24 Desember, 05.45 sore.
“Na,
kamu yang foto kopi ini ya! Please.. Aku udah ditunggu Dika di depan kampus.”
suara Tami memelas. Aku tersenyum mengangguk.
Kudengar
langkahnya terburu-buru menuruni anak tangga dengan tidak sabar. Aku lebih
memilih untuk berjalan perlahan, merasakan dinginnya pegangan tangga yang
bagiku sangat menyenangkan. Ketika kakiku sudah menginjak anak tangga terakhir,
suara hujan terdengar tenang. Tak ada lagi orang yang berlalu lalang di kampus
setelah jam lima lewat.
Aku menunggu dengan hikmat hingga hujan berhenti sebelum aku dapat kembali ke kamar kosku. Aku selalu lupa membawa payung. Padahal cuaca Desember sangat tidak dapat ditebak, seperti hari ini.
Aku menunggu dengan hikmat hingga hujan berhenti sebelum aku dapat kembali ke kamar kosku. Aku selalu lupa membawa payung. Padahal cuaca Desember sangat tidak dapat ditebak, seperti hari ini.
Di
saat sedang sendirian seperti ini kadang aku membayangkan betapa bahagianya
mereka yang memiliki kekasih. Aku, hingga sembilan belas usiaku sekarang sama
sekali belum pernah memiliki seorang kekasih. Ya, walaupun aku pernah sekali
jatuh cinta, aku tidak pernah bisa mengungkapkan perasaanku. Padahal, kata
ibuku aku tak kalah cantik dari artis pemain FTV.
Aku
jatuh cinta pada teman sekelasku semasa kelas sepuluh . Kudengar sekarang ia
kuliah di kota yang sama denganku, tapi aku tak tau di mana. Sering kali aku
merasa mendengar suaranya tengah berbicara dengan seseorang. Tapi ketika
kutengok kesana-kemari aku tidak dapat menemukannya. Mungkin aku masih jatuh
cinta dengannya hingga aku berharap mendengar suaranya di tempat yang tidak
mungkin.
Aku
mengenalnya sebagai Pandu. Menurut teman-temanku dulu, ia sangat tampan dengan
wajah arab dan mata hijaunya yang jernih. Ia selalu menjadi perbincangan selruh
anak gadis di sekolah. Wajahnya seperti Aaron Ashab, artis Youtube idola kebanyakan
gadis. Tapi aku tidak memedulikan bagaimana parasnya. Mulanya, aku menyukainya
dari caranya memperlakukanku, ya walaupun sama seperti teman-teman lainnya.
Kemudian aku mencintainya karena.. ah, aku tak dapat menemukan alasan kenapa
aku mencintainya. Aku hanya tau bahwa aku mencintainya sudah sejak lama.
--
Aku
pernah mengenal seorang gadis lugu yang rambutnya beraroma apel. Aku masih
mengingat aromanya bahkan setelah 3 tahun berlalu. Aku mengenalnya dengan nama
Viana. Gadis istimewa yang selalu kuikuti kabar beritanya. Hampir setiap hari
aku menyempatkan diri ke gedung tempatnya berkuliah. Kami memang satu
universtitas. Gedung kuliahku hanya terletak 3 blok dari gedung kuliahnya. Aku senang
mengawasi dalam diam.
Entah
kenapa aku menyimpan kekaguman yang tak dapat dijelaskan. Sudah sejak lama aku menaruh
hati padanya. Kusimpan apa yang kurasakan pada ruang-ruang hampa dalam tubuhku.
Kusimpan namanya di setiap sudut. Dalam diam aku mencintainya, takut ia malah
menghindar ketika tau aku di sekitarnya, mengawasinya.
Sudah
lebih dua jam aku menunggu Viana di lantai bawah. Hujan sudah turun sedari
tadi, menari-nari di bawah langit yang kian kehilangan rona. Kulihat Viana baru
saja menyelesaikan pijakan tangganya yang terakhir. Ia berdiri bersandar pada
tiang yang kokoh. Pandangannya seakan menerawang ke tengah hujan. Aku selalu
merasa lega ketika melihatnya baik-baik saja setelah melewati satu hari. Aku
tau kenapa ia tak segera meninggalkan kampus. Ia pasti lupa membawa payung.
Tapi aku tidak memiliki keberanian untuk mengganggu lamunnya, menghampiri dan menawarkan
diri mengantarnya pulang.
Tiga
puluh menit berlalu, dan hujan tak kunjung reda. Aku melihat Viana mulai
gelisah. Tangannya menjulur, memeriksa seberapa dingin air hujan yang menyentuh
kulitnya. Ah, hujan Desember kejam sekali ingin membasahi tubuh gadis secantik
Viana.
Viana
dengan ragu melangkahkan kakinya menerjang hujan. Mungkin ia sudah tidak sabar
menanti hujan berhenti. Sedangkan aku, kaku melihat caranya melangkah.
Tangannya sesekali membetulkan letak poni yang mulai basah dikecup hujan. Aku
hanya berani memperhatikannya dari jauh, hingga ia menghilang di ujung jalan.
--
Aku
berdiri menunggu hujan sudah cukup lama. Hari mulai gelap. Jadi aku memutuskan
untuk merelakan tubuhku diguyur hujan yang membuatku gigil. Ketika aku
menyelesaikan enam-tujuh langkah, aku merasakan air hujan mulai mengepung
jari-jari kakiu di dalam flat shoes.
Aku senang menghitung seberapa banyak aku melangkah sebelum sampai belokan yang
mengarah ke tempat kosku. Aku tidak sabar untuk sampai di kos, mengeringkan
tubuh dan berbaring di kamarku yang nyaman. Aku berjalan lebih cepat agar tidak
semakim menggigil. Aku tidak suka jika mendapati tubuhku kedinginan terlalu
lama. Bisa-bisa aku pingsan sebelum sampai di kamar kos. Membayangkannya saja
aku sudah merasa tidak nyaman.
“Eh,
kak Viana kok hujan-hujanan?” tanya Ros, teman kosku “Tadi telfon Ros dong kak,
biar Ros jemput ke kampus..”
“Ah,
nggak masalah, Ros. Yang penting aku masih selamat sampai kos. Nggak sabar
nunggu hujan berhenti, jadi aku terjang aja. Hehe.”
“Langsung
mandi aja kak, biar nggak sakit.”
“Iya,
Ros..” Kataku sambil lalu.
Entah
kenapa sedari tadi aku merasa seseorang mengikuti. Memang aku tidak mendengar
suara langkah siapapun sepanjang jalan tadi. Mungkin karena tersamarkan oleh
bunyi rintik yang tak berkesudahan. Lagi pula, kenapa aku tadi tidak menoleh ke
belakang untuk memastikan?
Seusai
mandi, Ros memanggilku keras-keras dari kamarnya.
“Ada
apa Ros?”
“Nggak,
kak. Aku heran aja. Tadi ternyata ada cowok yang hujan-hujanan juga setelah
kakak masuk ke dalam. Dia lurus terus ke sana. Tapi dia juga nengok-nengok ke
sini. Kayaknya ngikutin kakak deh... blah blah blah.”
Ros
terus mengoceh. Aku makin jauh terbawa ocehannya. Apa mungkin ada seseorang
yang mengikutiku? Ah, aku malah terpikir nama seseorang yang jauh dari
jangkauan, jauh dari penglihatan. Jika memang tadi ada seseorang yang
mengikutiku, tidak mungkin itu Pandu. Aku tidak tau ia di mana, seperti ia
tidak tau aku di mana. Bahkan, apa mungkin ia masih mengingat namaku, atau minimal
wajahku?
“Ih,
kak! Kok Ros dicuekin?” Ros mengeluh sebal.
“Eh,
kamu tadi bilang ada yang ngikutin kakak? Masa sih? Orangnya seperti apa?”
“Kan
tadi Ros udah sebut ciri-cirinya. Kak Viana sih malah melamun!”
“Ya
sudah. Paling kamu salah lihat. Mana mungkin ada cowok ngikutin aku. Kamu
ada-ada aja, Ros.”
--
Aku
tidak tahan melihatnya menghilang di ujung jalan. Aku segera berlari mengikutinya
tanpa pertimbangan, memastikan ia sampai ke kosnya dengan selamat. Aku
menggigil di belakangnya. Langkahku gemetar tak menentu. Dingin sekali rasanya.
Sendi-sendiku terasa kaku membeku. Tapi aku bertahan di belakangnya.
Kulihat
langkahnya semankin cepat. Kukira ia tau ada seseorang mengikuti. Ia tampak
berjalan terseok tak tentu arah. Kedua tangannya disilangkan di dada. Ya, ia
kedinginan, sama sepertiku. Aku lega ketika ia sampai ada yang menyambutnya.
Aku melihatnya masuk ke dalam rumah kos dan berlalu tanpa menoleh ke belakang.
Padahal aku sudah rindu ingin melihat wajahnya yang ayu.
Aku
terus berjalan agar tubuhku tidak makin membeku. Kukuku sudah terlihat membiru.
Sedangkan tubuhku mulai kesakitan karena dingin yang menusuk.
“Bro!
Ngikutin si buta lagi, lo?” aku tidak suka ketika Bobby menyebutnya si buta.
“...”
“Nekat
juga lo hujan-hujanan. Lagian apa sih yang lo cari dari Viana? Dia kan bu..”
“Udah
deh, Bob!” aku menyela perkataannya “Kalau lo nggak suka sama Viana ya udah. Lo
nggak kenal siapa dia.”
“Sorry, Ndu, bukan maksud gue. Tapi gue
heran aja sama lo. Banyak cewek cantik yg ngejar lo, lo kacangin semua. Coba
itu cewek-cewek ngejar gue. Udah berasa banget surga dunia. Tapi lo malah lebih
milih nguntit si Viana.”
“Kalau
lo pengen sama cewek-cewek cantik itu, buat lo aja, Bob. Lagian bukan selera
gue.”
Percakapanku
dengan Bobby makin tak tentu arah. Ia selalu mencelaku karena aku lebih memilih
Viana daripada perempuan-perempuan genit itu. Viana memang hanya mengenal warna
hitam di hidupnya. Tapi ia memiliki hal lain yang warnanya jauh lebih indah
dari warna pelangi. Hatinya yang baik, kesederhanaannya, kepintarannya
mengambil hati orang-orang di sekitarnya, juga ketegarannya. Ia menerima apa
yang ditakdirkan padanya. Setauku bahkan tidak pernah ada orang yang sanggup
menghina karena ia buta. Semua orang luluh dengan kelebihannya dibanding
kekurangannya.
Kesakitan
di tubuhku tak juga mereda. Aku memilih mengakhiri percakapan menyebalkan
dengan Bobby dan mencari sesuatu untuk menghangatkan diri. Flu tulang cukup
menyiksaku saat udara dingin seperti ini. Lagi pula malam sudah tiba walau tak
sempat kusapa senja. Aku baru saja melihat senjaku yang lain di sepanjang jalan
tadi.
--
31 Desember, 10.00.
Hari-hari
di penghujung Desember terasa begitu cepat berlalu. Libur tahun baru akan berakhir
2 hari lagi. Aku punya satu harapan yang mungkin hanya akan menjadi harapan .
aku ingin mendengar suara seseorang yang kurindukan. Jika aku tidak bisa
mendengar suara itu untuk saat ini, aku akan terus berharap untuk suatu saat
nanti. Pagi ini mentari bersinar terik. Kulitku terasa hangat di bawahnya.
Pagi-pagi sekali Tami datang ke kamar kosku, bercerita banyak tentang
kekasihnya yang memberinya ini-itu sebagai tanda cinta. Tami sangat berharap
malam nanti hujan tidak merusak malamnya. Ia akan merayakan malam tahun baru
bersama Dika, melihat pesta kembang api di alun-alun kota.
Aku
terkadang membayangkan bagaimana wujud kembang api itu. Tapi yang muncul dalam
bayanganku hanya gelap, tak ada warna lain yang singgah dalam pikiranku untuk
kuvisualisasikan. Aku ingin sekali ikut bersamanya melihat kembang api. Tapi
jika aku ikut, aku hanya akan merepotkannya saja. Lagi pula aku tidak akan bisa
melihat kembang api itu. Belum lagi harus berdesakan di antara ribuan orang
yang ingin menyaksikan pesta kembang api. Bisa-bisa aku mati terinjak-injak.
Tiba-tiba
nama Pandu muncul di benakku. Aku menyebutnya lirih, kemudian mengulumnya
kembali, tak yakin perasaanku benar. Entah kenapa aku merasa ia berada tak jauh
dariku. Aku dapat merasakan detak jantungnya berdegup, di sini, di dekat
jantungku.
--
Seminggu
ini aku tak melihat Viana di manapun. Liburan akhir tahun seperti ini cukup
menyiksaku dengan perasaan cemas, rindu, gundah dan perasaan menyiksa lainnya.
Aku merasa bodoh karena tidak berani mengetuk pintu kosnya untuk memastikan ia
ada di sana atau tidak. Aku tidak tahan jika tidak melihatnya dalam 24 jam. Dan
sekarang sudah hari ke-tujuh. Aku merasa gila.
Ketika
aku mengingat namanya, jangtungku terasa berdegup kencang. Darahku berdesir
mengalirkan hangat dalam diriku. Ketika aku menyebut namanya, aku merasa ia
hadir di depanku. Aroma apel dari rambutnya tercium lembut, seolah memanggil
jemariku untuk mengelusnya. Sayang, aku hanya berani melakukannya dalam khayalanku
sendiri. Aku takut suatu saat akan menyakitinya.
Tidak
siang, tidak malam otakku dipenuhi semua tentang dirinya. Aku semakin tersiksa
oleh hati yang tak pernah tersampaikan. Superegoku selalu menekan
dorongan-dorongan yang muncul. Aku ingin selalu berada di dekatnya walau tidak
ia sadari. Aku ingin menjaganya tak rerbatas ruang dan waktu walau ia tak
sedang dalam bahaya. Aku ingin melihat senyuman itu, senyuman yang tak
sekalipun kulihat berganti dengan linangan air mata. Aku tidak pernah melihat
kesedihan dari matanya.
Andai
Viana bisa melihat, aku ingin ia melihatku sebagai laki-laki yang selalu ada di
dekatnya, mencintai apa adanya tanpa peduli orang lain berkata apa. Bahkan
sedari pertama aku mengenalnya, seolah aku tidak pernah melihat perempuan yang
kecantikannya seperti diselubungi cahaya malaikat. Indah, menawan walau matanya
tak melihat. Mungkin ini yang disebut cinta buta. Cinta yang tak mengenal
alasan, cinta yang tak melihat kenapa aku jatuh cinta pada gadis buta
sepertinya.
--
Siang.
Tepat 12.00.
Aku
seperti mendengar seseorang memanggil namaku lembut. Suara yang selalu
kurindukan, Pandu. Entahlah, walau tak saling bertemu, walau tak saling menyapa,
aku benar-benar merasa sangat dekat dengannya. Ia tidak lagi berdetak di dekat
jantungku, melainkan berdetak di dalamnya seiring dengan jantungku, mengetuk
pintu-pintu yang membebaskan adrenalin. Aku semakin tidak tahan ketika namanya
muncul di benakku. Aku mulai merasa gila. Aku merasa pikiranku mulai di luar kontrol.
Mungkin ini yang disebut cinta gila. Aku, gadis buta yang tak tau bagaimana
warna dunia bisa sekian lama memendam cinta yang mungkin tak akan pernah
berlabuh karena tak tau kemana harus meraba demi menyentuh dermaga. Tak tau
seberapa besar ombak, seberapa tajam karang yang harus kulewati untuk
mencapainya.
Aku
baru sadar jika cinta yang kusimpan diam-diam ini sudah menjadi bom waktu yang
sangat besar. Seperti ada sesuatu yang menyulutnya agar meledak. Kukira, hatiku
sedang mempermainkanku dengan menggantungkan harapan-harapan yang nyata-nyata
selamanya hanya akan menjadi harapan.
Kurang
dari 12 jam dari sekarang petasan dan kembang api akan disulut dan menjadikan
malam nanti menjadi malam hangat dengan pesta meriah yang tak akan dilupakan
oleh semua orang. Aku sudah mengubur dalam-dalam keinginanku untuk larut dalam
keramaian. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa tidak ada sesuatu menarik yang
dapat kulihat di sana. Jadi aku memutuskan untuk tetap berada di kamar kosku
dan mungkin melakukan sesuatu yang saat ini belum terpikirkan.
“Na..”
“Kenapa,
Tami?”
“Kamu
yakin ntar malem mau diem aja di kos? Mending ikut aku ya, rame-rame di
alun-alun kota. Yah, please..” Tami memohon.
“Kenapa
sih Mi? Aku lebih nyaman di sini daripada di tempat rame yang nggak aku kenal.
Kalau kamu mau pergi sama Dika nggak ada yg larang kok. Have fun aja..”
“Kok
gitu Na? Kita kan udah temenan lama.”
“Ya
terus?”
“Ah,
Viana nyebelin!” Ia terdengar sebal dengan ucapanku barusan.
“Tami,
aku punya feeling aneh deh. Aku
ngerasa lagi deket banget sama seseorang. Tapi aku bahkan nggak pernah tau dia
di mana.”
“Siapa,
Na?”
“Namanya
Pandu. Kata orang-orang, dia punya mata hijau yang jernih. Wajahnya seperti
keturunan arab. Aku sering mencoba memvisualisasikannya, tapi aku cuma dapat
bayangan gelap yang nggak bisa diterjemahkan.”
“Arab?
Anak kampus kita bukan?”
“Nggak
tau, Mi. Yang pasti aku sekarang ngerasa deket banget sama dia.”
--
Dalam
hati aku terus memanggil namanya, berharap ada jawaban yang menggema selirih
apapun itu. Aku tau, aku sudah terlalu lama tenggelam dalam lautan perasaan
yang kuciptakan sendiri. Ketika nama Viana kusebut, satu gelombang besar
menyapu kegundahan yang ada dan membasahinya dengan kerinduan yang tak mudah
surut. Aku merasa batinku telah terikat dengan Viana walau ia tidak pernah
menyadari keberadaanku sangat dekat dengannya. Aku yang pengecut, bersembunyi
di balik punggungnya yang tak melihat.
Aku
merasa kurang dari 12 jam dari sekarang adalah saat yang tepat untuk membuatnya
menyadari keberadaanku. Entah itu akan membuatnya terkejut, sebal, marah, atau
bahkan membenciku, aku tak peduli. Tiga tahun lebih aku menyiksa diriku dengan
hanya memangdangnya dari jauh, atau terkadang sedikit mendekat untuk
mendapatkan aroma apel ketika aku benar-benar sangat membutuhkannya. Jika kudiamkan
lama-lama, aku hanya akan menjadi sosok yang pengecut secara permanen seperti
yang Robby pernah katakan.
Pernah
suatu saat seorang gadis memakiku di depan semua orang.
“Aku
nggak nyangka, manusia setampan Pandu itu sangat bodoh seperti ini! Matamu buta,
Ndu! Kamu bodoh nolak aku. Kamu nggak akan pernah dapet yang lebih cantik
dariku. Nggak akan ada yang sesempurna aku.. blah blah blah.”
Kubiarkan
saja Karina menyelesaikan kata-katanya. Kubiarkan ia mengeluarkan segenap kosa
kata kasar yang ia miliki, menghujatku, memakiku selama ia sanggup. Kubiarkan setiap
pasang mata yang ada di dalam restoran jepang itu memandang kami takjub. Aku sama
sekali tak berminat menimpali perkataannya. Hingga mungkin ia kehabisan
kata-kata, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal dan mata basahnya mulai
sayu memangdangku. Kemudian ia memelukku sangat erat. Napasnya yang tersengal
dibenampannya di dadaku.
“Kamu
kejam, Ndu!” lirihnya.
Aku
tau betapa kejamnya diriku saat itu. Tapi mau dikata apa jika di dalam diriku
sudah ada nama Viana yang mengisi. Aku hanya mencintainya melalui seluruh
tubuhku, mengungkapkannya lirih tanpa henti melalui seluruh pori-poriku.
“Woy,
bro!” Bobby datang menyela lamunku. “Ngapain lo bengong? Mikirin Viana lo itu
lagi?”
“Sok
tau, lo!”
“Biasanya
gitu kan, bro.”
“Terserah
lo, gua mau tidur. Bye..”
--
Menjelang pelukisan wajah langit, malam
31 pukul 11.30.
Angin
dingin Desember membawa sejuta bulir embun bersamanya. Malam pergantian tahun
disambut oleh tarian hujan yang tiada jeda. Bunyinya terdengar seperti ketukan
berirama di jendela yang dibiarkan terbuka. Aku membiarkan wajahku dibasuh oleh
embun yang terbawa angin. Menikmatinya seperti belaian lembut yang mencoba meredam
kegelisahan.
Aku
berada seorang diri di kamarku. Semua orang rela menerjang hujan demi menikmati
malam pergantian tahun bersama orang yang dikasihinya. Aku berharap sama. Aku berharap
ada seseorang yang merelakan tubuhnya dihantam jutaan bulir dingin demi
bersamaku. Aku hanya bisa berharap dan membayangkan seseorang ada di sini,
bercerita banyak padaku tentang seperti apa kerlip kembang api yang dilihat
semua orang. Tentang ribuan kilau lentera yang dibiarkan terbang mengisi ruang
langit. Tentang betapa bahagianya hati yang saling jatuh cinta menikmati
kebersamaan di malam yang tiada duanya. Tapi di sini, aku hanya bisa
membayangkan seseorang itu bernapas di depanku, di luar jendela yang kubiarkan
terbuka.
Embusan
napas itu terdengar nyata. Bersahutan dengan ritmik yang disenandungkan hujan. Telingaku
mulai mengelabui akalku. Mungkin karena apa yang aku rasakan selama ini sudah
tidak lagi mampu terbendung. Aku merasakan hangat mulai menjalar dari dalam
sini, jantung yang berdegup, darah yang berdesir.
“Na..”
Suara itu! Napasku seakan berhenti di tenggorokan. Aku benar-benar merasa
mendengar seseorang memanggil.“Viana..”
Aku
mengenal suaranya yang berat. Itu terdengar seperti suara seseorang yang selama
ini hanya mampu kuraba dalam hati. Ia terdengar begitu nyata.
“Na..
aku udah nggak sanggup sembunyi dari kamu. Aku tersiksa selama ini hanya
sanggup memandangmu dari jauh. Rinduku sudah meledak, Na. Ubun-ubunku sudah
kesakitan. Mungkin ini terdengar bodoh, tapi aku sudah menyimpan begitu banyak
perasaan untukmu sejak pertama kali mengenalmu, Na...Aku mencintaimu!”
Aku
dapat merasakan ada napas yang berembus tepat di depanku. Aku tidak gila. Suara
yang kudengar nyata! Aku bahkan nyaris tak dapat merasakan wajahku. Ia terasa
memanas hingga aku tak lagi mampu merasakan dua sungai hangat yang tiba-tiba
saja deras, padahal hujan ada di luar sana. Aku tak tau harus mengatakan apa
selain menyebut..
“Pandu?”
dengan suara gemetar.
Kemudian
yang kudengar setelah itu adalah suara sesenggukan dari diriku sendiri. Aku merasa
ada sepasang tangan mengusap wajahku, menghapus peluhku. Aku terlarut dalam
pelukan yang terhalang oleh kusen jendela yang rendah. Aku seperti merasakan
banyak sekali letupan berwarna-warni melalui mata hatiku. Pandu yang
menyuguhkannya padaku tanpa banyak berkata. Aku seperti telah menemukan lentera
dalam gelapnya duniaku. Aku menyebutnya sebagai cinta yang berbalas di
pergantian tahun. Tanpa keramaian, hanya ada dua hati yang diam-diam saling
bicara cinta.
Aku
mencintainya dalam gelap. Aku menjadikannya lentera yang menerangi,
menghangatkanku.
--
Aku
memandang dalam ke tengah hujan. Dari sana aku melihat senyum Viana yang
menggodakku agar melompat ke dalamnya. Hujan di malam terakhir tahun ini
seperti membentuk tirai tebal yang menghubungkanku dengan Viana dalam sekali
singkap. Wajah Viana terus saja terbayang. Ia seperti berdiri serentangan
tangan di depanku. Hingga tanpa sadar aku melompat ke dalam hujan sunyi yang
berbanding terbalik dengan keriuhan pesta di alun-alun sana. Aku terus saja
berlari, tak memedulikan betapa dingin malam yang kurasakan. Aku mengikuti
kemanapun kakiku melangkah, hingga aku berdiri tepat di depan jendela kamar
yang terbuka, seolah membingkai wajah gadis yang kurindukan.
Lama
aku berdiri di sana, memandang lekat wajah Viana. Dingin jejak hujan yang
tertinggal di tubuhku tak lagi terasa. Aku merasakan hangat hanya dengan
memandangnya tak lebih dari jarak lima puluh senti. Aku benar-benar terpana
memandangnya dari jarak sedekat ini.
Kubiarkan
mulutku mengatakan apapun. Aku tak peduli lagi pada suara hujan yang mengganggu
di belakang. Yang aku tau, ia hikmat mendengarkan perkataanku yang tak banyak. Bagiku
luapan perasaanku ini tak dapat terwakili oleh kata-kata. Aku mengatakannya
dalam diam, dari hati ke hati, seperti telepati. Kuusap lembut air matanya yang
mengalir di pipi. Aku mencintainya dengan segenap hati, bukan lagi sebatas
kata-kata.
Kukira
malam ini adalah pesta meriah untuk dua hati yang sekian lama terpenjara dalam
kebisuan masing-masing, saling jatuh cinta. Dan tepat ketika aku melihat bias
kembang api yang diburamkan hujan, aku memeluknya erat. Menghirup aroma apel
dari rambutnya, membiarkan hatiku dekat dengan hatinya. Bersenandung merayakan
pergantian tahun, merayakan kebebasan hati yang selama ini terpendam dalam.
Aku
mencintainya dalam rasa yang penuh warna. Cinta kami dirayakan semesta. Hujan seolah
bertepuk tangan dalam pesta meriah yang disuguhkannya.
1 Januari 00.01
Kami
masih berpelukan, terlarut dalam luapan cinta yang baru saja terbebas. Tak ada
kemeriahan lain yang sanggup menandingi kemilau pesta yang kami ciptakan
sendiri. Ini cinta di antara kami. Cinta yang tak perlu seluruh dunia tau. Cukup
kami saja yang mengetahui kedalamannya.
***
Kudus,
31 Desember 2013.
Teruntuk
dia yang menyimpan ketulusan untukku <3