Minggu, 03 November 2013

Gerhana di balik Luna



“Bu.. Ibuuu! Ibuuu!” gadis kecil itu berteriak histeris. Dia berlari menghampiri ibunya, meninggalkan jejak basah di seluruh lantai yang dilewatinya. “Ibu! Hana, Bu! Hana tenggelam di kolam renang belakang!”
“Apa?” ibu muda itu tersentak panik.
“Tolong Hana bu! Cepat!”
Kedua ibu dan anak itu berhambur panik menuju kolam renang yang dimaksud. Ketika mereka tiba, air kolam tak lagi beriak. Di bawah mata purnama tubuh Hana pun bergeming, menyembul ke permukaan dalam keadaan tertelungkup. Tak ada
lagi tanda-tanda kehidupan yang tampak. Darah ibu muda itu pun berdesir. Sendi-sendinya melemas menyaksikan pemandangan di depan matanya. Kini tubuhnya hanya tertumpu pada kedua lututnya, menangis meratap sembari memeluk erat tubuh Luna kecil, saudara kembar dari Hana yang mengambang kaku di depan matanya.
ͼͼͼ---ͽͽͽ
Sepuluh tahun kemudian..
“Bu, Luna berangkat dulu, ya!” peluk cium. Rutinitas itu selalu dilakukan kedua ibu dan anak itu.
“Hati-hati di jalan, sayang!”
“Sip, Bu!” Luna mantab. “Ayo berangkat, Gas!”
“Sip!” ibu jarinya mengacung. “Berangkat dulu, Tante.” pamit Bagas ramah yang kemudian disambut dengan senyuman ramah ibu.
---
Beberapa tahun lalu..
“Ibu! Apa-apaan sih? Luna sudah bilang, jangan pernah mengingat masa lalu. Semua yang berusaha ibu kenang hanya akan meninggalkan luka batin yang menyayat! Ibu sayang Luna kan? Lebih baik ibu bakar semua barang itu! Jangan sisakan satupun!” murka Luna.
“Ibu sayang kamu, Luna. Iya, nanti ibu bakar semua barang ini. Luna jangan marah pada ibu, ya nak!”
---
Air mata Ratri menitih memandang senyuman dua bocah kecil berparas serupa yang saling berangkulan. Kini hanya satu dari keduanya yang masih nyata-nyata dapat ia pandang, belai, cium juga mendapat kucuran kasih sayang yang utuh, Luna. Namun, kecupan dan belaian penuh kasih itu juga mendarat pada selembar kertas usang bergambar senyum Hana, tanpa sepengetahuan Luna tentunya.
ͼͼͼ---ͽͽͽ
“Hai Gas, hai Lun. Nempel terus berdua. Udah kayak perangko aja. Hehehe..” sapa Aura.
“Eh, hai juga, Ra!” timpal Bagas dan Luna bebarengan.
“Emm, nanti malam ada acara gak, Gas? Kamu datang ke ultahku, ya!”
“Wah, kebetulan aku free. Boleh ajak Luna kan?”
“Aduh, gimana ya? Aku bikin undangannya pas. Dan nama Luna lupa aku masukkan ke daftar tamu undangan.”
“Wah, kalau begitu aku usahain deh. Rasanya kurang lengkap tanpa Luna.”
“Datang ya, Gas! Please!” Aura memasang wajah memelas.
“Bagaimana, Lun?” meminta persetujuan Luna.
“Itu sih terserah kamu aja, Gas. Aku gak ikut juga gak papa kok.” tersenyum. “Oh iya, selamat ulang tahun ya, Ra.”
“Iya, makasih ya, Lun.” Jawab Aura dengan nada sinis. “Tuh, Luna aja bilang gak papa kamu tinggal. Iya kan Lun?” timpal balik Aura pada Luna.
“Eh, iya!” mengangguk pelan. Di samping Bagas, Luna beringsut sinis pada Aura yang menganggapnya seolah-olah tak ada di samping Bagas.
ͼͼͼ---ͽͽͽ
“Di bawah purnama malam ini ini aku ingin mengungkapkan perasaanku melalui potongan pertama kue ulang tahunku.” hening. Seluruh tamu terdiam mendengarkan kata demi kata yang Aura lontarkan. “Bagas, ini untuk kamu!” senyum malu-malu tergambar jelas di raut Aura. Binar rembulan menerangi hati kasmaran gadis cantik yang mulai beranjak dewasa tersebut.
“Apa? Aku?”
“Iya, kamu. Aku sayang kamu, Gas. Kamu mau kan jadi pacarku?”
“Ciee..ciee..” suasana yang semula hening mendadak ramai riuh dengan sorakan teman-teman Aura.
Sory, Ra. Aku sudah memiliki Luna.”
“Apa?” Aura tersentak. “Tapi, bukannya selama ini kalian hanya bersahabat?”
“Iya, sekaligus pasangan yang serasi. Iya kan?”
“Aku menyesal sedah memintamu hadir ke pestaku!” kepalanya tergeleng sesal. “Semua hancur, Gas! Pergi kamu! Sweet seventeenku hancur gara-gara kamu. Apa sih bagusnya Luna dibanding aku? Padahal jelas siapa yang lebih perfect di antara aku dan Luna. Kamu buta, Gas! Aaaaarrgh!” Aura semakin murka. “Bubar! Sekarang semuanya bubar!”
ͼͼͼ---ͽͽͽ
Labil, ABG Cantik Gantung Diri
Kudus(15/12)-Kasus bunuh diri belakangan ini terhitung kian meningkat khususnya di kalangan pengangguran dan remaja. Yang sedang hangat-hangatnya sekarang adalah kasus meninggalnya seorang ABG cantik yang masih tercatat sebagai siswi salah satu SMA terfavorit di Kudus, YA(17). YA nekat mengakhiri hidupnya tepat di hari ulang tahunnya. Diduga ABG ini nekat melakukan aksinya karena depresi akibat masalah percintaan.
YA ditemukan tergantung dalam keadaan lidah terjulur dengan darah keluar dari mulut, hidung, juga telinga di dini hari tadi oleh pembantunya (SM/48) yang hendak melaksanakan Shalat malam. YA tergantung di pohon mangga halaman belakang rumahnya dengan sobekan gaun merah yang dikenakannya untuk pesta ulang tahunnya. Diduga YA telah meninggal tiga atau empat jam sebelum ditemukan.
Salah seorang teman YA (AE/17) yang juga hadir di pesta ulang tahun YA semalam menuturkan ; “Tadi malam YA sempat menyatakan cintanya kepada salah seorang teman kami (BD), namun ditolak. Setelah itu YA emosi dan menyuruh kami semua untuk segera pergi.”
“Lun, headline [1]Radar Kudus itu serius?” tanya Bagas di telfon.
“Tentang ABG cantik berinisial YA yang gantung diri gara-gara ditolak BD? Bagas Dewantara namamu bukan? Iya, benar. Dia teman satu sekolah kita, Yasmine Aurora. Itu nama lengkap Aura. Kamu apakan dia semalam sampai dia nekat?”
“Dia menyatakan cinta padaku di depan semua orang. Tapi kutolak dengan dirimu sebagai alasannya.”
“Pantas saja dia nekat bunuh diri. Aku tutup ya telfonnya.. sebentar lagi mau ke dokter diantar Ibu.”
“Iya! Kamu mau ke dokter? Sakit lagi ya, sayang?”
Ngak, Cuma kangen sama dokter botak. Hehe. Udah ya! Muah!”
ͼͼͼ---ͽͽͽ
“Aduh..” keluh Luna. Dia merasakan pening yang teramat sangat di kepala belakangnya.
“Luna sudah sadar!”
“Tenang, bu!” ucap lelaki yang baru saja berbicara pada ibunya. “Sudah berapa orang?” tanpa basa-basi lelaki paruh baya itu segera menyelidik Luna yang baru saja terjaga.
“Apa?”
 “Ibu sudah lihat sendiri apa yang kau lakukan semalam! Bicara, nak. Ibu mohon!”
“Apa yang sedang ibu bicarakan?”
“Ibu lihat kau menghabisi Bagas tadi malam! Lalu kau pergi meninggalkan jasatnya dan bersikap seolah tak terjadi apapun. Katakan pada ibu, nak. Ibu tak akan membawamu ke kantor polisi. Katakan semuanya pada ibu dan dokter Emil.” Desak Ibu.
Luna bergeming. Sepersekian detik, mulai terdengar isakan-isakan kecil darinya. Kedua tangan dan kakinya masih terikat kuat pada tepi-tepi tempat tidur di ruang praktek Dokter Emil -Psikolog- hingga dia tak memiliki banyak ruang untuk memberontak.
“Aku menyaksikan semuanya malam itu. Di bawah binar rembulan Aku melihat ibu membenamkan ayah di kolam renang. Padahal semua tau bahwa ayah tidak bisa berenang. Pagi harinya ibu berteriak histeris menemukan mayat ayah telah biru mengambang di kolam. Dan ibu berkata pada semua orang bahwa ayah meninggal karena berenang seorang diri malam itu! Aku meniru ibu. Kurasa ini adalah bagian dari pembelaan harga diri. Aku berhak melakukannya!” Luna mulai membuka mulutnya.
“…”
“Kenapa ibu diam? Ibu sedang memutar kembali memori itu di kepala ibu? Ha?”
“Maafkan ibu, Luna!” sesal ibu.
“Ibu tak perlu meminta maaf. Aku senang melakukan semuanya, bu! Ibu tau siapa orang yang pertama berakhir di tanganku? Luna! Anak kesayangan ibu! Aku membunuh Luna dengan cara yang sama ketika ibu membunuh ayah! Ibu tak perlu khawatir jika setiap saat aku akan membunuh! Aku hanya melakukannya di bawah cahaya purnama. Rembulan akan menjadi saksi kebringasan yang kulakukan atas nama Luna, seperti yang ibu lihat malam tadi ketika aku mencekik leher Bagas dengan rantai sepeda motornya. Mungkin juga ibu tak menyangka jika ternyata akulah seseorang yang merekayasa kasus bunuh diri Aura sebulan lalu. Aku menghujamkan suntikan bius di kepala belakang Aura di malam ulang tahunnya ketika semua orang telah meninggalkannya. Aura yang lemas terbius kemudian kugantung dengan gaunnya hingga semua orang berfikir bahwa itu adalah kasus bunuh diri.”
“Apa maksudmu, Luna?”
“Berhenti memanggilku Luna! Aku muak dengan nama itu! Sejak kecil ibu selalu saja pilih kasih. Luna selalu mendapat perhatian lebih dari ibu. Kenapa? Karena Luna ibu lahirkan sebagai rembulan. Juga karena nama ibu adalah Ratri yang berati malam yang selalu membutuhkan rembulan! Iya kan? Sedangkan aku hanyalah Hana. Gerhana yang ibu ciptakan sebagai sisi gelap yang dibenci penghuni malam.”
“Kk..kkau..”
“Ibu baru sadar? Hahaha! Sekarang buka mata ibu lebar-lebar dan perhatikan siapa aku sebenarnya!”
“Tapi kenapa kau melakukan semua itu, Hana?” tanya dokter Emil.
“Sudah kubilang ini semua atas nama harga diri, botak! Setelah ini penjarakan aku!” hujam Hana pada pria paruh baya yang baru saja dipanggilnya botak itu.
“Bu, bisa kita bicarakan empat mata di ruangan saya?” bisik dokter Emil. Ibu mengangguk.
“Hey, tak ada yang perlu kalian sembunyikan dariku. Katakan saja di depanku jika kalian bukan pengecut!” mereka tetap berlalu meninggalkan Hana yang masih terikat.
---
“Benar apa yang Hana katakan tentang apa yang pernah ibu lakukan?” mengangguk ragu. “Kapan ibu melakukannya?”
“Sepuluh tahun lalu ketika Hana berusia 7 tahun. Aku tak pernah menyangka Hana akan melakukan hal yang sama, bahkan lebih parah, dok!”
“Ibu harus mengetahui bahwa sebenarnya Hana berbakat. Bakat yang saya maksud adalah di sini kelainan. Obsesi dan sensitifitasnya sangat tinggi terutama ketika purnama tiba. Dia sangat membenci rembulan. Hana tumbuh sebagai psycopat tanpa orang di sekitarnya sadari. Dan tanpa ibu sadari pula semua yang Hana lakukan adalah semata karena trauma masa kecil menyaksikan hidup ayahnya berakhir di tangan ibu. Seperti yang saya katakan, Hana benar-benar berbakat. Dia mampu menutupi sifat aslinya dengan sikap lemah lembut dalam keseharian.”
“Lalu apa yang harus saya lakukan, dok?”
“Titipkan anak ibu di panti rehabilitasi jiwa. Tenang saja. Anak ibu tidak gila. Dia hanya tumbuh sebagai pribadi psycopat. Mungkin akan membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkan penuh kondisi kejiwaannya.”
“Baiklah, dok. Saya akan melakukan apapun demi kesembuhan anak saya.”
“Apa ibu juga akan..”
“Saya tau arah pembicaraan dokter. Ya! Saya akan menyerahkan diri ke polisi.”
ͼͼͼ---ͽͽͽ
Delapan tahun kemudian..
‘Jreb..jreeeeb..jreeeb’ hujaman tusukan belati itu keluar masuk menembus dada Bara. “Mati kau laki-laki bodoh! Hahaha.” Tawa itu menggelegar. Hana kembali menjadi monster perenggut nadi setelah kandungannya luruh sebelum sempat membentuk organ. Kali ini atas suami dan ibunya. Hana menyandingkan dua jasat orang terdekatnya sebelum akhirnya menyayatkan belati itu di arteri lehernya. Dengungan tawa itu kembali menggelegar di bawah purnama sebelum akhirnya nafasnya terhenti.

Nururrif Ullathifah . Kudus, 22 Desember 2011
Dimuat dalam Antologi Bersama ‘Tentang Bulan’ oleh LeutikaPrio Publisher, Maret 2012