Kilat menyambar-nyambar di luar. Terlalu berbahaya
jika kau tetap ingin berlari ke suatu tempat yang bahkan kau tak tau di mana
untuk mendapatkan mata yang akan membuatnya kembali hidup.
“Tapi aku harus menemukannya. Apa pun itu, sebelum
butiran pasir terakhir ini turun sempurna!” katamu tegas.
Sambaran kilat kembali membutakan pupil sesaat,
kemudian diikuti suara guntur menggelegar memenuhi
apa pun yang ada di bawah naungan langit di atas lembah Mississippi. Mungkin jika kau tak di sini lebih awal, kau akan melihat ini sebagai senja yang turun menyerupai malam kelam, lengkap dengan badai mengerikannya.
apa pun yang ada di bawah naungan langit di atas lembah Mississippi. Mungkin jika kau tak di sini lebih awal, kau akan melihat ini sebagai senja yang turun menyerupai malam kelam, lengkap dengan badai mengerikannya.
***
Masih di hari yang sama, Mississippi kembali memeluk
musim hangatnya. Badai belum lama berlalu ketika sinar matahari telah
benar-benar mengupas gumpalan awan badai yang tak wajar. Langit membiru tegas,
tanpa secuil mega kapas turut menggelayut.
“Jac..”
katamu, “tidakkah kau merasakan sesuatu?” saat kau mengatakannya memang aku tak
bisa melihat sorot matamu. Sorot yang kukira mulai terisi penuh dengan tekat
dan keberanian. “Waktuku tak banyak. Aku harus segera pergi dari sini.”
“Aku bersamamu, Earth.”
***
Kalau boleh sedikit mengarang, aku membayangkan
lembah di bawah bukit gundul yang dipenuhi padang rumput dan beberapa hektar
ilalang ini akan sangat cocok untuk dijadikan pemukiman beberapa puluh tahun
mendatang, jika saja badai mengerikan tak selalu singgah setiap pergantian
musim.
“Jacob, kau berjalan seperti siput.” katamu. Yah,
aku tau. Tapi setidaknya manusia di tahun millenium lebih lambat dengan super
jet mereka daripada cara berjalanku. Juga setidaknya selusin pasukan yang
kuanggap prajurit lebih parah karena mau berjalan lebih lambat dari seseorang
yang berjalan seperti siput. “Err, kau penggerutu, Jac!”
“Apa? Aku mengatakan apa?” setelahnya kudengar
selusin prajurit di belakangku tercekik tawa yang mencoba mereka tahan. Sialan,
pikirku.
Earth, kau memiliki rambut hitam licin, seperti
menempel langsung pada tempurung kepala. Tidak lurus, tidak juga berombak. Kulitmu
pun sepucat salju di musim dingin, lengkap dengan wajah oval, juga mata keemasan yang bening berkilauan. Pakaian yang kau
kenakan pun bukan berasal dari masa ini. Aku membawanya saat kembali dari seratus
ribu tahun yang akan datang. Dan kupikir kau menyukainya.
“Jangan memandangiku seperti itu dengan mata
abu-abumu!” kau berteriak tepat di depan wajahku. Kelopak matamu mencoba
terbuka lebih lebar untuk mengesankan bahwa kau tak suka kupandang ‘seperti
itu’. Dasar gadis pembaca pikiran! Sedetik kemudian matamu melunak, “Jac,
kumohon..” katamu, “kau penjelajah waktu. Kau pasti bisa melakukannya untukku.”
“Apa? Aku harus melakukan apa?”
“Kau tidak peka!”
***
Kebodohanku di sini adalah mau terjebak dalam satu petualangan
bersama gadis aneh yang sedang terjepit.
Aku tau kau mendengarku, Earth. Aku berharap kau melakukan sesuatu untuk
membalasku. Tapi kau terus berjalan tanpa mempedulikan siapa pun, hingga
akhirnya terdengar suara bergemuruh dari langit.
“Badai datang lagi!” kata salah seorang prajurit.
“Selamatkan dirimu!” kata seorang lagi.
“Hey, kalian semua lucu.. Lihat, bintang yang
berkedip genit itu sedang terkikik menertawakan kalian.” katamu, “Mungkin
mereka hanya ingin memberikan tumpangan. Mereka, pengendara angin yang baik
hati.”
Benar katamu. Di langit berkelebatan siluet
sekelompok pengendara angin yang terbang kian rendah –mungkin tujuh atau
sepuluh kaki- di atasku. Angin yang tak terlihat membuat mereka seolah terbang
sungguhan.
“Lakukan sesuatu!” teriakmu, “Mereka hanya ingin
mencelakai kita!”
“Hey, katamu mereka..” belum sampai aku bicara,
tubuhku terhempas oleh angin yang mungkin setara pusaran yang memporandakan
tempat asal kami dan membuat jiwa Nathan, pacar Earth turut tergelung. Namun
saat itu anginnya serupa kabut merah yang menjijikkan. Pusaran itu meninggalkan
sebuah jam pasir untuk memastikan jiwa Nathan masih bisa kembali. Mereka hanya
ingih bermain-main dengan hidup dan mati pacarmu.
“Lari!” kau mengomando, “Lari ke arah pepohonan.
Buat mereka terbentur sesuatu atau jatuhkan mereka, lalu melompatlah ke atas
angin!”
Kau menarikku ikut berlari bersamamu. Kupikir ini
adalah hal yang seratus delapan puluh derajat terbalik. Seharusnya aku yang
melakukannya untukmu.
“Hahaha”
“Di saat seperti ini kau masih bisa tertawa lebar?”
“Pikiranmu lucu sekali. Kita lihat berapa lama lagi
mereka mampu berdiri di atas angin?”
“Tentu saja mereka bisa. Mereka pengendara, Earth!”
“Bruaaakk”
“Kau dengar? Tiga detik lagi melompatlah
tinggi-tinggi!”
Seperti katamu, aku membuat lompatan tertinggi yang
bisa kulakukan. Dan kau membuat posisiku membonceng angin di belakangmu. Ini
konyol! Seharusnya kau di belakangku. Tapi mau tak mau aku harus memujimu.
“Bagimana kau
tau mereka akan jatuh?”
“Mudah saja. Mereka bukan pengendara angin. Mereka hanya
mencuri angin dari pada pengendara. Dan apabila tadi kita gagal, mereka pasti
telah mencurimu!” katamu menakutiku.
Kau membawaku terbang lebih tinggi, meninggalkan
selusin kalkun yang kebingungan
terombang-ambing angin.
“Kau pintar, Earth.”
“Tentu saja. Dan
kau melewatkan satu. Aku hebat!” katamu nyaris berteriak. “Tunggu sampai aku
mendapatkan Eyes of the Vecna-ku
untuk meledakkan yang hidup atau mengembalikan jiwa yang melayang di awang-awang!
Dan, oh masalah kalkun-kalkun peliharaanmu, mereka akan baik-baik saja..”
“Ya, kau
memang hebat. Kau bilang Eyes of the
Vecna ? Itu gurauan yang sangat lucu.. Kau menyebut mereka apa? Kalkun?”
“Kau yang memulai! Pegangan yang kencang!”
***
Air mata Vecna.
Kemampuan membaca pikiran, insting yang kuat, juga hembusan angin yang melesat supercepat
membuatmu terbang mengarah pada ujung daratan. Awalnya kukira kau ingin
membunuhku sebagai tumbal atau apalah. Tapi kupikir itu konyol sekali.
Bulan masih bulat sempurna, memelototi kehidupan di
bawahnya tanpa berkedip. Aku tau perasaanmu, Earth. Setidaknya aku mencoba mengerti
tentang perasaan galau yang nyaris merenggut kewarasanmu.
“Kubilang pegangan! Kita akan benar-benar terjun
beberapa detik lagi!”
Beberapa detik yang kau maksud mungkin hanya dua
atau tiga milidetik. Kau membuatku tercekik angin bukan main, terjun ke jurang gelap
yang tidak akan segan menelan daging manusia atau apa pun yang melintas di
atasnya. Kau konyol. Sekarang aku merasa tiba-tiba menjadi besi karatan yang
sedang mempersiapkan diri untuk remuk dan menempel di dasar jurang. Kau ramah
sekali!
“Yiiihaaa.” kau berseru kegirangan tanpa sadar
beberapa detik lagi akan menjadi selumat semut yang kau letuskan perutnya
dengan ibu jarimu
“Aku sudah bersiap mati.” Kataku.
“Kau memang sangat lucu, Jac.” dan kau selalu ingin
bercanda saat terjepit sekali pun, Earth.
“Coba rasakan. Kau masih mengendarai angin! Yiiihaaaa!!” teriakanmu
seperti kuda yang ingin segera kawin. “Yah, aku jenis kuda yang menakjubkan!” dan
senyummu, manis sekali.
Kutanya apa yang akan kita lakukan setelah ini, dan
kau bilang “Temukan air mata Vecna secepat mungkin.” Para penguntit yang pernah
menguntit sekelompok monster kerdil berkisah bahwa monster kerdil itu tenggelam
di balik air mata Vecna jauh di kedalaman jurang. Aku tak yakin kisah itu
nyata. Bagaimana mereka bisa masuk lalu selamat dari jurang magnet ini ‘hanya’
dengan mematahkan tulang lehernya?
“Penguntit, mereka cerdas.” katamu, “Mereka pasti
menemukan suatu lorong atau apa pun untuk kembali ke atas. Dan mungkin itu
cukup berbahaya karena leher mereka semua patah. Tapi paling tidak, itu
menghapus satu kemungkinan ‘kau akan
lumat menempel seperti semut yang kau letuskan perutya dengan ibu jarimu.’”
Aku meringis jijik.
Kukira kau menyadari saat ini matahari telah terbangun.
Dan masih sama, jurang tetap gelap gulita. Kau dan aku terus melayang dan
menahan sebisa mungkin agar tidak terjatuh ke dasar jurang, hingga akhirnya
menemukan sungai kecil dengan air biru sewarna tosca yang berkilauan.
“Aku haus..” kataku.
Kau memintaku memberikan benda kotak di sakuku
padamu. Orang-orang di masa depan menyebutnya kartu tarot dengang bermacam
gambar aneh yang berkilauan.
“Ah, hey! Aku mendapatkannya di masa depan!”
pekikku. Kau dengan ringan melemparkan benda itu ke sungai kecil yang
berkilauan.
“Waspada, kita tunggu beberpa detik.” katamu.
“Perhatikan apa yang terjadi.”
Aku hampir menyelesaikan perkataan, “tidak terjadi
apa-apa” saat kotak itu tiba-tiba meledak dan menimbulkan suara yang
menggelegar terbentur dinding-dinding jurang.
“Kau masih haus? Itu air mata Vecna. Terserah jika
kau juga ingin meledak di sini.” katamu. “Pasti aku akan mendapatkan Eyes of the Vecna di hulu sungai.”
Ternyata suara ledakan dahsyat itu membuat para monster
kerdil segera siaga di bawah. Dari kegelapan mereka tampak seperti simpanse
tanpa bulu dengan mata viollet yang
bersinar. Lucu sekali.
“Sekarang tugasmu, penjelajah waktu. Alihkan
perhatian mereka, lalu bawa ke masa yang berbeda dari sekarang!” Aku mengangguk
tak terlalu yakin. Aku bahkan memintamu
untuk menjaga dirimu ketika aku telah sukses mendarat di dasar jurang dengan
lompatan sirkus.
Seperti yang kau katakan, Earth. Aku mencoba membawa
mereka ke masa lalu. Belum kutemukan tanda-tanda mereka akan menyerang ketika
kutilik matanya. Mata-mata itu malah lebih tampak seperti anak kecil yang baru
saja menangis dan sama sekali bukan mata monster. Mereka tampak sedih. Aku bisa
melakukannya dengan cepat tanpa sihir atau pun perlawanan dari mereka, lalu
kembali menemuimu.
“Kau cepat sekali, Jac..” katamu, “kukira kau akan
sangat lama.”
“Kau hampir melupakan bahwa aku adalah penjelajah
waktu, Earth.. eh, kecuali jam pasir di tanganmu.”
Kupikir aku mengingatkanmu pada sesuatu. Kau kembali
memandang sayu pada benda dengan dua segitiga yang saling terhubung di ujung
masih terus menjatuhkan pasir-pasir di dalamnnya tanpa terpengaruh gaya magnet.
Sekarang harus lebih cepat dari sangat cepat!
“Kita ke hulu segera!” kataku, “Kau pasti
mendapatkan mata Vecna di sana.”
Saat sampai, kulihat kau terpekik kaget. Ada anak
perempuan kecil yang berdiri mengawasi kita. Dari sela-sela kaki anak kecil
itulah air mata sVecna itu muncul. Sungguh di luar dugaan.
“Mungkin dia pemilik Eyes of the Vecna, Jac. Apa pun
yang terjadi jangan melihat matanya atau kau akan mengalami hal yang lebih
parah dari meledak.”
Dia mulai bergerak mendekatimu, Earth. Gerakannya
persis seperti anak kecil. Berjalan terseok, mengucek mata, menghirup ingus,
dan ah..aku melihat sekilas matanya memandangmu. Matanya hijau sangat terang
dan kukira tak berbahaya.
“Hentikan aku.” katanya.
“Dia bilang ‘hentikan aku’?” kau memastikan padaku.
Aku mengangguk.
“Kumohon, hentikan aku.” sekali lagi, “Aku sama
seperti kalian. Aku menyesal mendapat mata ini. Kumohon.. bunuh aku. Ambil
mataku.”
Kau terperangah, Earth. Masih tetap tertunduk urung
memandang lurus ke depan. Tidakkah kau menyadarinya?
“Earth, kau yakin?” tanyaku. Kau mengangguk, lalu
masih dengan tertunduk melangkah mendekati gadis kecil itu.
“Kau yakin ingin melepaskan matamu? Kau akan mati,
monster kecil.” katamu. Seketika kau meraih pundak gadis kecil itu, lalu
berlutut, menatap matanya dalam. Kau pasti tak menyadari bahwa saat
melakunannya, rambut hitam licinmu mulai mengering dan memutih dari pangkal.
Aku sadar tatapan itu akan membuatmu kering tak sampai lima menit lagi, lalu
meledak hingga bersatu dengan partikel O2 dalam jurang yang gelap ini.
Aku melesat tak tertahan oleh dorongan-dorongan
magis dari lubang Tuhan dalam jiwaku. Kedua tanganku mencengkeram kuat pada
kelopak mata gadis kecil itu hingga bola matanya tercabut sempurna. Aku
merasakan panas yang amat sangat pada telapak tanganku, lalu dengan segera
mendekatkannya ke mataku. Mata itu memancarkan sinar merah delima hingga
akhirnya melebur. Aku mendapatkan bola mata baru dengan warna hijau yang indah.
Eyes of the Vecna.
Legenda mengatakan mata Vecna dapat membunuh atau
mengembalikan jiwa-jiwa yang masih melayang di awang-awang, namun belum
menginjak perbatasan dunia dengan akhirat. Kukira kau masih memiliki sedikit
napas, hingga aku membayangkan kau kembali seperti semula. Sinar bulat biru
memelukmu dalam cahanya. Dan berhasil, tentu saja. Kau hidup.
“Jac, terimakasih.” Katamu, “Kumohon bawa kembali
jiwa Nathan ke tubuhnya.”
“Jangan berbasa-basi. Lebih baik kita lakukan
sekarang juga!”
Kemudian aku membawamu melesat sangat cepat dengan
mengendarai angin. Kali ini kau di belakangku, menggenggam erat jam pasir yang
tinggal sejumput kecil.
Saat tiba di gubuk yang dipenuhi ilalang di lembah Mississippi,
butiran pasir mungkin hanya tinggal sepersepuluh dari sejumput tadi. Aku segera
membayangkan tubuh Nathan yang terbaring dengan kulit yang lebih pucat kembali
mendapatkan jiwanya. Dan dia kembali hidup dengan terbatuk-batuk. Pacarmu
kembali, Earth.
Kukatakan padamu bahwa sekarang aku tak layak berada
di sini. Aku akan membunuh sangat banyak jika tak menyembunyikan mataku.
Kukatakan padamu, sekarang tempatku adalah jurang magnet yang gelap, ditemani
monster kerdil yang akan segera kukembalikan ke masa ini.
Aku menjadi makhluk terkutuk dengan ‘gurauan’ Eyes of the Vecna.
---
Rifa-