Dokumen penting macam apa yang
disimpan di tempat seperti ini?”
Laki-laki itu
mengendurkan cengkeramannya, tapi tidak dengan tatapan mata tajam yang dapat
Mirah rasakan meski disembunyikan di balik kacamata hitamnya. Kemudian
laki-laki itu membiarkan Mirah pergi.
Hati kecil Mirah
mengatakan bahwa dia memiliki apa yang orang-orang asing itu cari. Mirah segera
kembali ke gubuk kecilnya untuk memastikan bisikan hatinya. Dia menilik satu
per satu tulisan di atas kertas yang dibundel sedemikian rapi untuk kemudian
dilemparkan ke tempat sampah. Pasti dokumen itu yang mereka maksud.
Dokumen itu berisi
laporan keuangan sebuah perusahaan besar yang begitu rinci. Sebuah nama
perusahaan yang begitu familiar terpampang jelas di hadapannya. Lembar demi
lembar, Mirah menemukan nama dan tanda tangan ayahnya di sana, di mana-mana.
Mungkin ini jalan yang
diberikan Tuhan untuk membebaskan ayahnya dari semua tuduhan. Bisa dipastikan
bahwa seorang rekan atau mungkin saingan ayahnya sangat kompeten untuk
memanipulasi semuanya. Bahkan penyelidikan kepolisian pun dirasa gelap.
Bagaimana bisa lakon-lakon hukum yang begitu kompeten dan berpengalaman lalai
dengan manipulasi bukti-bukti tindak korupsi besar semacam itu? Atau mungkin
memang semua itu disengaja? Memang sebagian besar dari masyarakat bumi pertiwi
menyadari bahwa hukum di negeri tercinta ini sangat pantas disamakan dengan
ikan asin yang dijajakan pedagang di pasar. Murah untuk yang berduit. Adil
untuk yang berduit.
Luka-luka lama itu kini
kembali menganga. Semangat Mirah untuk membebaskan ayahnya dari segala
tuntutanpun kembali berapi-api. Kini ia memegang bukti terkuat untuk
membebaskan ayahnya yang tak bersalah. Mirah bagai menemukan permata dalam
tumpukan sampah.
Mirah termenung hingga
tak menyadari kedatangan Ilham dan Siti.
“Mbak Mirah,” sapa Siti,
“Siti dan Ilham boleh minta tolong diajari menulis lagi kan?” Mirah tak
merespon. Ia seperti tengah tenggelam dalam awang.
“Mbak Mirah!” kali ini
Ilham. Mirah terlonjak dengan awang yang tak lagi beraturan.
“Oh, iya. Maaf, ya. Mbak
tadi nggak tahu kalian di sini.”
Menghela napas panjang,
“Mbak hanya sedang memikirkan bagaimana nasib kalian ke depannya. Kalian harus
pintar. Jangan mau terus-terusan jadi pemulung seperti ini. Kalau bisa, kalian
sisihkan sedikit uang yang kalian dapat untuk menuntut ilmu. Jadikan ilmu yang
kalian dapat kelak berguna bagi bangsa. Mbak ingin melihat kalian kelak mampu
membuat perubahan yang jauh lebih baik bagi bangsa. Indonesia sangat
membutuhkan sosok-sosok jujur dan peka yang mampu menjadi panutan kelak. Nasib
bangsa ada di pundak jiwa-jiwa muda seperti kalian.”
“Baik, mbak. Kami akan
berusaha sekuat mungkin. Kami yakin kami mampu menjadi seperti yang kakak
inginkan. Percayalah!” Ilham berapi-api.
Dua Minggu, tiga Minggu,
satu bulan, dua bulan. Belum juga ada tindakan nyata untuk memproses lebih
lanjut laporan Mirah tentang bukti-bukti baru yang ditemukannya. Pemerintah
seolah menutup mata atas apa yang tengah ia perjuangkan demi ayahnya yang
hingga saat itu menjadi tersangka utama kasus korupsi besar yang menyita
perhatian dan keprihatinan masyarakat luas.
“Betapa mata duitannya
aparat negeri ini.” batin Mirah. Mirah berpikir bahwa pemerintah hanya
meringkas proses hukum yang dihadapi ayahnya untuk mendapatkan keuntungan
pribadi dengan cepat tanpa mempertimbangkan poin pokok, yaitu kebenaran dan
keadilan yang hakiki. Dedikasi dan etos kerja bukan lagi menjadi tanggungjawab
yang menggelayut pundak, melainkan sebatas pemanis bibir demi pencitraan di
muka umum. Betapa kecewanya hati Mirah.
Embusan angin membekukan
sumsum di dalam tulang. Serangga-serangga memuja malam dengan bebunyiannya.
Jiwa Mirah gelisah sepanjang malam. Tak sedikitpun matanya terpejam demi
meluapkan sesak yang selama ini mencekik urat-urat jalur napasnya. Ia
meluapkannya dalam kemurnian mata air penglitahannya, tersedu, membatin tentang
ketidakadilan yang sebelumnya membangkitkannya dari lena kehidupan.
“Betapa adilnya hidup
ini. Bahkan ketika Tuhan menjungkirbalikkan bejana tempatku merebahkan tulang
punggung dan limpahan pikiranku, aku masih mampu menangis.” lirih.
Hingga kilau keemasan
horizon menyingsing esok di satu sisi, lalu kembali pada padu cakrawala merah
di sisi lainnya, Mirah masih tak menginjak batas yang disebutnya menyerah. Dia
gadis yang gigih.
Katanya mendung tak selamanya kelabu
Getar embusan gejolak jiwa-jiwa tertindas,
Mereka tak pernah membatu
Kucuran semangatpun mampu tersampaikan dari gurauan angin
lembut
Kucing dalam tong sampahpun menanti serpihan tulang
Demi kehidupan setalut
Ketika senja melumerkan
jingganya, Mirah membujurkan tulang punggungya pada permadani jerami. Entah apa
yang sebenarnya terjadi, sekelompok orang menyergap Mirah dari segala penjuru,
merubuhkan satu per satu kertas bekas penggulung kain yang menjadi pondasi
gubuk kardusnya tanpa ampun, tanpa iba. Mereka tak memakai seragam layaknya
petugas Kamtib. Lagipula kamtib tidak menertibkan tempat sampah dengan seonggok
sampah hidup bernama Mirah. Jaket kulit tebal membungkus ketat otot-otot tebal
mereka. Kata-kata kasar berselancar dari ujung bibir di bawah naungan kumis
tebal nan sangar. Mirah tak berkutik diperlakukan sedemikian.
“Apa yang kalian lakukan
dengan rumahku? Apa yang kalian inginkan?” teriak Mirah.
“Sebaiknya kau
menyerahkan dokumen itu pada kami, atau kami akan bertindak sedikit lebih
manis!”
“Hah? Siapa kalian?
Kalian bukan siapa-siapa di sini. Apa hak kalian untuk mengancamku? Kalian
pantas disamakan dengan sampah-sampah yang membusuk. Perilaku manusia tak akan
sebusuk ancaman yang kalian lontarkan!”
Mirah berteriak, menjerit
marah, takut, kesal hingga semua perasaanya terluap dalam sumpah serapah. Dia
mengutuk makhluk-makhluk biadab yang mengusik kehidupannya selama ini. Muncul
kelegaan yang memberikan ruang untuk menyimpan kenangan-kenangan lain setelah
ini.
Dalam perlawanan, batinnya
menyembulkan semua perasaan yang disimpan tentang bobroknya negeri ini. Negara
merdeka, Negara demokratis sekaligus Negara hukum yang hanya digembar-gemborkan
sebagai formalitas.
“Negeriku butuh pemimpin
yang rasionalis. Bukan apatis!” teriaknya, “Semua orang bakhan tanpa segan
menutup mata dengan alasan netralisasi! Hahaha!”
“Anak muda ini sudah gila, rupanya!” kata
salah seorang lelaki. Kemudian ia mengeluarkan pisau lipat kecil dari balik
jaket kulitnya. Satu tusukan tanpa basa-basi menembus lambung Mirah. Secepat
kilat gerombolan itu meraih sebagian dokumen yang Mirah sisakan sebelum
menyerahkannya pada polisi, kemudian meninggalkan Mirah yang bertahan,
tersenyum getir melihat mereka berhambur meninggalkannya.
Ilham dan Siti yang
berada di sana berhambur memeluk tubuh Mirah yang mengerang kesakitan. Air mata
keduanya tak henti membanjir menangisi keadaan Mirah yang kian melemah.
Tangannya kini terangkat, menunjuk ke sela-sela dinding kardus yang tersisa.
“Dokumen penting itu
terselip di sana,” Mirah tergagap. “Serahkan polisi.”
“Iya mbak! Tapi Mbak
jangan mati, mbak! Jangan pergi!” Siti meratap. Sisa-sisa daya Mirah hanya
mampu menggariskan seulas senyum. Kemudian matanya terpejam. Dawainya terputus.
Orang-orang yang berada
di sana mulai merapat ketika mendengar teriakan serapah dari gubuk Mirah. Wajah
lusuh mereka menunjukkan mimik tak suka pada segerombolan pengecut yang berlari
tunggang langgang ketika menyadari perilaku mereka tertangkap puluhan pasang
mata. Gerak spontan orang-orang yang mengasihi Mirahpun berhasil menjegal
langkah mereka, lalu menyerahkannya ke
polisi untuk tindak lanjut pengusutan dalang-dalang di balik semuaya,
mengerucut.
Seperti itulah wajah
hukum di negeri yang subur, makmur dan adil di masa sekarang. Penyelesaian
tindak pidana korupsi yang terkesan alakadarnya dan begitu mengulur waktu.
Persaingan dalam pendudukan jabatan yang tak bertanggungjawab dan tak bermoral
menjadi ganjalan besar untuk kemajuan bangsa.
Beginilah cerminan cara
tak berperikemanusiaan demi menghapus bukti-bukti kejahatan di masa ini.
Mengubur satu kejahatan dengan timbunan kejahatan yang lebih jahat. Meneror
hingga menghilangkan nyawa tanpa segan dan terasa remeh seperti memetas seekor
semut dengan ujung jari telunjuk tepat pada perutnya yang gendut.
Wajarnya itulah yang
terjadi di masa sekarang. Penuh fitnah, penuh pembantaian, penuh kebiadaban.
Inilah wajah negeri yang (katanya) damai, sekarang ini. Kelak semuanya akan
tercangkok kuat pada poros yang sesuai porsinya. Tanpa penindasan. Tanpa teror
kekanakan.
Lamat-lamat, embun
terpecah oleh pancaran mentari. Harian metropolitan ramai mengulas
dalang-dalang kriminalitas yang dibeberkan seorang saksi yang memperhatikan
dari kejauhan. Tentang kasus ayah Mirah, tentang bukti-bukti manipulasi, hingga
tentang jasad seorang gadis yang tersungkur dengan sebuah puisi bernama ironi
di sampingnya, Mirah.
Inilah wajah pertiwi di
masa depan yang tak lagi terjebak dalam labirin jiwa-jiwa tak beradab. Keadilan
benar-benar adil. Korupsi benar benar terhapuskan. Manipulasi kasus lenyap atas
dasar rasa tanggungjawab. Inilah gambaran Indonesia. Bangsa besar di masa nanti
yang dirintis mulai hari ini. ||
###
rifa
disertakan dalam lomba menulis cerpen
nasional dengan tema pokok “Bangsaku Kini dan Nanti” yang diselenggarakan
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar