Selasa, 31 Desember 2013

Blind in Love


24 Desember, 05.45 sore.

“Na, kamu yang foto kopi ini ya! Please.. Aku udah ditunggu Dika di depan kampus.” suara Tami memelas. Aku tersenyum mengangguk.
Kudengar langkahnya terburu-buru menuruni anak tangga dengan tidak sabar. Aku lebih memilih untuk berjalan perlahan, merasakan dinginnya pegangan tangga yang bagiku sangat menyenangkan. Ketika kakiku sudah menginjak anak tangga terakhir, suara hujan terdengar tenang. Tak ada lagi orang yang berlalu lalang di kampus setelah jam lima lewat.
Aku menunggu dengan hikmat hingga hujan berhenti sebelum aku dapat kembali ke kamar kosku. Aku selalu lupa membawa payung. Padahal cuaca Desember sangat tidak dapat ditebak, seperti hari ini.
Di saat sedang sendirian seperti ini kadang aku membayangkan betapa bahagianya mereka yang memiliki kekasih. Aku, hingga sembilan belas usiaku sekarang sama sekali belum pernah memiliki seorang kekasih. Ya, walaupun aku pernah sekali jatuh cinta, aku tidak pernah bisa mengungkapkan perasaanku. Padahal, kata ibuku aku tak kalah cantik dari artis pemain FTV.
Aku jatuh cinta pada teman sekelasku semasa kelas sepuluh . Kudengar sekarang ia kuliah di kota yang sama denganku, tapi aku tak tau di mana. Sering kali aku merasa mendengar suaranya tengah berbicara dengan seseorang. Tapi ketika kutengok kesana-kemari aku tidak dapat menemukannya. Mungkin aku masih jatuh cinta dengannya hingga aku berharap mendengar suaranya di tempat yang tidak mungkin.
Aku mengenalnya sebagai Pandu. Menurut teman-temanku dulu, ia sangat tampan dengan wajah arab dan mata hijaunya yang jernih. Ia selalu menjadi perbincangan selruh anak gadis di sekolah. Wajahnya seperti Aaron Ashab, artis Youtube idola kebanyakan gadis. Tapi aku tidak memedulikan bagaimana parasnya. Mulanya, aku menyukainya dari caranya memperlakukanku, ya walaupun sama seperti teman-teman lainnya. Kemudian aku mencintainya karena.. ah, aku tak dapat menemukan alasan kenapa aku mencintainya. Aku hanya tau bahwa aku mencintainya sudah sejak lama.
--
Aku pernah mengenal seorang gadis lugu yang rambutnya beraroma apel. Aku masih mengingat aromanya bahkan setelah 3 tahun berlalu. Aku mengenalnya dengan nama Viana. Gadis istimewa yang selalu kuikuti kabar beritanya. Hampir setiap hari aku menyempatkan diri ke gedung tempatnya berkuliah. Kami memang satu universtitas. Gedung kuliahku hanya terletak 3 blok dari gedung kuliahnya. Aku senang mengawasi dalam diam.
Entah kenapa aku menyimpan kekaguman yang tak dapat dijelaskan. Sudah sejak lama aku menaruh hati padanya. Kusimpan apa yang kurasakan pada ruang-ruang hampa dalam tubuhku. Kusimpan namanya di setiap sudut. Dalam diam aku mencintainya, takut ia malah menghindar ketika tau aku di sekitarnya, mengawasinya.
Sudah lebih dua jam aku menunggu Viana di lantai bawah. Hujan sudah turun sedari tadi, menari-nari di bawah langit yang kian kehilangan rona. Kulihat Viana baru saja menyelesaikan pijakan tangganya yang terakhir. Ia berdiri bersandar pada tiang yang kokoh. Pandangannya seakan menerawang ke tengah hujan. Aku selalu merasa lega ketika melihatnya baik-baik saja setelah melewati satu hari. Aku tau kenapa ia tak segera meninggalkan kampus. Ia pasti lupa membawa payung. Tapi aku tidak memiliki keberanian untuk mengganggu lamunnya, menghampiri dan menawarkan diri mengantarnya pulang.
Tiga puluh menit berlalu, dan hujan tak kunjung reda. Aku melihat Viana mulai gelisah. Tangannya menjulur, memeriksa seberapa dingin air hujan yang menyentuh kulitnya. Ah, hujan Desember kejam sekali ingin membasahi tubuh gadis secantik Viana.
Viana dengan ragu melangkahkan kakinya menerjang hujan. Mungkin ia sudah tidak sabar menanti hujan berhenti. Sedangkan aku, kaku melihat caranya melangkah. Tangannya sesekali membetulkan letak poni yang mulai basah dikecup hujan. Aku hanya berani memperhatikannya dari jauh, hingga ia menghilang di ujung jalan.
--
Aku berdiri menunggu hujan sudah cukup lama. Hari mulai gelap. Jadi aku memutuskan untuk merelakan tubuhku diguyur hujan yang membuatku gigil. Ketika aku menyelesaikan enam-tujuh langkah, aku merasakan air hujan mulai mengepung jari-jari kakiu di dalam flat shoes. Aku senang menghitung seberapa banyak aku melangkah sebelum sampai belokan yang mengarah ke tempat kosku. Aku tidak sabar untuk sampai di kos, mengeringkan tubuh dan berbaring di kamarku yang nyaman. Aku berjalan lebih cepat agar tidak semakim menggigil. Aku tidak suka jika mendapati tubuhku kedinginan terlalu lama. Bisa-bisa aku pingsan sebelum sampai di kamar kos. Membayangkannya saja aku sudah merasa tidak nyaman.
“Eh, kak Viana kok hujan-hujanan?” tanya Ros, teman kosku “Tadi telfon Ros dong kak, biar Ros jemput ke kampus..”
“Ah, nggak masalah, Ros. Yang penting aku masih selamat sampai kos. Nggak sabar nunggu hujan berhenti, jadi aku terjang aja. Hehe.”
“Langsung mandi aja kak, biar nggak sakit.”
“Iya, Ros..” Kataku sambil lalu.
Entah kenapa sedari tadi aku merasa seseorang mengikuti. Memang aku tidak mendengar suara langkah siapapun sepanjang jalan tadi. Mungkin karena tersamarkan oleh bunyi rintik yang tak berkesudahan. Lagi pula, kenapa aku tadi tidak menoleh ke belakang untuk memastikan?
Seusai mandi, Ros memanggilku keras-keras dari kamarnya.
“Ada apa Ros?”
“Nggak, kak. Aku heran aja. Tadi ternyata ada cowok yang hujan-hujanan juga setelah kakak masuk ke dalam. Dia lurus terus ke sana. Tapi dia juga nengok-nengok ke sini. Kayaknya ngikutin kakak deh... blah blah blah.”
Ros terus mengoceh. Aku makin jauh terbawa ocehannya. Apa mungkin ada seseorang yang mengikutiku? Ah, aku malah terpikir nama seseorang yang jauh dari jangkauan, jauh dari penglihatan. Jika memang tadi ada seseorang yang mengikutiku, tidak mungkin itu Pandu. Aku tidak tau ia di mana, seperti ia tidak tau aku di mana. Bahkan, apa mungkin ia masih mengingat namaku, atau minimal wajahku?
“Ih, kak! Kok Ros dicuekin?” Ros mengeluh sebal.
“Eh, kamu tadi bilang ada yang ngikutin kakak? Masa sih? Orangnya seperti apa?”
“Kan tadi Ros udah sebut ciri-cirinya. Kak Viana sih malah melamun!”
“Ya sudah. Paling kamu salah lihat. Mana mungkin ada cowok ngikutin aku. Kamu ada-ada aja, Ros.”
--
Aku tidak tahan melihatnya menghilang di ujung jalan. Aku segera berlari mengikutinya tanpa pertimbangan, memastikan ia sampai ke kosnya dengan selamat. Aku menggigil di belakangnya. Langkahku gemetar tak menentu. Dingin sekali rasanya. Sendi-sendiku terasa kaku membeku. Tapi aku bertahan di belakangnya.
Kulihat langkahnya semankin cepat. Kukira ia tau ada seseorang mengikuti. Ia tampak berjalan terseok tak tentu arah. Kedua tangannya disilangkan di dada. Ya, ia kedinginan, sama sepertiku. Aku lega ketika ia sampai ada yang menyambutnya. Aku melihatnya masuk ke dalam rumah kos dan berlalu tanpa menoleh ke belakang. Padahal aku sudah rindu ingin melihat wajahnya yang ayu.
Aku terus berjalan agar tubuhku tidak makin membeku. Kukuku sudah terlihat membiru. Sedangkan tubuhku mulai kesakitan karena dingin yang menusuk.
“Bro! Ngikutin si buta lagi, lo?” aku tidak suka ketika Bobby menyebutnya si buta.
“...”
“Nekat juga lo hujan-hujanan. Lagian apa sih yang lo cari dari Viana? Dia kan bu..”
“Udah deh, Bob!” aku menyela perkataannya “Kalau lo nggak suka sama Viana ya udah. Lo nggak kenal siapa dia.”
Sorry, Ndu, bukan maksud gue. Tapi gue heran aja sama lo. Banyak cewek cantik yg ngejar lo, lo kacangin semua. Coba itu cewek-cewek ngejar gue. Udah berasa banget surga dunia. Tapi lo malah lebih milih nguntit si Viana.”
“Kalau lo pengen sama cewek-cewek cantik itu, buat lo aja, Bob. Lagian bukan selera gue.”
Percakapanku dengan Bobby makin tak tentu arah. Ia selalu mencelaku karena aku lebih memilih Viana daripada perempuan-perempuan genit itu. Viana memang hanya mengenal warna hitam di hidupnya. Tapi ia memiliki hal lain yang warnanya jauh lebih indah dari warna pelangi. Hatinya yang baik, kesederhanaannya, kepintarannya mengambil hati orang-orang di sekitarnya, juga ketegarannya. Ia menerima apa yang ditakdirkan padanya. Setauku bahkan tidak pernah ada orang yang sanggup menghina karena ia buta. Semua orang luluh dengan kelebihannya dibanding kekurangannya.
Kesakitan di tubuhku tak juga mereda. Aku memilih mengakhiri percakapan menyebalkan dengan Bobby dan mencari sesuatu untuk menghangatkan diri. Flu tulang cukup menyiksaku saat udara dingin seperti ini. Lagi pula malam sudah tiba walau tak sempat kusapa senja. Aku baru saja melihat senjaku yang lain di sepanjang jalan tadi.
--

31 Desember, 10.00.

Hari-hari di penghujung Desember terasa begitu cepat berlalu. Libur tahun baru akan berakhir 2 hari lagi. Aku punya satu harapan yang mungkin hanya akan menjadi harapan . aku ingin mendengar suara seseorang yang kurindukan. Jika aku tidak bisa mendengar suara itu untuk saat ini, aku akan terus berharap untuk suatu saat nanti. Pagi ini mentari bersinar terik. Kulitku terasa hangat di bawahnya. Pagi-pagi sekali Tami datang ke kamar kosku, bercerita banyak tentang kekasihnya yang memberinya ini-itu sebagai tanda cinta. Tami sangat berharap malam nanti hujan tidak merusak malamnya. Ia akan merayakan malam tahun baru bersama Dika, melihat pesta kembang api di alun-alun kota.
Aku terkadang membayangkan bagaimana wujud kembang api itu. Tapi yang muncul dalam bayanganku hanya gelap, tak ada warna lain yang singgah dalam pikiranku untuk kuvisualisasikan. Aku ingin sekali ikut bersamanya melihat kembang api. Tapi jika aku ikut, aku hanya akan merepotkannya saja. Lagi pula aku tidak akan bisa melihat kembang api itu. Belum lagi harus berdesakan di antara ribuan orang yang ingin menyaksikan pesta kembang api. Bisa-bisa aku mati terinjak-injak.
Tiba-tiba nama Pandu muncul di benakku. Aku menyebutnya lirih, kemudian mengulumnya kembali, tak yakin perasaanku benar. Entah kenapa aku merasa ia berada tak jauh dariku. Aku dapat merasakan detak jantungnya berdegup, di sini, di dekat jantungku.
--
Seminggu ini aku tak melihat Viana di manapun. Liburan akhir tahun seperti ini cukup menyiksaku dengan perasaan cemas, rindu, gundah dan perasaan menyiksa lainnya. Aku merasa bodoh karena tidak berani mengetuk pintu kosnya untuk memastikan ia ada di sana atau tidak. Aku tidak tahan jika tidak melihatnya dalam 24 jam. Dan sekarang sudah hari ke-tujuh. Aku merasa gila.
Ketika aku mengingat namanya, jangtungku terasa berdegup kencang. Darahku berdesir mengalirkan hangat dalam diriku. Ketika aku menyebut namanya, aku merasa ia hadir di depanku. Aroma apel dari rambutnya tercium lembut, seolah memanggil jemariku untuk mengelusnya. Sayang, aku hanya berani melakukannya dalam khayalanku sendiri. Aku takut suatu saat akan menyakitinya.
Tidak siang, tidak malam otakku dipenuhi semua tentang dirinya. Aku semakin tersiksa oleh hati yang tak pernah tersampaikan. Superegoku selalu menekan dorongan-dorongan yang muncul. Aku ingin selalu berada di dekatnya walau tidak ia sadari. Aku ingin menjaganya tak rerbatas ruang dan waktu walau ia tak sedang dalam bahaya. Aku ingin melihat senyuman itu, senyuman yang tak sekalipun kulihat berganti dengan linangan air mata. Aku tidak pernah melihat kesedihan dari matanya.
Andai Viana bisa melihat, aku ingin ia melihatku sebagai laki-laki yang selalu ada di dekatnya, mencintai apa adanya tanpa peduli orang lain berkata apa. Bahkan sedari pertama aku mengenalnya, seolah aku tidak pernah melihat perempuan yang kecantikannya seperti diselubungi cahaya malaikat. Indah, menawan walau matanya tak melihat. Mungkin ini yang disebut cinta buta. Cinta yang tak mengenal alasan, cinta yang tak melihat kenapa aku jatuh cinta pada gadis buta sepertinya.
--

Siang. Tepat 12.00.
 
Aku seperti mendengar seseorang memanggil namaku lembut. Suara yang selalu kurindukan, Pandu. Entahlah, walau tak saling bertemu, walau tak saling menyapa, aku benar-benar merasa sangat dekat dengannya. Ia tidak lagi berdetak di dekat jantungku, melainkan berdetak di dalamnya seiring dengan jantungku, mengetuk pintu-pintu yang membebaskan adrenalin. Aku semakin tidak tahan ketika namanya muncul di benakku. Aku mulai merasa gila. Aku merasa pikiranku mulai di luar kontrol. Mungkin ini yang disebut cinta gila. Aku, gadis buta yang tak tau bagaimana warna dunia bisa sekian lama memendam cinta yang mungkin tak akan pernah berlabuh karena tak tau kemana harus meraba demi menyentuh dermaga. Tak tau seberapa besar ombak, seberapa tajam karang yang harus kulewati untuk mencapainya.
Aku baru sadar jika cinta yang kusimpan diam-diam ini sudah menjadi bom waktu yang sangat besar. Seperti ada sesuatu yang menyulutnya agar meledak. Kukira, hatiku sedang mempermainkanku dengan menggantungkan harapan-harapan yang nyata-nyata selamanya hanya akan menjadi harapan.
Kurang dari 12 jam dari sekarang petasan dan kembang api akan disulut dan menjadikan malam nanti menjadi malam hangat dengan pesta meriah yang tak akan dilupakan oleh semua orang. Aku sudah mengubur dalam-dalam keinginanku untuk larut dalam keramaian. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa tidak ada sesuatu menarik yang dapat kulihat di sana. Jadi aku memutuskan untuk tetap berada di kamar kosku dan mungkin melakukan sesuatu yang saat ini belum terpikirkan.
“Na..”
“Kenapa, Tami?”
“Kamu yakin ntar malem mau diem aja di kos? Mending ikut aku ya, rame-rame di alun-alun kota. Yah, please..” Tami memohon.
“Kenapa sih Mi? Aku lebih nyaman di sini daripada di tempat rame yang nggak aku kenal. Kalau kamu mau pergi sama Dika nggak ada yg larang kok. Have fun aja..”
“Kok gitu Na? Kita kan udah temenan lama.”
“Ya terus?”
“Ah, Viana nyebelin!” Ia terdengar sebal dengan ucapanku barusan.
“Tami, aku punya feeling aneh deh. Aku ngerasa lagi deket banget sama seseorang. Tapi aku bahkan nggak pernah tau dia di mana.”
“Siapa, Na?”
“Namanya Pandu. Kata orang-orang, dia punya mata hijau yang jernih. Wajahnya seperti keturunan arab. Aku sering mencoba memvisualisasikannya, tapi aku cuma dapat bayangan gelap yang nggak bisa diterjemahkan.”
“Arab? Anak kampus kita bukan?”
“Nggak tau, Mi. Yang pasti aku sekarang ngerasa deket banget sama dia.”
--
Dalam hati aku terus memanggil namanya, berharap ada jawaban yang menggema selirih apapun itu. Aku tau, aku sudah terlalu lama tenggelam dalam lautan perasaan yang kuciptakan sendiri. Ketika nama Viana kusebut, satu gelombang besar menyapu kegundahan yang ada dan membasahinya dengan kerinduan yang tak mudah surut. Aku merasa batinku telah terikat dengan Viana walau ia tidak pernah menyadari keberadaanku sangat dekat dengannya. Aku yang pengecut, bersembunyi di balik punggungnya yang tak melihat.
Aku merasa kurang dari 12 jam dari sekarang adalah saat yang tepat untuk membuatnya menyadari keberadaanku. Entah itu akan membuatnya terkejut, sebal, marah, atau bahkan membenciku, aku tak peduli. Tiga tahun lebih aku menyiksa diriku dengan hanya memangdangnya dari jauh, atau terkadang sedikit mendekat untuk mendapatkan aroma apel ketika aku benar-benar sangat membutuhkannya. Jika kudiamkan lama-lama, aku hanya akan menjadi sosok yang pengecut secara permanen seperti yang Robby pernah katakan.
Pernah suatu saat seorang gadis memakiku di depan semua orang.
“Aku nggak nyangka, manusia setampan Pandu itu sangat bodoh seperti ini! Matamu buta, Ndu! Kamu bodoh nolak aku. Kamu nggak akan pernah dapet yang lebih cantik dariku. Nggak akan ada yang sesempurna aku.. blah blah blah.”
Kubiarkan saja Karina menyelesaikan kata-katanya. Kubiarkan ia mengeluarkan segenap kosa kata kasar yang ia miliki, menghujatku, memakiku selama ia sanggup. Kubiarkan setiap pasang mata yang ada di dalam restoran jepang itu memandang kami takjub. Aku sama sekali tak berminat menimpali perkataannya. Hingga mungkin ia kehabisan kata-kata, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal dan mata basahnya mulai sayu memangdangku. Kemudian ia memelukku sangat erat. Napasnya yang tersengal dibenampannya di dadaku.
“Kamu kejam, Ndu!” lirihnya.
Aku tau betapa kejamnya diriku saat itu. Tapi mau dikata apa jika di dalam diriku sudah ada nama Viana yang mengisi. Aku hanya mencintainya melalui seluruh tubuhku, mengungkapkannya lirih tanpa henti melalui seluruh pori-poriku.
“Woy, bro!” Bobby datang menyela lamunku. “Ngapain lo bengong? Mikirin Viana lo itu lagi?”
“Sok tau, lo!”
“Biasanya gitu kan, bro.”
“Terserah lo, gua mau tidur. Bye..”
--

Menjelang pelukisan wajah langit, malam 31 pukul 11.30.

Angin dingin Desember membawa sejuta bulir embun bersamanya. Malam pergantian tahun disambut oleh tarian hujan yang tiada jeda. Bunyinya terdengar seperti ketukan berirama di jendela yang dibiarkan terbuka. Aku membiarkan wajahku dibasuh oleh embun yang terbawa angin. Menikmatinya seperti belaian lembut yang mencoba meredam kegelisahan.
Aku berada seorang diri di kamarku. Semua orang rela menerjang hujan demi menikmati malam pergantian tahun bersama orang yang dikasihinya. Aku berharap sama. Aku berharap ada seseorang yang merelakan tubuhnya dihantam jutaan bulir dingin demi bersamaku. Aku hanya bisa berharap dan membayangkan seseorang ada di sini, bercerita banyak padaku tentang seperti apa kerlip kembang api yang dilihat semua orang. Tentang ribuan kilau lentera yang dibiarkan terbang mengisi ruang langit. Tentang betapa bahagianya hati yang saling jatuh cinta menikmati kebersamaan di malam yang tiada duanya. Tapi di sini, aku hanya bisa membayangkan seseorang itu bernapas di depanku, di luar jendela yang kubiarkan terbuka.
Embusan napas itu terdengar nyata. Bersahutan dengan ritmik yang disenandungkan hujan. Telingaku mulai mengelabui akalku. Mungkin karena apa yang aku rasakan selama ini sudah tidak lagi mampu terbendung. Aku merasakan hangat mulai menjalar dari dalam sini, jantung yang berdegup, darah yang berdesir.
“Na..” Suara itu! Napasku seakan berhenti di tenggorokan. Aku benar-benar merasa mendengar seseorang memanggil.“Viana..”
Aku mengenal suaranya yang berat. Itu terdengar seperti suara seseorang yang selama ini hanya mampu kuraba dalam hati. Ia terdengar begitu nyata.
“Na.. aku udah nggak sanggup sembunyi dari kamu. Aku tersiksa selama ini hanya sanggup memandangmu dari jauh. Rinduku sudah meledak, Na. Ubun-ubunku sudah kesakitan. Mungkin ini terdengar bodoh, tapi aku sudah menyimpan begitu banyak perasaan untukmu sejak pertama kali mengenalmu, Na...Aku mencintaimu!”
Aku dapat merasakan ada napas yang berembus tepat di depanku. Aku tidak gila. Suara yang kudengar nyata! Aku bahkan nyaris tak dapat merasakan wajahku. Ia terasa memanas hingga aku tak lagi mampu merasakan dua sungai hangat yang tiba-tiba saja deras, padahal hujan ada di luar sana. Aku tak tau harus mengatakan apa selain menyebut..
“Pandu?” dengan suara gemetar.
Kemudian yang kudengar setelah itu adalah suara sesenggukan dari diriku sendiri. Aku merasa ada sepasang tangan mengusap wajahku, menghapus peluhku. Aku terlarut dalam pelukan yang terhalang oleh kusen jendela yang rendah. Aku seperti merasakan banyak sekali letupan berwarna-warni melalui mata hatiku. Pandu yang menyuguhkannya padaku tanpa banyak berkata. Aku seperti telah menemukan lentera dalam gelapnya duniaku. Aku menyebutnya sebagai cinta yang berbalas di pergantian tahun. Tanpa keramaian, hanya ada dua hati yang diam-diam saling bicara cinta.
Aku mencintainya dalam gelap. Aku menjadikannya lentera yang menerangi, menghangatkanku.
--
Aku memandang dalam ke tengah hujan. Dari sana aku melihat senyum Viana yang menggodakku agar melompat ke dalamnya. Hujan di malam terakhir tahun ini seperti membentuk tirai tebal yang menghubungkanku dengan Viana dalam sekali singkap. Wajah Viana terus saja terbayang. Ia seperti berdiri serentangan tangan di depanku. Hingga tanpa sadar aku melompat ke dalam hujan sunyi yang berbanding terbalik dengan keriuhan pesta di alun-alun sana. Aku terus saja berlari, tak memedulikan betapa dingin malam yang kurasakan. Aku mengikuti kemanapun kakiku melangkah, hingga aku berdiri tepat di depan jendela kamar yang terbuka, seolah membingkai wajah gadis yang kurindukan.
Lama aku berdiri di sana, memandang lekat wajah Viana. Dingin jejak hujan yang tertinggal di tubuhku tak lagi terasa. Aku merasakan hangat hanya dengan memandangnya tak lebih dari jarak lima puluh senti. Aku benar-benar terpana memandangnya dari jarak sedekat ini.
Kubiarkan mulutku mengatakan apapun. Aku tak peduli lagi pada suara hujan yang mengganggu di belakang. Yang aku tau, ia hikmat mendengarkan perkataanku yang tak banyak. Bagiku luapan perasaanku ini tak dapat terwakili oleh kata-kata. Aku mengatakannya dalam diam, dari hati ke hati, seperti telepati. Kuusap lembut air matanya yang mengalir di pipi. Aku mencintainya dengan segenap hati, bukan lagi sebatas kata-kata.
Kukira malam ini adalah pesta meriah untuk dua hati yang sekian lama terpenjara dalam kebisuan masing-masing, saling jatuh cinta. Dan tepat ketika aku melihat bias kembang api yang diburamkan hujan, aku memeluknya erat. Menghirup aroma apel dari rambutnya, membiarkan hatiku dekat dengan hatinya. Bersenandung merayakan pergantian tahun, merayakan kebebasan hati yang selama ini terpendam dalam.
Aku mencintainya dalam rasa yang penuh warna. Cinta kami dirayakan semesta. Hujan seolah bertepuk tangan dalam pesta meriah yang disuguhkannya.

1 Januari 00.01

Kami masih berpelukan, terlarut dalam luapan cinta yang baru saja terbebas. Tak ada kemeriahan lain yang sanggup menandingi kemilau pesta yang kami ciptakan sendiri. Ini cinta di antara kami. Cinta yang tak perlu seluruh dunia tau. Cukup kami saja yang mengetahui kedalamannya.
 ***

Kudus, 31 Desember 2013.
Teruntuk dia yang menyimpan ketulusan untukku <3