Senin, 28 Oktober 2013

Sendang Jodo



Gemerlap neon-neon terang menyinari seisi pasar malam di bawah naungan mendung. Angin malam berembus dingin di tengah lapangan rumput yang kini disulap menjadi tempat hiburan murah meriah untuk wong ndeso[1]. Sekarang bulan Mei. Itu artinya rombongan pasar malam yang menjadi gantungan nasibku ini sedang singgah mencari peruntungan di desa Bae, Kudus hingga dua minggu kedepan. Lelah rasanya setelah dua hari nyaris tak tidur demi memasang kerangka komedi putar, kincir angin dan permainan lainnya. Hanya ada tujuh
laki-laki dan tigabelas perempuan dalam kelompok kami. Dan sialnya aku salah satu laki-laki di antara mereka.
Malam ini tak terlalu ramai. Mungkin karena ini malam pertama kami berada di sini. Jadi kurasa belum banyak yang tau. Hanya ada belasan pengunjung yang datang untuk sekedar melihat-lihat. Beberapa malah hanya mencari suasana romantis demi bersama pasangan. Aku memperhatikan sekelompok pengunjung dengan rok abu-abu selutut yang sedari tadi memilah dan memilih aksesoris murah di kios seberang. Mereka adalah anak SMA yang kurasa memang suka berpergian –jika tak mau disebut berkeliaran- hingga malam dengan masih membawa identitas sekolah mereka. Oh, otakku mulai berpikir macam-macam.
Kios VCD bajakan yang kutunggui sepi. Belum ada satu pun pengunjung yang berminat untuk sekedar singgah. Musik dangdut yang kuputar keras-keras juga tak mampu menarik minat mereka untuk mendekat. Dan aku lelah. Sejenak kubaringkan punggungku yang sedikit bungkuk. Nasib yang membentuk lekuk bungkuknya. Rasanya sakit dan mengganjal.
“Ada VCD-nya Syahrini gak, mas bro?” tanya seorang laki-laki.
Akhirnya, batinku. Aku segera bangkit dan mencari VCD yang dimaksud.
“Ini mas?”
“Iya. Berapa duit?”
“5 ribu saja.”
Segera 5 lembar seribu rupiah berpindah ke tanganku. Laki-laki kurus itu hampir saja berbalik sebelum ia menanyakan sesuatu.
“Sudah dibancai[2] mas?” tanyanya dengan dhialeg Kudus kental. Seketika dahiku membentuk kerutan-kerutan tanda tak mengerti. “Anu, itu lho.. biasanya sebelum pasar malam dimulai kan ada bancaan[3] di sendang. Kok tadi sore sendang masih sepi saja?” lanjutnya.
Aku terdiam dan laki-laki itu menyerah.
Sebenarnya memang kami sengaja tidak mengadakan bancaan  sebagai tanda ‘permisi’ pada penghuni sendang yang dimaksud. Alasannya, selain kepercayaan seperti itu sudah dianggap kuno dan tidak rasional juga karena keterbatasan dana yang kelompok kami miliki untuk menjamu warga sekitar sendang.
***
Tangi, nang. Wis Subuh kae lho. Ndang ngangsu banyu ning sendang[4.]” ketua kelompok yang kupanggil Pak Dhe membangunkanku yang tertidur pulas di atas lincak kayu depan kiosku.
Nggih[5], Pak Dhe..” kataku beranjak. Kubangunkan tiga rekanku yang lain untuk ikut ngangsu[6] ke Sendang Jodo[7] di desa Purworejo berjarak satu kilometer ke selatan dari lokasi kami. Dengan songkro[8] kami membawa lima drigen besar sekaligus untuk menampung air sendang untuk kebutuhan kelompok kami.
Pagi masih remang. Kami berjalan melewati kebun tebu yang baru saja dipanen. Harum rerumputan yang berembun berpadu dengan aroma tebu manis yang membangunkan barisan semut hitam terendus samar oleh hidungku. Langit pagi pun terbentang luas dengan kemilau tabur bintang yang masih berkedip tak meredup. Alam memberi firasat baik untuk pagi ini. Semoga.
***
Dua puluh menit berjalan, kami sampai di gapura sendang yang gelap dan lembab. Pagarnya bercat putih kusam dengan lumut hijau yang tumbuh subur sana sini. Aku memimpin ketiga rekanku dengan bekal senter dari raket nyamuk yang kubawa. Banyak pohon jambe, bambu dan juwet di sini. Masih sama seperti lima tahun hingga setahun lalu ketika kelompok kami pertama kali mencari peruntungan di lapangan rumput yang sama. Sendang inilah yang mencukupi kebutuhan air gratis kami selama di Kudus. Untuk urusan mandi, perempuan di kelompok kami bisa menumpang mandi di masjid terdekat. Laki-laki tak terlalu memikirkan untuk urusan itu. Aku bahkan bisa saja seminggu hidup tanpa mandi. Namun untuk hari ini kami akan membersihkan diri dengan air sendang yang jernih ini.
Mas, adus ndhisik kana. Aku tak ngisi drigen[9].” kataku pada ketiga rekanku yang masih tampak kelelahan.
Drigen ketigaku telah terisi penuh ketika mas Jefri berteriak kesakitan yang kemudian disusul suara riak air yang tak biasa dari saluran air yang mengarah ke luar pagar sendang, beberapa puluh meter di belakangku. Beberapa detik kemudian suara riak air yang sama kembali terdengar bersamaan dengan teriakan histeris dari mas Dewa dan mas Andri. Segera aku berlari dan mendapati mas Jefri tengah ditarik oleh mas Dewa ke pinggir saluran air. Dia tampak menggigil. Bibirnya kian memucat sebelum kemudian membiru semu. Dan tak lama kemudian hening. Suara gagak membahana entah dari pijakan ranting  yang mana. Yang aku tau mas Jefri berakhir saat itu juga.
***
“Kok bisa sih?” si gadis berbadan subur kepada dua rekannya. Yang satu kurus, yang satu lagi tampak berpenampilan urakan.
“Katanya sih mereka tidak percaya kalau Sendang Jodo ada yang menjaga. Seharusnya mereka kan bancaan dulu sebagai tanda permisi pada penghuni sendang supaya hajat mereka lancar. Sekarang begini kan jadinya.. Penghuni Sendang Jodo minta tumbal salah satu dari mereka.” yang kurus menjelaskan.
“Eh, bukan salah satu kok. Tuh dua temannya masih ‘ketempelan’.” sahut yang satunya lagi dengan penekanan di akhir.
“Ehem!” aku sengaja berdehem keras ketika mendengar selentingan dari ketiganya tak jauh dari kios VCD-ku yang tertutup.  Menurutku hal seperti itu tak seharusnya diperbincangkan. Kematian mas Jefri tentu saja sudah digariskan Tuhan. Bukan karena ulah penghuni sendang yang minta tumbal! Apalagi gadis berpenampilan urakan itu bilang bahwa dua temanku yang lain ‘ketempelan’. Mereka hanya trauma!
Kami semua membatalkan rencana untuk menetap selama dua minggu di Kudus dan kembali ke Jepara. Sehari setelah kematian mas Jefri, kami –kecuali mas Dewa dan mas Andri yang masih dalam keadaan trance karena trauma atau yang lain, mungkin- membongkar apa saja yang sudah dengan susah payah kami dirikan.
***
Beberapa minggu setelahnya..
Asap rokok kretek yang kuborong dari pabrik rokok rumahan beberapa minggu lalu itu kumainkan membentuk bulatan-bulatan putih yang terlihat seperti bulatan di atas kepala malaikat yang pernah kulihat di TV. Aku kembali ke kota Kretek untuk melakukan sesuatu yang –sebenarnya- hingga sekarang belum juga tergambar dalam otakku.
Kini surup sedang menjingga. Aku terus memandangi mentari yang tak sanggup kembali memuda untuk sekedar mengulang atau memperlambat tahta senja untuk terganti tahta rembulan. Siluet Menara Masjid Agung Kudus menghalagi pupil mataku menangkap skema yang seharusnya berbentuk bulatan penuh seperti jeruk.
Segerombol remaja keluar dari gerbang pendopo kabupaten yang terletak tepat di seberang jalan tempatku duduk sekarang. Ada satu orang yang tampaknya tak asing di mataku. Ah, ya! Dia salah satu dari sekelompok remaja berseragam SMA yang kulihat waktu itu. Dan sekarang dia menoleh ke arahku seolah tau aku memperhatikannya. Sepertinya dia tersenyum padaku, atau mataku ini yang sudah membutuhkan kacamata minus? Ternyata tidak. Dia melambai, kemudian menyeberang dan berjalan ke arahku. Aku diam, bingung.
“Mas temannya yang meninggal di sendang kan?”
“Apa urusan sampeyan?”
“Saya tau mas di pasar malam waktu itu. Saya juga tau mas sempat berpikir macam-macam tentang saya dan teman-teman saya.” gadis itu kembali tersenyum. Senyum kemenangan. Aku malu namun berusaha untuk tak tersipu. “Perkenalkan, saya Vita.”
“Panggil saja..” oh, hey. Gadis ini pasti sudah tau siapa namaku. “Panggil saja Andra.” kataku tak berminat.
Perbincangan singkat dengan gadis itu membawa pikiranku ke suatu hal.
***
Pagi beranjak siang. Dari bawah pohon juwet yang teduh aku dapat melihat seluruh penjuru area sendang yang dibatasi pagar bata berlumut. Udara terasa lembab bercampur dengan aroma kotoran codot yang khas. Mungkin jika satu jam lagi saja seseorang yang dijanjikan gadis itu tidak segera datang, aku akan terkena anemia karena gigitan nyamuk dan sesak napas karena aroma limbah codot yang menusuk. Untung saja Pak Karman datang 20 menit lewat dari waktu yang Vita janjikan. Pak Karman datang lengkap dengan cangkul dan capingnya. Tampak sangat tak meyakinkan ketika kulihat raut wajahnya.
“Maaf lama menunggu. Bapak baru saja matun[10] di sawah.”
“Oh, tidak masalah, pak.”
“Bagaimana temanmu?”
“Sepertinya bapak lebih mengerti bagaimana keadaannya. Bagaimana? Bapak bisa bantu?”
“Asal kamu tau, bapak bukan paranormal. Bapak hanya ingin berusaha membantu sampeyan.”
“Lalu bagaimana?”
“Bawa temanmu kemari sore ini juga. Sudah, bapak mau melanjutkan matun di belakang sendang. Ingat. Sore ini ketika matahari separuh terbenam.”
***
Gerimis mengalun ritmik. Mas Dewa dan Mas Andri duduk bergeming. Mata mereka menatap tanpa arah, kosong dan sendu. Ada Mbak Dewi di antaranya.
“Kamu lihat apa yang mereka lihat.” kata Pak Karman.
“Tapi mereka hanya memandang lurus ke depan. Tanpa arti, Pak.”
“Saya tidak akan melakukan apa pun jika kamu tidak melakukan apa pun. Pejamkan matamu. Coba pikirkan apa yang mereka lihat. Buyarkan saja konsentrasi mereka.”
***
Suara musik gamelan datang dari panggung kecil dengan cahaya yang remang. Hanya panggung itu yang berpendar. Seperti ada pesta di sana. Padahal tempat di sekelilingnya gelap gulita. Aku melangkah mendekat. Ada tiga penembang dan sekelompok penabuh gamelan di atas panggung. Selain itu, sosok yang cukup ku kenal ada di sana. Mas Jefri, berdiri dan bergeming.
Di bawah panggung hanya ada dua penonton yang menikmati pertunjukan. Mas Dewa dan Mas Andri terlihat menari kecil diiringi musik gamelan dan tembang jawa. Atmosfer sekitar panggung pertunjukan terasa begitu mistis bagiku.
Mas, lapo ning kene?[11]” kataku, menepuk pundak mereka berdua. Namun tak satu pun di antara mereka menyadari keberadaanku.
Kutujukan pandanganku ke atas panggung. Mas Jefri masih bergeming di antara ketiga sinden itu. Mereka masih asyik bernyanyi ketika aku menyadari bahwa belasan  penabuh gamelan di belakangnya memandang tajam ke arahku tanpa menghentikan permainannya.
“Mas, ayo pulang.” kataku lagi. Mereka masih tak menyadari keberadaanku. Aku makin merasa banyak pasang mata yang mengawasiku dari delapan penjuru. Sedetik kemudian aku benar-benar menyadari dua dari sinden itu pun melihat ke arahku dan tersenyum. Seketika musik berhenti. Pagelaran berakhir. Mas Dewa dan Mas Andri terlepas dari pesona tetembang jawa yang memikat. Mereka mulai menyadari keberadaanku. Raut mereka tampak kebingungan ketika berusaha memanggilku, namun suara mereka bahkan tak terdengar oleh telinga mereka sendiri.
Panggung mulai meredup. Hanya satu sinden yang terkena sorot mata purnama. Dia mulai menyanyi. Bukan. Bukan tembang durma seperti yang banyak diyakini mengundang makhluk astral yang terdengar.
Mingkar mingkuring angkara
Akarana karnaning mardi siwi
Sinawung resmining kidung
Sinuga sinukaton
Mrih kerkarto, pakartining ngelmu luhur
Kang tumrap ing tanah jawi
Agama ageming aji[12]
Sinden itu terus mengulang tembang pangkur yang dinyanyikan dengan nada yang mendayu. Aku bahkan nyaris terhipnotis. Atau sudah? Entah.
“Pahami itu, anak muda.” Katanya tiba-tiba. “Aku tau tujuanmu kemari. Kami akan memulangkan dua temanmu apabila mereka sudah menyadari apa yang telah mereka lakukan di tempat ini. Ingatkan untuk sopan dengan kesopanan.”
“Apa maksudnya?”
“Aku yakin pemuda bukan orang bodoh. Sadarkan mereka atau kami akan terus menyanyi di hadapan mereka.” Aku mengangguk.
Aku mencoba berbicara dengan mereka. Mereka tampak mengerti, namun tak mampu membalas perkataanku.
“Renungkan, mas,” kataku. “Renungkan apa saja yang telah kalian lakukan di sini. Sadari kesalahan, apa pun itu. Temukan hati kalian yang akan membawa kalian kembali ke tempat yang seharusnya. Lakukan. Lakukan!” mereka balas mengangguk.
Perlahan panggung benar-benar meredup lalu menghilang. Aku tak dapat melihat apa pun kecuali riak-riak air sendang yang berkilau terbelai pendar purnama. Tubuhku dingin terendam air sebatas dada. Sekarang tempat ini benar-benar sunyi. Panggung yang beberapa waktu lalu berpendar remang pun entah hilang kemana. Suara musik gamelan dan sinden yang tadinya menciptakan harmoni mendayu pun lenyap sirna terganti dengan kukukan burung hantu. Semua orang meninggalkanku di sini. Entah sampai kapan…
***

Catatan kaki:
1.      Orang desa.
2.      Disyukuri.
3.      Syukuran.
4.      “Bangun, nak. Sudah subuh itu lho. Cepat ambil air di sendang.”
5.      Iya.
6.      Menggambil air.
7.      Sendang(danau kecil) yang ada di desa Purworejo, Bae.
8.      Kendaraan serupa gerobak kecil yang ditarik manusia. Biasanya untuk mengangkut pasir, air atau apa saja untuk kebutuhan sehari-hari.
9.      “Mas, mandi dulu sana. biar aku mengisi drigen.”
10.  Mencabuti rumput atau gulma yang tumbuh di antara tanaman petani.
11.  Mas, kenapa di sini?
12.  Tembang Pangkur, salah satu tembang macapat yang menunjukkan keluhuran tingkah laku yang ada di tanah Jawa.

Dalam Antologi Cerpen Bulan Sembilan, FLP Kudus 2012