“Bu.. Ibuuu! Ibuuu!” gadis kecil itu berteriak
histeris. Dia berlari menghampiri ibunya, meninggalkan jejak basah di seluruh
lantai yang dilewatinya. “Ibu! Hana, Bu! Hana tenggelam di kolam renang
belakang!”
“Apa?” ibu muda itu tersentak panik.
“Tolong Hana bu! Cepat!”
Kedua ibu dan anak itu berhambur panik menuju kolam
renang yang dimaksud. Ketika mereka tiba, air kolam tak lagi beriak. Di bawah
mata purnama tubuh Hana pun bergeming, menyembul ke permukaan dalam keadaan
tertelungkup. Tak ada
lagi tanda-tanda kehidupan yang tampak. Darah ibu muda itu pun berdesir. Sendi-sendinya melemas menyaksikan pemandangan di depan matanya. Kini tubuhnya hanya tertumpu pada kedua lututnya, menangis meratap sembari memeluk erat tubuh Luna kecil, saudara kembar dari Hana yang mengambang kaku di depan matanya.
lagi tanda-tanda kehidupan yang tampak. Darah ibu muda itu pun berdesir. Sendi-sendinya melemas menyaksikan pemandangan di depan matanya. Kini tubuhnya hanya tertumpu pada kedua lututnya, menangis meratap sembari memeluk erat tubuh Luna kecil, saudara kembar dari Hana yang mengambang kaku di depan matanya.
ͼͼͼ---ͽͽͽ
Sepuluh tahun
kemudian..
“Bu, Luna berangkat dulu, ya!” peluk cium. Rutinitas
itu selalu dilakukan kedua ibu dan anak itu.
“Hati-hati di jalan, sayang!”
“Sip, Bu!” Luna mantab. “Ayo berangkat, Gas!”
“Sip!” ibu jarinya mengacung. “Berangkat dulu,
Tante.” pamit Bagas ramah yang kemudian disambut dengan senyuman ramah ibu.
---
Beberapa tahun
lalu..
“Ibu! Apa-apaan sih? Luna sudah bilang, jangan pernah
mengingat masa lalu. Semua yang berusaha ibu kenang hanya akan meninggalkan
luka batin yang menyayat! Ibu sayang Luna kan? Lebih baik ibu bakar semua barang
itu! Jangan sisakan satupun!” murka Luna.
“Ibu sayang kamu, Luna. Iya, nanti ibu bakar semua
barang ini. Luna jangan marah pada ibu, ya nak!”
---
Air mata Ratri menitih memandang senyuman dua bocah
kecil berparas serupa yang saling berangkulan. Kini hanya satu dari keduanya
yang masih nyata-nyata dapat ia pandang, belai, cium juga mendapat kucuran
kasih sayang yang utuh, Luna. Namun, kecupan dan belaian penuh kasih itu juga
mendarat pada selembar kertas usang bergambar senyum Hana, tanpa sepengetahuan
Luna tentunya.
ͼͼͼ---ͽͽͽ
“Hai Gas, hai Lun. Nempel terus berdua. Udah kayak
perangko aja. Hehehe..” sapa Aura.
“Eh, hai juga, Ra!” timpal Bagas dan Luna bebarengan.
“Emm, nanti malam ada acara gak, Gas? Kamu datang ke
ultahku, ya!”
“Wah, kebetulan aku free. Boleh ajak Luna kan?”
“Aduh, gimana ya? Aku bikin undangannya pas. Dan
nama Luna lupa aku masukkan ke daftar tamu undangan.”
“Wah, kalau begitu aku usahain deh. Rasanya kurang
lengkap tanpa Luna.”
“Datang ya, Gas! Please!”
Aura memasang wajah memelas.
“Bagaimana, Lun?” meminta persetujuan Luna.
“Itu sih terserah kamu aja, Gas. Aku gak ikut juga
gak papa kok.” tersenyum. “Oh iya, selamat ulang tahun ya, Ra.”
“Iya, makasih ya, Lun.” Jawab Aura dengan nada
sinis. “Tuh, Luna aja bilang gak papa kamu tinggal. Iya kan Lun?” timpal balik
Aura pada Luna.
“Eh, iya!” mengangguk pelan. Di samping Bagas, Luna
beringsut sinis pada Aura yang menganggapnya seolah-olah tak ada di samping
Bagas.
ͼͼͼ---ͽͽͽ
“Di bawah purnama malam ini ini aku ingin
mengungkapkan perasaanku melalui potongan pertama kue ulang tahunku.” hening.
Seluruh tamu terdiam mendengarkan kata demi kata yang Aura lontarkan. “Bagas,
ini untuk kamu!” senyum malu-malu tergambar jelas di raut Aura. Binar rembulan
menerangi hati kasmaran gadis cantik yang mulai beranjak dewasa tersebut.
“Apa? Aku?”
“Iya, kamu. Aku sayang kamu, Gas. Kamu mau kan jadi
pacarku?”
“Ciee..ciee..” suasana yang semula hening mendadak
ramai riuh dengan sorakan teman-teman Aura.
“Sory, Ra.
Aku sudah memiliki Luna.”
“Apa?” Aura tersentak. “Tapi, bukannya selama ini
kalian hanya bersahabat?”
“Iya, sekaligus pasangan yang serasi. Iya kan?”
“Aku menyesal sedah memintamu hadir ke pestaku!”
kepalanya tergeleng sesal. “Semua hancur, Gas! Pergi kamu! Sweet seventeenku hancur gara-gara kamu. Apa sih bagusnya Luna dibanding
aku? Padahal jelas siapa yang lebih perfect di antara aku dan Luna. Kamu buta,
Gas! Aaaaarrgh!” Aura semakin murka. “Bubar! Sekarang semuanya bubar!”
ͼͼͼ---ͽͽͽ
Labil, ABG Cantik Gantung Diri
Kudus(15/12)-Kasus
bunuh diri belakangan ini terhitung kian meningkat khususnya di kalangan
pengangguran dan remaja. Yang sedang hangat-hangatnya sekarang adalah kasus
meninggalnya seorang ABG cantik yang masih tercatat sebagai siswi salah satu
SMA terfavorit di Kudus, YA(17). YA nekat mengakhiri hidupnya tepat di hari
ulang tahunnya. Diduga ABG ini nekat melakukan aksinya karena depresi akibat masalah
percintaan.
YA ditemukan
tergantung dalam keadaan lidah terjulur dengan darah keluar dari mulut, hidung,
juga telinga di dini hari tadi oleh pembantunya (SM/48) yang hendak
melaksanakan Shalat malam. YA tergantung di pohon mangga halaman belakang
rumahnya dengan sobekan gaun merah yang dikenakannya untuk pesta ulang tahunnya.
Diduga YA telah meninggal tiga atau empat jam sebelum ditemukan.
Salah seorang
teman YA (AE/17) yang juga hadir di pesta ulang tahun YA semalam menuturkan ;
“Tadi malam YA sempat menyatakan cintanya kepada salah seorang teman kami (BD),
namun ditolak. Setelah itu YA emosi dan menyuruh kami semua untuk segera
pergi.”
…
“Lun, headline
[1]Radar Kudus itu
serius?” tanya Bagas di telfon.
“Tentang ABG cantik berinisial YA yang gantung diri
gara-gara ditolak BD? Bagas Dewantara namamu bukan? Iya, benar. Dia teman satu
sekolah kita, Yasmine Aurora. Itu nama lengkap Aura. Kamu apakan dia semalam sampai
dia nekat?”
“Dia menyatakan cinta padaku di depan semua orang.
Tapi kutolak dengan dirimu sebagai alasannya.”
“Pantas saja dia nekat bunuh diri. Aku tutup ya
telfonnya.. sebentar lagi mau ke dokter diantar Ibu.”
“Iya! Kamu mau ke dokter? Sakit lagi ya, sayang?”
“Ngak,
Cuma kangen sama dokter botak. Hehe. Udah ya! Muah!”
ͼͼͼ---ͽͽͽ
“Aduh..” keluh Luna. Dia merasakan pening yang
teramat sangat di kepala belakangnya.
“Luna sudah sadar!”
“Tenang, bu!” ucap lelaki yang baru saja berbicara
pada ibunya. “Sudah berapa orang?” tanpa basa-basi lelaki paruh baya itu segera
menyelidik Luna yang baru saja terjaga.
“Apa?”
“Ibu sudah
lihat sendiri apa yang kau lakukan semalam! Bicara, nak. Ibu mohon!”
“Apa yang sedang ibu bicarakan?”
“Ibu lihat kau menghabisi Bagas tadi malam! Lalu kau
pergi meninggalkan jasatnya dan bersikap seolah tak terjadi apapun. Katakan
pada ibu, nak. Ibu tak akan membawamu ke kantor polisi. Katakan semuanya pada
ibu dan dokter Emil.” Desak Ibu.
Luna bergeming. Sepersekian detik, mulai terdengar
isakan-isakan kecil darinya. Kedua tangan dan kakinya masih terikat kuat pada
tepi-tepi tempat tidur di ruang praktek Dokter Emil -Psikolog- hingga dia tak
memiliki banyak ruang untuk memberontak.
“Aku menyaksikan semuanya malam itu. Di bawah binar
rembulan Aku melihat ibu membenamkan ayah di kolam renang. Padahal semua tau
bahwa ayah tidak bisa berenang. Pagi harinya ibu berteriak histeris menemukan
mayat ayah telah biru mengambang di kolam. Dan ibu berkata pada semua orang
bahwa ayah meninggal karena berenang seorang diri malam itu! Aku meniru ibu.
Kurasa ini adalah bagian dari pembelaan harga diri. Aku berhak melakukannya!” Luna
mulai membuka mulutnya.
“…”
“Kenapa ibu diam? Ibu sedang memutar kembali memori
itu di kepala ibu? Ha?”
“Maafkan ibu, Luna!” sesal ibu.
“Ibu tak perlu meminta maaf. Aku senang melakukan
semuanya, bu! Ibu tau siapa orang yang pertama berakhir di tanganku? Luna! Anak
kesayangan ibu! Aku membunuh Luna dengan cara yang sama ketika ibu membunuh
ayah! Ibu tak perlu khawatir jika setiap saat aku akan membunuh! Aku hanya
melakukannya di bawah cahaya purnama. Rembulan akan menjadi saksi kebringasan
yang kulakukan atas nama Luna, seperti yang ibu lihat malam tadi ketika aku
mencekik leher Bagas dengan rantai sepeda motornya. Mungkin juga ibu tak
menyangka jika ternyata akulah seseorang yang merekayasa kasus bunuh diri Aura
sebulan lalu. Aku menghujamkan suntikan bius di kepala belakang Aura di malam
ulang tahunnya ketika semua orang telah meninggalkannya. Aura yang lemas
terbius kemudian kugantung dengan gaunnya hingga semua orang berfikir bahwa itu
adalah kasus bunuh diri.”
“Apa maksudmu, Luna?”
“Berhenti memanggilku Luna! Aku muak dengan nama
itu! Sejak kecil ibu selalu saja pilih kasih. Luna selalu mendapat perhatian
lebih dari ibu. Kenapa? Karena Luna ibu lahirkan sebagai rembulan. Juga karena
nama ibu adalah Ratri yang berati malam yang selalu membutuhkan rembulan! Iya
kan? Sedangkan aku hanyalah Hana. Gerhana yang ibu ciptakan sebagai sisi gelap
yang dibenci penghuni malam.”
“Kk..kkau..”
“Ibu baru sadar? Hahaha! Sekarang buka mata ibu
lebar-lebar dan perhatikan siapa aku sebenarnya!”
“Tapi kenapa kau melakukan semua itu, Hana?” tanya
dokter Emil.
“Sudah kubilang ini semua atas nama harga diri,
botak! Setelah ini penjarakan aku!” hujam Hana pada pria paruh baya yang baru
saja dipanggilnya botak itu.
“Bu, bisa kita bicarakan empat mata di ruangan
saya?” bisik dokter Emil. Ibu mengangguk.
“Hey, tak ada yang perlu kalian sembunyikan dariku.
Katakan saja di depanku jika kalian bukan pengecut!” mereka tetap berlalu
meninggalkan Hana yang masih terikat.
---
“Benar apa yang Hana katakan tentang apa yang pernah
ibu lakukan?” mengangguk ragu. “Kapan ibu melakukannya?”
“Sepuluh tahun lalu ketika Hana berusia 7 tahun. Aku
tak pernah menyangka Hana akan melakukan hal yang sama, bahkan lebih parah,
dok!”
“Ibu harus mengetahui bahwa sebenarnya Hana
berbakat. Bakat yang saya maksud adalah di sini kelainan. Obsesi dan
sensitifitasnya sangat tinggi terutama ketika purnama tiba. Dia sangat membenci
rembulan. Hana tumbuh sebagai psycopat tanpa orang di sekitarnya sadari. Dan
tanpa ibu sadari pula semua yang Hana lakukan adalah semata karena trauma masa
kecil menyaksikan hidup ayahnya berakhir di tangan ibu. Seperti yang saya
katakan, Hana benar-benar berbakat. Dia mampu menutupi sifat aslinya dengan
sikap lemah lembut dalam keseharian.”
“Lalu apa yang harus saya lakukan, dok?”
“Titipkan anak ibu di panti rehabilitasi jiwa.
Tenang saja. Anak ibu tidak gila. Dia hanya tumbuh sebagai pribadi psycopat.
Mungkin akan membutuhkan waktu yang lama untuk memulihkan penuh kondisi
kejiwaannya.”
“Baiklah, dok. Saya akan melakukan apapun demi
kesembuhan anak saya.”
“Apa ibu juga akan..”
“Saya tau arah pembicaraan dokter. Ya! Saya akan
menyerahkan diri ke polisi.”
ͼͼͼ---ͽͽͽ
Delapan tahun
kemudian..
‘Jreb..jreeeeb..jreeeb’
hujaman tusukan belati itu keluar masuk
menembus dada Bara. “Mati kau
laki-laki bodoh! Hahaha.” Tawa itu menggelegar. Hana kembali menjadi monster
perenggut nadi setelah kandungannya luruh sebelum sempat membentuk organ. Kali ini
atas suami dan ibunya. Hana menyandingkan dua jasat orang terdekatnya sebelum
akhirnya menyayatkan belati itu di arteri lehernya. Dengungan tawa itu kembali menggelegar
di bawah purnama sebelum akhirnya nafasnya terhenti.
Nururrif
Ullathifah . Kudus, 22 Desember 2011
Dimuat dalam Antologi Bersama ‘Tentang Bulan’ oleh
LeutikaPrio Publisher, Maret 2012