Gemerlap neon-neon terang menyinari seisi pasar
malam di bawah naungan mendung. Angin malam berembus dingin di tengah lapangan rumput
yang kini disulap menjadi tempat hiburan murah meriah untuk wong ndeso[1]. Sekarang bulan Mei. Itu
artinya rombongan pasar malam yang menjadi gantungan nasibku ini sedang singgah
mencari peruntungan di desa Bae, Kudus hingga dua minggu kedepan. Lelah rasanya
setelah dua hari nyaris tak tidur demi memasang kerangka komedi putar, kincir
angin dan permainan lainnya. Hanya ada tujuh
laki-laki dan tigabelas perempuan dalam kelompok kami. Dan sialnya aku salah satu laki-laki di antara mereka.
laki-laki dan tigabelas perempuan dalam kelompok kami. Dan sialnya aku salah satu laki-laki di antara mereka.
Malam ini tak terlalu ramai. Mungkin karena ini
malam pertama kami berada di sini. Jadi kurasa belum banyak yang tau. Hanya ada
belasan pengunjung yang datang untuk sekedar melihat-lihat. Beberapa malah
hanya mencari suasana romantis demi bersama pasangan. Aku memperhatikan
sekelompok pengunjung dengan rok abu-abu selutut yang sedari tadi memilah dan
memilih aksesoris murah di kios seberang. Mereka adalah anak SMA yang kurasa
memang suka berpergian –jika tak mau disebut berkeliaran- hingga malam dengan
masih membawa identitas sekolah mereka. Oh, otakku mulai berpikir macam-macam.
Kios VCD bajakan yang kutunggui sepi. Belum ada satu
pun pengunjung yang berminat untuk sekedar singgah. Musik dangdut yang kuputar
keras-keras juga tak mampu menarik minat mereka untuk mendekat. Dan aku lelah.
Sejenak kubaringkan punggungku yang sedikit bungkuk. Nasib yang membentuk lekuk
bungkuknya. Rasanya sakit dan mengganjal.
“Ada VCD-nya Syahrini gak, mas bro?” tanya seorang
laki-laki.
Akhirnya, batinku. Aku segera bangkit dan mencari VCD
yang dimaksud.
“Ini mas?”
“Iya. Berapa duit?”
“5 ribu saja.”
Segera 5 lembar seribu rupiah berpindah ke tanganku.
Laki-laki kurus itu hampir saja berbalik sebelum ia menanyakan sesuatu.
“Sudah dibancai[2]
mas?” tanyanya dengan dhialeg Kudus kental. Seketika dahiku membentuk
kerutan-kerutan tanda tak mengerti. “Anu, itu lho.. biasanya sebelum pasar
malam dimulai kan ada bancaan[3] di
sendang. Kok tadi sore sendang masih sepi saja?” lanjutnya.
Aku terdiam dan laki-laki itu menyerah.
Sebenarnya memang kami sengaja tidak mengadakan bancaan sebagai tanda ‘permisi’ pada penghuni sendang
yang dimaksud. Alasannya, selain kepercayaan seperti itu sudah dianggap kuno
dan tidak rasional juga karena keterbatasan dana yang kelompok kami miliki
untuk menjamu warga sekitar sendang.
***
“Tangi, nang.
Wis Subuh kae lho. Ndang ngangsu
banyu ning sendang[4.]” ketua kelompok yang kupanggil Pak Dhe
membangunkanku yang tertidur pulas di atas lincak
kayu depan kiosku.
“Nggih[5],
Pak Dhe..” kataku beranjak. Kubangunkan tiga rekanku yang lain untuk ikut ngangsu[6] ke Sendang Jodo[7] di desa Purworejo berjarak satu kilometer ke
selatan dari lokasi kami. Dengan songkro[8]
kami membawa lima drigen besar sekaligus untuk menampung air sendang untuk
kebutuhan kelompok kami.
Pagi masih remang. Kami berjalan melewati kebun tebu
yang baru saja dipanen. Harum rerumputan yang berembun berpadu dengan aroma
tebu manis yang membangunkan barisan semut hitam terendus samar oleh hidungku. Langit
pagi pun terbentang luas dengan kemilau tabur bintang yang masih berkedip tak
meredup. Alam memberi firasat baik untuk pagi ini. Semoga.
***
Dua puluh menit berjalan, kami sampai di gapura
sendang yang gelap dan lembab. Pagarnya bercat putih kusam dengan lumut hijau
yang tumbuh subur sana sini. Aku memimpin ketiga rekanku dengan bekal senter
dari raket nyamuk yang kubawa. Banyak pohon jambe, bambu dan juwet di sini.
Masih sama seperti lima tahun hingga setahun lalu ketika kelompok kami pertama
kali mencari peruntungan di lapangan rumput yang sama. Sendang inilah yang
mencukupi kebutuhan air gratis kami selama di Kudus. Untuk urusan mandi,
perempuan di kelompok kami bisa menumpang mandi di masjid terdekat. Laki-laki
tak terlalu memikirkan untuk urusan itu. Aku bahkan bisa saja seminggu hidup
tanpa mandi. Namun untuk hari ini kami akan membersihkan diri dengan air
sendang yang jernih ini.
“Mas, adus
ndhisik kana. Aku tak ngisi drigen[9].” kataku pada ketiga rekanku yang
masih tampak kelelahan.
Drigen ketigaku telah terisi penuh ketika mas Jefri
berteriak kesakitan yang kemudian disusul suara riak air yang tak biasa dari
saluran air yang mengarah ke luar pagar sendang, beberapa puluh meter di
belakangku. Beberapa detik kemudian suara riak air yang sama kembali terdengar
bersamaan dengan teriakan histeris dari mas Dewa dan mas Andri. Segera aku
berlari dan mendapati mas Jefri tengah ditarik oleh mas Dewa ke pinggir saluran
air. Dia tampak menggigil. Bibirnya kian memucat sebelum kemudian membiru semu.
Dan tak lama kemudian hening. Suara gagak membahana entah dari pijakan ranting yang mana. Yang aku tau mas Jefri berakhir
saat itu juga.
***
“Kok bisa sih?” si gadis berbadan subur kepada dua
rekannya. Yang satu kurus, yang satu lagi tampak berpenampilan urakan.
“Katanya sih mereka tidak percaya kalau Sendang Jodo
ada yang menjaga. Seharusnya mereka kan bancaan dulu sebagai tanda permisi pada
penghuni sendang supaya hajat mereka lancar. Sekarang begini kan jadinya..
Penghuni Sendang Jodo minta tumbal salah satu dari mereka.” yang kurus
menjelaskan.
“Eh, bukan salah satu kok. Tuh dua temannya masih ‘ketempelan’.”
sahut yang satunya lagi dengan penekanan di akhir.
“Ehem!” aku sengaja berdehem keras ketika mendengar
selentingan dari ketiganya tak jauh dari kios VCD-ku yang tertutup. Menurutku hal seperti itu tak seharusnya
diperbincangkan. Kematian mas Jefri tentu saja sudah digariskan Tuhan. Bukan
karena ulah penghuni sendang yang minta tumbal! Apalagi gadis berpenampilan
urakan itu bilang bahwa dua temanku yang lain ‘ketempelan’. Mereka hanya trauma!
Kami semua membatalkan rencana untuk menetap selama
dua minggu di Kudus dan kembali ke Jepara. Sehari setelah kematian mas Jefri,
kami –kecuali mas Dewa dan mas Andri yang masih dalam keadaan trance karena trauma atau yang lain,
mungkin- membongkar apa saja yang sudah dengan susah payah kami dirikan.
***
Beberapa minggu
setelahnya..
Asap rokok kretek yang kuborong dari pabrik rokok
rumahan beberapa minggu lalu itu kumainkan membentuk bulatan-bulatan putih yang
terlihat seperti bulatan di atas kepala malaikat yang pernah kulihat di TV. Aku
kembali ke kota Kretek untuk melakukan sesuatu yang –sebenarnya- hingga
sekarang belum juga tergambar dalam otakku.
Kini surup sedang menjingga. Aku terus memandangi
mentari yang tak sanggup kembali memuda untuk sekedar mengulang atau
memperlambat tahta senja untuk terganti tahta rembulan. Siluet Menara Masjid
Agung Kudus menghalagi pupil mataku menangkap skema yang seharusnya berbentuk
bulatan penuh seperti jeruk.
Segerombol remaja keluar dari gerbang pendopo
kabupaten yang terletak tepat di seberang jalan tempatku duduk sekarang. Ada
satu orang yang tampaknya tak asing di mataku. Ah, ya! Dia salah satu dari
sekelompok remaja berseragam SMA yang kulihat waktu itu. Dan sekarang dia
menoleh ke arahku seolah tau aku memperhatikannya. Sepertinya dia tersenyum
padaku, atau mataku ini yang sudah membutuhkan kacamata minus? Ternyata tidak.
Dia melambai, kemudian menyeberang dan berjalan ke arahku. Aku diam, bingung.
“Mas temannya yang meninggal di sendang kan?”
“Apa urusan sampeyan?”
“Saya tau mas di pasar malam waktu itu. Saya juga
tau mas sempat berpikir macam-macam tentang saya dan teman-teman saya.” gadis
itu kembali tersenyum. Senyum kemenangan. Aku malu namun berusaha untuk tak
tersipu. “Perkenalkan, saya Vita.”
“Panggil saja..” oh, hey. Gadis ini pasti sudah tau
siapa namaku. “Panggil saja Andra.” kataku tak berminat.
…
Perbincangan singkat dengan gadis itu membawa
pikiranku ke suatu hal.
***
Pagi beranjak siang. Dari bawah pohon juwet yang
teduh aku dapat melihat seluruh penjuru area sendang yang dibatasi pagar bata
berlumut. Udara terasa lembab bercampur dengan aroma kotoran codot yang khas.
Mungkin jika satu jam lagi saja seseorang yang dijanjikan gadis itu tidak
segera datang, aku akan terkena anemia karena gigitan nyamuk dan sesak napas
karena aroma limbah codot yang menusuk. Untung saja Pak Karman datang 20 menit lewat
dari waktu yang Vita janjikan. Pak Karman datang lengkap dengan cangkul dan capingnya.
Tampak sangat tak meyakinkan ketika kulihat raut wajahnya.
“Maaf lama menunggu. Bapak baru saja matun[10] di sawah.”
“Oh, tidak masalah, pak.”
“Bagaimana temanmu?”
“Sepertinya bapak lebih mengerti bagaimana
keadaannya. Bagaimana? Bapak bisa bantu?”
“Asal kamu tau, bapak bukan paranormal. Bapak hanya
ingin berusaha membantu sampeyan.”
“Lalu bagaimana?”
“Bawa temanmu kemari sore ini juga. Sudah, bapak mau
melanjutkan matun di belakang sendang. Ingat. Sore ini ketika matahari separuh
terbenam.”
***
Gerimis mengalun ritmik. Mas Dewa dan Mas Andri
duduk bergeming. Mata mereka menatap tanpa arah, kosong dan sendu. Ada Mbak
Dewi di antaranya.
“Kamu lihat apa yang mereka lihat.” kata Pak Karman.
“Tapi mereka hanya memandang lurus ke depan. Tanpa
arti, Pak.”
“Saya tidak akan melakukan apa pun jika kamu tidak
melakukan apa pun. Pejamkan matamu. Coba pikirkan apa yang mereka lihat.
Buyarkan saja konsentrasi mereka.”
***
Suara musik gamelan datang dari panggung kecil
dengan cahaya yang remang. Hanya panggung itu yang berpendar. Seperti ada pesta
di sana. Padahal tempat di sekelilingnya gelap gulita. Aku melangkah mendekat. Ada
tiga penembang dan sekelompok penabuh gamelan di atas panggung. Selain itu,
sosok yang cukup ku kenal ada di sana. Mas Jefri, berdiri dan bergeming.
Di bawah panggung hanya ada dua penonton yang
menikmati pertunjukan. Mas Dewa dan Mas Andri terlihat menari kecil diiringi
musik gamelan dan tembang jawa. Atmosfer sekitar panggung pertunjukan terasa
begitu mistis bagiku.
“Mas, lapo
ning kene?[11]” kataku, menepuk pundak mereka berdua. Namun tak satu pun di
antara mereka menyadari keberadaanku.
Kutujukan pandanganku ke atas panggung. Mas Jefri
masih bergeming di antara ketiga sinden itu. Mereka masih asyik bernyanyi
ketika aku menyadari bahwa belasan
penabuh gamelan di belakangnya memandang tajam ke arahku tanpa
menghentikan permainannya.
“Mas, ayo pulang.” kataku lagi. Mereka masih tak
menyadari keberadaanku. Aku makin merasa banyak pasang mata yang mengawasiku
dari delapan penjuru. Sedetik kemudian aku benar-benar menyadari dua dari
sinden itu pun melihat ke arahku dan tersenyum. Seketika musik berhenti.
Pagelaran berakhir. Mas Dewa dan Mas Andri terlepas dari pesona tetembang jawa
yang memikat. Mereka mulai menyadari keberadaanku. Raut mereka tampak
kebingungan ketika berusaha memanggilku, namun suara mereka bahkan tak
terdengar oleh telinga mereka sendiri.
Panggung mulai meredup. Hanya satu sinden yang
terkena sorot mata purnama. Dia mulai menyanyi. Bukan. Bukan tembang durma
seperti yang banyak diyakini mengundang makhluk astral yang terdengar.
Mingkar
mingkuring angkara
Akarana
karnaning mardi siwi
Sinawung
resmining kidung
Sinuga sinukaton
Mrih kerkarto,
pakartining ngelmu luhur
Kang tumrap ing
tanah jawi
Agama ageming
aji[12]
Sinden itu terus mengulang tembang pangkur yang
dinyanyikan dengan nada yang mendayu. Aku bahkan nyaris terhipnotis. Atau
sudah? Entah.
“Pahami itu, anak muda.” Katanya tiba-tiba. “Aku tau
tujuanmu kemari. Kami akan memulangkan dua temanmu apabila mereka sudah
menyadari apa yang telah mereka lakukan di tempat ini. Ingatkan untuk sopan
dengan kesopanan.”
“Apa maksudnya?”
“Aku yakin pemuda bukan orang bodoh. Sadarkan mereka
atau kami akan terus menyanyi di hadapan mereka.” Aku mengangguk.
Aku mencoba berbicara dengan mereka. Mereka tampak
mengerti, namun tak mampu membalas perkataanku.
“Renungkan, mas,” kataku. “Renungkan apa saja yang
telah kalian lakukan di sini. Sadari kesalahan, apa pun itu. Temukan hati
kalian yang akan membawa kalian kembali ke tempat yang seharusnya. Lakukan.
Lakukan!” mereka balas mengangguk.
Perlahan panggung benar-benar meredup lalu
menghilang. Aku tak dapat melihat apa pun kecuali riak-riak air sendang yang
berkilau terbelai pendar purnama. Tubuhku dingin terendam air sebatas dada. Sekarang
tempat ini benar-benar sunyi. Panggung yang beberapa waktu lalu berpendar
remang pun entah hilang kemana. Suara musik gamelan dan sinden yang tadinya
menciptakan harmoni mendayu pun lenyap sirna terganti dengan kukukan burung
hantu. Semua orang meninggalkanku di sini. Entah sampai kapan…
***
Catatan kaki:
1. Orang
desa.
2. Disyukuri.
3. Syukuran.
4. “Bangun,
nak. Sudah subuh itu lho. Cepat ambil air di sendang.”
5. Iya.
6. Menggambil
air.
7. Sendang(danau
kecil) yang ada di desa Purworejo, Bae.
8. Kendaraan
serupa gerobak kecil yang ditarik manusia. Biasanya untuk mengangkut pasir, air
atau apa saja untuk kebutuhan sehari-hari.
9. “Mas,
mandi dulu sana. biar aku mengisi drigen.”
10. Mencabuti
rumput atau gulma yang tumbuh di antara tanaman petani.
11. Mas,
kenapa di sini?
12. Tembang
Pangkur, salah satu tembang macapat yang menunjukkan keluhuran tingkah laku
yang ada di tanah Jawa.
Dalam Antologi Cerpen Bulan Sembilan, FLP Kudus 2012